Saturday, July 11, 2009

THE PATH OF LOVE

You are a sufi when your heart is as soft and as warm as wool

Voluptuous words about love decanted in this book, our love to the infinite get its glamor in this article, " The Path Love of" article about love story path. Real love do not burst by time. That is love to God
Know that in fact love a slave to God its adherence to God and follow its comand. God love Medium to slave Its award to them with forgiveness.
A slave if knowing that real perfection God property, and in fact perfect what God saw either from their self or others from God and by force of God, of course its love cannot be other except to God and to God. That thing will cause its desire to devote to God and like to things drawing near to God. Because that's the love interpreted with desire to meekly and made by something that will push us to follow all Its command.
Spiritual life is so simple, because God is a simple essence. And there are ways to become attuned to this inner essence, to learn to listen and allow him into our life. The ways of love flow according to their own rhythms, which are buried deep within us, often very different from the surface values of our life. Listening to the stories of the heart, we can become familiar with the deeper music of our own nature, and catch the thread of an inner unfolding the leads us beyond the limitations of our surface self, to something both wonderful and intoxicating. This ancient path of love is eternally alive, singing the mysteries of the heart, and since the beginning of time. His lovers have been offering a taste of its wine that burns like fire.

Saturday, March 7, 2009

Dehumanisasi Peserta Didik Melalui Sistem Penilaian Pendidikan

Yang Berlandaskan Semangat Neoliberalisme[1]


Abstrak: Pokok bahasan mengenai carut marut sistem pendidikan nasional selalu tidak pernah terlepas dari masalah penilaian hasil belajar peserta didik. Walaupun menuai protes dan kecaman dari berbagai kalangan, alat penilaian hasil belajar peserta didik yang dikenal dengan nama UN ini masih dipergunakan sebagai penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Berbagai macam alasan selalu disajikan pemerintah agar UN tetap dilaksanakan sebagai ritual tutup tahun untuk mengakhiri kalender akademik, mulai dari alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan hingga meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Padahal, secara konseptual maupun empiris, sudah terbukti bahwa tidak ada relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan, yang ada malah kemunculan beragam implikasi negatif yang jelas-jelas merupakan praktek dehumanisasi pada peserta didik. Bila ditelusuri lebih jauh, ternyata ‘kebebalan’ pemerintah untuk terus mempertahankan kebijakan penyelenggaraan UN ini sangat erat dengan corak neoliberalisme yang menjadi semangat pemerintah dalam menggulirkan berbagai kebijakan pendidikan dalam rangka melanggengkan hegemoninya terhadap rakyat. Alasan mengapa neoliberalisme yang menjadi semangat pemerintah ini menjadi sesuatu yang mengerikan, disebabkan karena prinsip neoliberalisme yang begitu kental dengan kompetisi yang akhirnya menimbulkan diskriminasi ini telah mencengkram sektor pendidikan yang notabene adalah hak dasar warga negara yang telah diakui secara universal. Namun, bukanlah hal yang tidak mungkin bila pada akhirnya warga negara memiliki kesadaran kritis untuk mengorganisasi dirinya sendiri agar terlepas dari cengkraman pemerintah melalui sebuah alat yang paling ampuh, yaitu melalui pendidikan yang memanusiakan manusia..

Kata Kunci: dehumanisasi, peserta didik, penilaian pendidikan, UN, neoliberalisme.





UN Sebagai Ritual Tutup Tahun

Menjelang akhir tahun ajaran pada kalender akademik pendidikan dasar dan menengah, berbagai kalangan disibukkan dengan sebuah ritual penilaian hasil belajar peserta didik yang dikenal dengan nama UN. Ritual ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lamanya hingga pemerintah selalu berusaha mengantisipasi berbagai macam kemungkinan gangguan terhadapnya. Mulai dari menginapkan soal-soal UN di kantor polisi, hingga mengawal pengerjaan soal UN dengan melibatkan pasukan anti teror Densus 88 pun rela dilakukan oleh pemerintah, semata-mata demi menjaga kesakralan ritual tutup tahun ini. Bahkan upaya-upaya penghapusan UN – yang disebabkan oleh berbagai macam alasan tentunya – yang telah dilakukan berkali-kali pun selalu digagalkan oleh pemerintah. Seperti halnya yang pernah terjadi pada tahun 1971, upaya penghapusan ujian akhir berstandar nasional yang dimunculkan oleh Menteri P & K malah menuai kecaman dari kalangan pemerintah sendiri termasuk diantaranya lembaga-lembaga donor asing, dengan alasan bahwa standarisasi mekanisme ujian tidak akan tercapai bila ujian dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan[3]. Merasa terus menerus diabaikan pemerintah, pada tahun 2006, puluhan warga negara akhirnya melakukan citizen law suit demi mendapatkan keadilan atas pemberlakuan UN yang dianggap telah melanggar hak asasi manusia[4]. Pada tahun berikutnya, putusan pengadilan menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai dalam pemenuhan hak pendidikan warga negara. Namun, hasil putusan pengadilan tersebut ternyata tetap tidak menyurutkan niat pemerintah untuk menyelenggarakan ritual ini pada tahun-tahun berikutnya, dengan berbagai macam motif yang seolah-olah demi kebaikan peserta didik.

Penyelenggaraan UN sepintas memang terlihat sebagai aktifitas yang ditujukan pada peserta didik, namun pihak pemerintah, sekolah, lembaga bimbingan belajar, orang tua, dan berbagai elemen masyarakat lainnya, mau tidak mau harus ikut terlibat dalam ritual ini, berupaya memutar otak agar peserta didik yang menjadi harapan mereka bisa lulus dalam ujian tersebut. Sejak peserta didik memasuki tahun terakhirnya di bangku sekolah, pihak satuan pendidikan mulai mencekoki peserta didik dengan berbagai macam les tambahan mata pelajaran yang akan di-UN-kan. Pada paruh semester kedua, umumnya sekolah-sekolah mulai banyak menyelenggarakan beragam try out UN yang harus diikuti oleh peserta didik. Dirasa belum cukup, sejumlah sekolah bahkan mengadakan istighotsah mingguan yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Orang tua pun tak kalah sibuknya dengan sekolah, mulai dari memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar yang tidak gratis hingga mencari jimat agar anaknya lulus ujian pun rela dijalankan oleh mereka. Lembaga bimbingan belajar juga tak mau ketinggalan dengan menggelar berbagai macam sarana promosi untuk menjual tips dan trik lulus UN, mulai dari diskon biaya bimbingan hingga kerjasama dengan pihak sekolah maupun event organizer untuk mengadakan try out UN. Segala macam aktifitas ekstrakurikuler, kegiatan menonton televisi, berjalan-jalan, bahkan waktu tidur peserta didik pun mau tidak mau berkurang drastis. Demi lulus UN, peserta didik yang usianya masih berada pada kisaran anak-anak dan remaja ini juga harus rela kehilangan waktu refreshingnya. Perilaku berbagai kalangan dalam menghadapi UN ini, seolah-olah menyepakati bahwa UN harus dijalani sebagai sebuah ritual wajib untuk mendapatkan vonis hidup dan mati peserta didik dalam menghadapi masa depan mata pencahariannya.



Mitos Seputar UN: Ditanam, Dipelihara, Dan Dituai Oleh Pemerintah

Melekatnya mitos seputar UN sebagai ritual tutup tahun yang diharapkan akan menghasilkan angka-angka keramat penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ini tentu tidaklah terjadi dengan sendirinya. Ada pihak-pihak yang berusaha menabur benih demi menuai mitos seputar UN hingga menjadi tumbuh subur seperti saat ini. Benih tersebut ditanamkan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan UN berikut sederet implikasi kebijakan yang menyertainya. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah telah menetapkan bahwa UN adalah penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang diikutinya. Bila peserta didik tidak lulus UN, maka mereka tidak akan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena mereka tidak akan mendapatkan ijazah sebagai tanda kelulusan dari suatu jenjang pendidikan secara simbolis. Ketika peserta didik tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, ada mitos bahwa peluang mereka untuk mendapatkan mata pencarian dengan gaji tinggi bermodalkan ijazah tersebut akan semakin sempit. Belum lagi adanya mitos bahwa semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang, maka status sosial mereka dimata masyarakat akan semakin rendah. Segala mitos tersebut akhirnya memicu adanya pandangan bahwa pendidikan – dalam hal ini dimaknai sempit sebagai persekolahan – adalah investasi terpenting dalam kehidupan[5]. Sehingga bila peserta didik tidak lulus UN, maka orang tua peserta didik tersebut akan merasa hal tersebut sebagai pertanda bahwa hidup anak mereka telah gagal. Tidak mengherankan bila pada akhirnya orang tua peserta didik berupaya melakukan berbagai macam cara agar anak-anaknya dapat lulus UN, semata-mata karena mitos seputar UN yang sudah melekat kuat dibenak masyarakat.

Terpeliharanya citra UN agar tetap terlihat sebagai alat penilaian yang sempurna, tentunya dilakukan pemerintah dengan bantuan dari banyak pihak, sebagaimana keterlibatan satuan pendidikan dalam pemeliharaan citra UN melalui konspirasi politik pelulusan peserta didik secara terstruktur, dengan paksaan dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Di Garut, Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95%[6]. Bahkan Mendiknas mengaku salut terhadap langkah Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang hendak melakukan merger terhadap sekolah-sekolah yang tidak mampu meluluskan siswanya, dan tentu saja hal tersebut malah memberikan kontribusi tekanan yang luar biasa besar bagi sekolah. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, Wakil Ketua Komisi X, Masduki Baidlowi[7] memaparkan bahwa kepala daerah ternyata juga mendesak kepala Dinas Pendidikan supaya mendongkrak hasil UN agar nama daerahnya tidak tercoreng. Dengan demikian, UN telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik, yang disatu sisi berfungsi untuk memuaskan kebutuhan pemerintah pusat dan pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan[8]. Selain itu, temuan lapangan tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan Depdiknas dalam program Standar Sekolah Nasional (SSN) menjadi pemicunya, sebab label SSN diberikan bagi sekolah yang angka ketidaklulusannya mencapai 0%[9]. Dan yang membuat sekolah-sekolah kemudian berkompetisi agar kelulusan peserta didik di sekolahnya mencapai 100% tentunya adalah iming-iming akan dana ratusan juta rupiah bila sekolah mereka berstatus SSN. Alasan inilah yang akhirnya memunculkan ‘tim sukses UN’ yang beranggotakan guru sebagai distributor jawaban untuk siswa dengan cara yang tidak sehat[10].

Kecurangan yang terjadi saat UN mengakibatkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo sempat geram dan menyatakan siapapun pelakunya harus ditindak secara tegas[11]. Namun pernyataan yang dikeluarkan oleh Mendiknas tersebut sangatlah ironis, sebab kebocoran soal UN sebenarnya memang telah direncanakan secara terstruktur dengan melibatkan Dinas Pendidikan setempat maupun kepala daerah, semata-mata demi memelihara citra UN agar tetap sempurna, sehingga upaya-upaya pembongkaran terhadap konspirasi kecurangan UN pun ditanggapi dengan aksi yang tidak positif. Sebagaimana yang pernah terjadi di Medan, beberapa tenaga pendidik yang berusaha mengungkap kasus kecurangan UN malah mendapat teror dan pemaksaan pengunduran diri dari mata pencahariannya sebagai pendidik[12]. Kasus kecurangan UN tersebut terjadi secara sistematis berdasarkan rencana yang melibatkan seluruh kepala sekolah di Medan dalam sebuah rapat yang menyepakati bahwa sekolah diwajibkan membantu peserta didik agar lulus UN[13]. Kasus kecurangan yang sama juga pernah terjadi di Bogor hingga permasalahan tersebut dimejahijaukan[14]. Dari berbagai kasus kecurangan yang terungkap, Education Forum bahkan menuding UN telah menjadi hidden curriculum pendidikan mental korup, yang jika praktik ini terus dibiarkan maka sekolah akan menjadi institusi efektif dalam mengakselerasi kehancuran mentalitas bangsa[15].

Dalam menjaga citra UN sebagai ritual sakral yang akan memunculkan angka-angka keramat untuk ditukar dengan ijazah, pemerintah seolah-olah berupaya mengeliminasi kemungkinan kecurangan dalam UN dengan penjagaan yang nampak tidak rasional. Saat UN berlangsung, pemerintah melibatkan aparat kepolisian dan TPI (Tim Pemantau Independen) untuk mengawasi penyelenggaraan UN serta tidak memperbolehkan peserta didik maupun pengawas membawa ponsel, seperti yang terjadi pada tahun 2007 lalu[16]. Bahkan, pemerintah melakukan penjagaan yang berlebihan pada penyelenggaraan UN tahun 2008 ini dengan melibatkan Densus (Detasemen Khusus) 88 dalam menindak pelaku kecurangan UN yang notabene bukanlah tindak pidana terorisme. Imparsial, ICW dan Koalisi Pendidikan memandang bahwa hal tersebut telah menyalahi fungsi asli Densus 88 yakni sebagai kesatuan unit anti-teror[17]. Ditambahkan pula oleh mereka bahwa keterlibatan kekuatan-kekuatan koersif dan eksesif dalam dunia pendidikan menjadi bukti nyata bahwa paradigma militerisme masih kuat dalam struktur birokratis pemerintahan[18]. Dipertontonkannya drama penangkapan guru-guru oleh polisi di sekolah, seperti yang terjadi pada belasan guru di Makasar dan Deli Serdang dalam kasus kebocoran soal UN 2008[19], membawa sebuah pesan utama untuk memunculkan citra di mata masyarakat bahwa penanggung jawab utama kebobrokan pendidikan di negeri ini adalah guru dan bukannya akibat ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola sistem pendidikan nasional[20]. Fenomena tersebut sudah pasti menimbulkan konflik batin antara peserta didik, orang tua peserta didik maupun masyarakat dan pendidik maupun sekolah, dalam mencari-cari dalang kebobrokan sistem pendidikan nasional, tanpa tudingan terhadap pemerintah tentunya. Bentuk inkonsistensi pemerintah dalam melindungi aksi-aksi kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan UN tersebut disatu sisi berlawanan dengan tindakan pemerintah yang seolah-olah melakukan penjagaan agar tidak ada kecurangan dalam UN, layaknya sebuah sandiwara yang dilakukan demi melestarikan citra UN, sebagai alat penilaian sempurna garapan pemerintah.



Ketimpangan Konsep Penyelenggaraan UN

Bila dilihat kembali, secara konseptual, penyelenggaraan UN penuh dengan ketimpangan disana-sini. Yang paling jelas bila dilihat dari perspektif legal basis. UN yang selama ini diberlakukan oleh pemerintah didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan[21]. Ironisnya, hasil dari UN yang hanya dilakukan selama beberapa hari ini difungsikan sebagai alat untuk menentukan apakah peserta didik telah berhasil menguasai kompetensi tertentu yang dipersyaratkan oleh pemerintah berdasarkan kegiatan belajar mengajar yang diikuti oleh peserta didik selama bertahun-tahun. Pengadaan UN sebagai alat penilaian hasil belajar peserta didik oleh pemerintah adalah pelanggaran terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Sangatlah tidak logis bila pemerintah yang tidak terlibat langsung dengan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan, secara tiba-tiba dengan semena-mena melakukan penilaian terhadap hasil belajar peserta didik. Selain pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, tentu saja soal-soal ujian yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini melalui BSNP, tidak akan sinergis dengan kegiatan belajar mengajar yang telah diikuti oleh peserta didik. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena sekolah telah menerapkan KTSP. Secara prinsip, UN yang sentralistis bertentangan dengan KTSP yang desentralistis. Dan lagi, pemberlakuan UN sebagai alat penilaian hasil belajar peserta didik telah menginjak-injak hak pendidik dan otoritas sekolah dalam implementasi KTSP. Pemberlakuan keduanya secara bersamaan adalah bentuk inkonsistensi kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah.

Penyelenggaraan UN mulai dari prasyarat keikutsertaan peserta didik dalam UN hingga kriteria kelulusan peserta didik dari UN diserahkan pemerintah pada lembaga yang seolah-olah independen dan tidak termasuk dalam elemen pemerintah, yang dikenal dengan nama BSNP[22]. Walaupun dalam kenyataannya di lapangan lembaga ini tidak benar-benar independen, sebab dari proses pembentukannya saja sudah terlihat tidak independen. BSNP dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada Mendiknas, jadi tidak ada bedanya memang, antara pemerintah dengan BSNP, karena keduanya sama-sama pihak yang merupakan representasi dari pemerintah. Payung hukum otoritas penyelenggaraan UN pada BSNP dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP menjadi batal hukum dengan sendirinya sebab secara hierarkis bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 58 ayat 1 yang memuat bahwa asesmen hasil belajar peserta didik hanya dapat dilakukan oleh pendidik. Sebagaimana teori Stufenbau[23], maka peraturan yang lebih tinggi lah yang seharusnya digunakan bila ada pasal dalam peraturan yang secara hierarkis berada lebih rendah mencoba untuk menganulir peraturan yang lebih tinggi tersebut. Penyelenggaraan UN oleh pemerintah sebagai alat untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik dan alat ukur kelulusan, jelas-jelas tidak berdasar hukum dan inkonstitusional[24]. Hal yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah adalah penilaian terhadap kinerja lembaga pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP pasal 78. Selain masalah payung hukum tersebut, kualitas soal UN juga menjadi pertanyaan yang tidak kalah penting. Sebab UN yang hanya berlangsung selama beberapa jam tersebut hanya memberikan gambaran sesaat terhadap kemampuan peserta didik pada taraf kognitif, yang tentunya sangat amat bergantung pada kualitas soal yang diujikan dalam UN. Walaupun Depdiknas menyatakan bahwa dasar penyusunan soal-soal UN adalah standar kompetensi lulusan SKL dan materinya merupakan irisan dari kurikulum 1994, 2004, dan KTSP[25], namun hal tersebut tidak menjamin kualitas soal. Bahkan publik mempertanyakan mengapa BSNP tidak pernah mengumumkan hasil uji reliabilitas dan validitas soal-soal UN yang diujikan[26].

Segala ketimpangan dan permasalahan yang diakibatkan oleh UN yang diselenggarakan oleh pemerintah ini sebenarnya telah menuai banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat hingga anggota DPR. Bahkan tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara dalam gugatan warga negara (citizen law suit) mengenai kebijakan UAN yang digulirkan oleh pemerintah[27]. Para tergugat (Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP) diperintahkan untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik akibat UN, dan diperintahkan untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional[28], serta diminta untuk mengembalikan hak penentuan kelulusan peserta didik kepada pendidik dan juga sekolah yang bersangkutan. Kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di seluruh Indonesia, harus mereka tingkatkan sebelum melaksanakan UN lagi. Namun, meski sudah diputuskan oleh pengadilan, pemerintah tetap saja melakukan pelanggaran dengan tetap menyelenggarakan UN hingga tahun 2008 ini, dengan dalih bahwa keputusan pengadilan belum final sehingga mereka tetap dapat menyelenggarakan UN[29].



Dehumanisasi Peserta Didik Melalui UN

Dalam dunia industri, proses sortir produk dilakukan berdasarkan standar kualitas minimum tertentu yang telah ditentukan oleh perusahaan. Produk yang digolongkan sebagai barang ‘reject’ adalah produk yang kualitasnya berada dibawah standar kualitas minimum sehingga tidak akan dijual ke pasaran. Kondisi produk ‘reject’ bisa jadi dikarenakan berbagai macam faktor yang tidak akan dipertanyakan oleh petugas sortir produk kepada produk ‘reject’ tersebut karena produk tersebut merupakan benda mati. Pemberlakukan UN dengan standar pencapaian nilai minimum yang akan menentukan vonis lulus tidaknya peserta didik tanpa menghiraukan penyebab dibalik ketidaklulusan peserta didik, sama halnya dengan memperlakukan peserta didik sebagai benda mati. Keunikan setiap individu peserta didik sebagai manusia telah diabaikan mentah-mentah dengan logika pembendaan tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan proses dehumanisasi peserta didik.

Model soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN juga telah mematikan unsur kreatifitas dan inisiatif peserta didik. Sebab peserta didik diharuskan memilih opsi-opsi jawaban yang sudah tersedia pada lembar jawabannya, tanpa diijinkan untuk mengembangkan daya kreasinya. Model soal pilihan ganda dengan jawaban pasti ini juga akhirnya menimbulkan budaya instan pada proses pembelajaran peserta didik, sehingga pendidik pun menyelenggarakan pembelajaran dengan model drilling yang menuntut peserta didik untuk sekedar menghapal jawaban-jawaban yang sudah pasti, tanpa harus memikirkan darimana datangnya jawaban tersebut.

Penyelenggaraan UN juga telah melecehkan kemerdekaan pendidik dalam berpikir dan berbuat. Pemerintah hanya seolah-olah saja berusaha menyenangkan hati para pendidik dengan pemberlakuan KTSP yang pada prinsipnya membebaskan pendidik dan satuan pendidikan dalam penerapan kurikulum sesuai dengan keunikan potensi sekolah dan daerah masing-masing. Pasalnya, meskipun KTSP telah ditetapkan pemberlakuannya, pemerintah masih saja ingin menilai keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dengan UN yang jelas-jelas tidak saling bersinergi. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena penerapan KTSP antara masing-masing sekolah tentunya juga berbeda. Pada akhirnya, pendidik lah yang harus mengalah dengan mengikuti kemauan pemerintah yang telah menetapkan standar-standar tertentu atas pencapaian hasil belajar peserta didik melalui UN, jika mereka tidak ingin mendapatkan berbagai hukuman seperti vonis ‘tidak lulus’ maupun ‘sekolah tidak favorit’.

Menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak[30]. Hukuman yang dimaksud tentunya adalah stempel ‘tidak lulus’ dan ‘tidak dapat ijazah’. Terlebih lagi, berbagai tekanan terhadap peserta didik yang berlebihan tersebut dapat mengakibatkan peserta didik mengalami depresi berat[31] bahkan sampai ada yang meninggal dunia[32]. Ditemui juga puluhan kasus peserta didik yang melakukan percobaan bunuh diri karena tidak lulus UN, ada yang gagal, namun tidak sedikit juga yang berhasil [33]. Namun tekanan tersebut lebih banyak mengakibatkan peserta didik menjadi menghalalkan segala cara agar lulus UN dengan melakukan kecurangan saat UN hingga melakukan jual beli jawaban[34].

Penilaian pencapaian kompetensi peserta didik melalui UN adalah praktek pengabaian kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik. UN jelas-jelas bertentangan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif dalam konstitusi[35]. Padahal menurut Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan[36]. Bila seorang peserta didik yang tidak lulus UN dianggap ‘tidak cerdas’ secara kognitif, maka hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap keutuhan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh manusia.

Singkat cerita, proses dehumanisasi peserta didik inilah yang digambarkan sebagai proses yang tidak memanusiakan peserta didik, sebab proses pendidikan adalah sesuatu yang intangible sehingga dengan adanya UN sebagai alat untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik, telah terjadi praktek reifikasi[37], yang digambarkan oleh Paulo Freire sebagai proses dehumanisasi[38]. Pendidikan sebenarnya terjadi sepanjang hayat dan ‘kehidupanlah’ yang berhak menilai seorang individu, lain halnya dengan persekolahan yang hanya sebagian kecil dari proses pendidikan, dan dijalani peserta didik dalam kurun waktu yang terbatas. Education is not schooling, sehingga penyamaan makna pendidikan dengan persekolahan akan membuat makna pendidikan tereduksi menjadi sangat sempit.



UN Yang Kental Dengan Semangat Neoliberalisme

Neoliberalisme adalah liberalisme gaya baru yang merupakan bentuk kolonisasi modern terhadap manusia[39]. Dan ketika segala sesuatu yang terjadi dalam hidup manusia dipandang dengan kacamata untung rugi, maka manusia tersebut telah dikuasai oleh logika neoliberalisme. Singkat cerita, prinsip neoliberalisme ini mengedepankan mekanisme pasar yang ‘bekerja’ dalam penentuan ekonomi global, pasar yang melayani kesejahteraan individu, peralihan kekuasaan kebijakan pada individu dan tidak lagi mempercayakannya pada pemerintah sebagaimana yang terjadi dengan liberalisme[40].

Dengan tertanamnya neoliberalisme secara universal melalui konsep globalisasi, maka lahirlah penghambaan terhadap individualisme melalui mekanisme kompetisi yang akhirnya melahirkan pemenang dan orang-orang (yang dianggap) kalah. Sebab lembaga pendidikan formal telah dianggap sebagai sarana indoktrinasi nilai-nilai para elit penguasa, maka mekanisme kompetisi tersebut akhirnya disuntikkan dalam tubuh sistem pendidikan nasional. Meski banyak sekali praktek mekanisme kompetisi dalam dunia pendidikan, seperti sistem rangking, sistem ulangan harian, maupun beasiswa, penyelenggaraan UN adalah bentuk yang paling dehumanis dalam prakteknya. Sebab, kompetisi yang terjadi dalam UN, tidak hanya dilakukan oleh peserta didik untuk mendapat stempel pemenang dengan hadiah ijazah demi mendapatkan mata pencaharian dengan gaji tinggi, namun juga dilakukan oleh sekolah untuk memperoleh label SSN atau untuk mendapat kucuran dana bantuan dari pemerintah. Para kepala daerah dan dinas pendidikan pun juga tidak mau kalah dalam kompetisi tersebut semata-mata demi mengejar citra yang baik dimata pemerintah agar mereka mendapatkan bonus rupiah. Pemberlakuan UN sebagai alat ukur instan mutu pendidikan secara general juga menjadi sarana pemerintah dalam berkompetisi dengan negara-negara tetangga, demi mendapatkan kredibilitas tinggi dimata lembaga donor asing agar mereka tetap mau menyuntikkan dana bagi pemerintah. Agar menjadi pemenang dalam kompetisi tersebut, maka segala cara dihalalkan, termasuk kecurangan amoral yang menimbulkan tendensi perilaku korup.

Tujuan utama yang ingin diraih oleh pemenang kompetisi ini secara keseluruhan adalah uang. Dengan uang, maka setiap individu dapat membeli pemerolehan akses terhadap kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang seharusnya bisa mereka dapatkan dengan cuma-cuma. Pasalnya, neoliberalisasi telah berdampak pada privatisasi segala bidang yang kemudian merambah pada hak asasi manusia atas pendidikan, kesehatan, dan bahkan hak untuk hidup. Artinya, semua pemerolehan hak asasi sangat tergantung pada daya beli individu terhadapnya, sehingga bila seseorang tidak memiliki sejumlah uang untuk ditukarkan dengan makanan, maka ia tidak akan mendapatkannya. Pemerintah yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warga negara pun akhirnya tidak akan dapat berbuat apa-apa sebab segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah keinginan para pemilik modal yang telah meninabobokkan pemerintah dengan suntikan modal pula.

Alasan dibalik penanaman mekanisme kompetisi yang mengedepankan N-ach[41] dalam dunia pendidikan, terutama melalui penyelenggaraan UN, adalah untuk menginternalisasikan sikap kompetitif pada calon buruh (peserta didik) yang akan dipekerjakan oleh kaum industriawan. Sikap kompetitif tersebut akan sangat berguna bagi para pemilik modal sebab akan mempermudah mereka dalam menginisiasi buruh mereka dengan gaji tinggi sebagai iming-iming agar buruh mereka mau meningkatkan produktifitas kinerjanya. Bagi para pemilik modal, peningkatan produktifitas buruh adalah sama dengan peningkatan keuntungan yang akan mereka raih. Namun, sebenarnya kompetisi tersebut tidak hanya berdampak pada kinerja buruh saja, melainkan juga pada kehidupan kesehariannya. N-ach mempengaruhi individu untuk bersaing dalam segala hal demi prestige, mulai dari berusaha mendapatkan sekolah berkualitas tinggi dengan harga termahal hingga sekedar memilih untuk makan di tempat yang mewah pun dilakukan. Dan watak individualistis yang hanya memikirkan kepentingan diri pribadi tersebut telah dilahirkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal hari ini.

Kompetisi antar peserta didik yang mengarahkan mereka untuk bersikap individualistis, menyebabkan tidak adanya ‘pengetahuan untuk dibagi’ melainkan menjadi milik pribadi yang tidak bisa dibagi-bagi jika tidak mau tersaingi. Moralitas diabaikan dalam persaingan tersebut, dan terjadilah korosi sosial[42] akibat social intelligence yang tidak terasah dan masih terdikotomi dengan ‘aku-kamu-mereka’. Korosi sosial inilah yang akhirnya menimbulkan bystander apathy[43]. Sebabnya jelas, sistem persekolahan formal hari ini hanya menyediakan tempat bagi para ‘pemenang’ atau peserta didik yang kepintarannya dapat dikuantitatifkan begitu pula dengan lembaga pendidikannya yang terklasifikasi dengan level favorit dan tidak favorit. Sebagaimana ciri neoliberalisme yang tidak memberi ruang bagi orang-orang yang (dianggap) kalah, maka peserta didik yang (dianggap) kurang intelektualitasnya secara kuantitatif menjadi warga kelas dua. Begitu pula dengan sekolah yang dicap dengan level favorit, maka akan mendapatkan ‘hadiah’ penerimaan murid yang meningkat berikut bonus rupiah dari pemerintah dan sebaliknya. Padahal jika dipahami lebih lanjut, ‘kekalahan’ mereka tersebut terjadi secara struktural, sehingga sangatlah tidak manusiawi bila mereka diberi hukuman dengan vonis ‘lulus-tidak lulus’ maupun ‘favorit-tidak favorit’.

Dengan pengandaian bahwa soal-soal yang diujikan dalam UN memiliki kredibilitas tinggi, maka ketidaklulusan peserta didik dalam UN pun masih tidak dapat dipersalahkan 100% pada peserta didik yang bersangkutan hingga mereka harus dihukum. Kualitas pendidik yang berinteraksi dengan peserta didik sehari-harinya juga menjadi pertanyaan, sebab akan berbeda kualitas pastinya antara pendidik di sekolah ‘favorit’ dengan sekolah yang ‘tidak favorit’. Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, antara peserta didik satu dengan yang lain juga pasti berbeda, tergantung dengan kemampuan ekonomi orang tua peserta didik. Kondisi fisik dan psikis yang dihadapi oleh masing-masing peserta didik pun pasti berbeda satu sama lain, dan tentunya masih banyak lagi hal-hal yang menjadi faktor dalam penentu keberhasilan peserta didik dalam pengerjaan UN. Keberadaan segala faktor tersebut sangatlah manusiawi sebab peserta didik adalah manusia. Mekanisme kompetisi tersebut telah melahirkan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sebab tidak semua orang tua dapat menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkualitas baik, karena sekolah berkualitas baik biasanya menuntut pembiayaan lebih, sehingga peserta didik yang mendapatkan sekolah yang berkualitas kurang baik pun sebenarnya bukanlah murni pilihan mereka. Seluruh bentuk kehidupan yang mereka jalani juga tidak sepenuhnya pilihan mereka, melainkan telah dipaksakan oleh ‘situasi’ yang dibuat oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa secara ekonomi. Secara singkat, siklus tersebut akan berputar seperti ini: peserta didik dengan orang tua yang berkemampuan ekonomi lemah akan menyekolahkan anak mereka di sekolah ‘tidak favorit’ dengan kualitas yang kurang, akibatnya peserta didik memiliki prestasi belajar (yang dianggap) rendah sehingga peluang mereka dalam mendapatkan mata pencarian dengan gaji tinggi telah dinihilkan, dan akhirnya anak keturunan mereka pun bernasib sama dengan mereka, dan seterusnya berlanjut tanpa henti, bahkan mungkin dengan nasib yang lebih tidak beruntung dari sebelumnya. Pada akhirnya mereka tetap berada dalam jajaran orang-orang (yang dianggap) kalah karena tidak dapat bersaing dalam kompetisi kehidupan sehingga menjadi warga (yang dianggap) kelas dua, sebab dalam kompetisi yang penuh dengan semangat neoliberalisme ini yang kalah akan semakin lemah dan yang menang akan semakin kuat.

Pemberlakuan UN sebagai alat asesmen hasil belajar peserta didik sangat bertentangan dengan HAM yang mengakui hak warganegara untuk tidak mendapatkan diskriminasi dalam bidang pendidikan, seperti tercantum dalam UU Sisdiknas. Sebagaimana pendapat Utomo Danandjaja, penetapan standar kelulusan memiliki ideologi diskriminatif sebab telah mengkotak-kotakkan ‘kelas’ yang terpisah antara siswa yang cerdas dan yang kurang cerdas[44], apalagi hasil UN tersebut digunakan peserta didik untuk mendaftar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Peserta didik yang hasil UN-nya tinggi akan dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit yang dianggap lebih berkualitas dan sebaliknya, peserta didik yang hasil UN-nya kurang tinggi akan ‘dibuang’ ke sekolah-sekolah pinggiran yang berkualitas rendah. Padahal setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas[45], malahan peserta didik yang dianggap ‘kurang’ memiliki hak untuk didampingi secara lebih intensif oleh pendidik dan bukannya ‘dihukum’ untuk memasuki sekolah yang kualitasnya malah ‘kurang’ sehingga peserta didik makin terpuruk. Belum lagi, pengadaan ujian Paket C yang dijadikan sebagai sarana ujian remidial oleh pemerintah malah semakin melebarkan kesenjangan antara peserta didik yang dianggap pandai versi UN dan versi ujian Paket C sehingga akan semakin menambah beban psikologis mereka[46]. Sebab akan terjadi dikotomi antara ijazah pendidikan formal dengan ijazah pendidikan Paket C yang tidak selalu diterima oleh PT maupun dunia kerja karena masih dipandang sebelah mata. Diskriminasi yang timbul akibat pemberlakuan UN ini sangat bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah meniadakan diskriminasi. Dan diskriminasi terhadap peserta didik yang terjadi dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan berpotensi membunuh rasa percaya diri peserta didik ini tidak terjadi di Finlandia yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik sedunia. Sekolah-sekolah di Finlandia tidak membuat sistem rangking, apalagi membuat label tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah pada peserta didiknya[47]. Peserta didik yang mereka bahasakan sebagai ‘peserta didik yang agak lambat belajar dibandingkan dengan peserta didik lainnya’ malah diberikan pendampingan intensif oleh sekolah tentunya dengan pendidik yang memiliki kualitas didik lebih, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Diskriminasi tidak hanya terjadi pada peserta didik namun juga terjadi pada mata pelajaran. Ada kesenjangan prioritas antara mata pelajaran yang diujikan dalam UN dengan yang tidak diujikan dalam UN, sebab tidak semua mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik pada lembaga pendidikan diujikan dalam UN. Jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN juga berubah-ubah setiap tahunnya. Pada UN tahun 2008 ini mata pelajaran yang diujikan dalam UN SMA berjumlah 6 mata pelajaran, sementara UN SMK tetap 3 mata pelajaran, untuk UN SMP bertambah 1 mata pelajaran menjadi 4 mata pelajaran, dan UN SD tetap 3 mata pelajaran[48]. Perubahan jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah tindakan yang diambil BSNP terkait banyaknya masukan mengenai diskriminasi antara mata pelajaran yang diujikan dan tidak dujikan dalam UN. Namun, tindakan BSNP tersebut tetap saja tidak dapat meniadakan diskriminasi yang terjadi akan prioritas mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik. Para pendidik di sekolah peserta didik tentunya juga akan lebih mempersiapkan peserta didiknya dalam menghadapi sejumlah mata pelajaran tertentu saja yang akan diujikan dalam UN[49]. Seto Mulyadi menilai bahwa pelaksanaan UN justru bisa membuat peserta didik tidak belajar selama belum mendekati waktu UN dan cenderung hanya memprioritaskan belajar pada saat menjelang UN[50]. Secara tidak langsung, melalui kebijakan UN, pemerintah telah menentukan bahwa sejumlah mata pelajaran tertentu lebih penting dari sejumlah mata pelajaran lainnya. Pemilihan mata pelajaran berhitung dan bahasa sebagai mata pelajaran yang di-UN-kan adalah bukti bahwa pemerintah hanya mengakomodasi kebutuhan kaum industriawan akan calon buruh yang mereka perlukan dengan kompetensi minimal dapat berhitung dan berbahasa dengan baik. Imbasnya, peserta didik, pendidik, orang tua, maupun masyarakat secara luas akan membangun paradigma yang sama dengan pemerintah. Sebagai contoh, dengan tidak diujikannya mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan dalam UN, maka mata pelajaran tersebut dianggap tidak lebih penting dibandingkan dengan mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, maupun Bahasa Inggris yang diujikan dalam UN, sehingga pendidik maupun peserta didik tidak akan mempelajari mata pelajaran yang tidak di-UN-kan dengan sungguh-sungguh karena tidak ‘dibutuhkan’.

Bagi pemerintah, penyelenggaraan UN sangat menguntungkan bagi mereka sehingga akan tetap terus dipertahankan dengan berbagai macam cara. Dan cara penentuan kebijakan dengan melihat manfaat kebijakan tersebut dari kacamata untung-rugi ini tentunya merupakan prinsip dasar dari pemerintahan yang telah dikuasai oleh semangat neoliberalisme.



Kepentingan Pemerintah Dibalik Implementasi Kebijakan UN

Menanam mitos seputar UN ditengah-tengah segala ketimpangan dalam konsep penyelenggaraan UN, tidaklah dilakukan pemerintah tanpa alasan yang menguntungkan. Ada beragam kepentingan yang menyertai tindakan pemerintah tersebut. Tentunya bukan hanya kepentingan yang seolah-olah demi kebaikan peserta didik, seperti yang selalu diungkapkan oleh pemerintah bahwa penyelenggaraan UN adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui pemetaan hasil UN peserta didik. Namun, ada kepentingan lain yang notabene menguntungkan pemerintah disatu sisi, tapi merugikan peserta didik disisi lainnya. Sebabnya jelas, relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan tidak pernah dapat dibuktikan oleh pemerintah secara empiris sehingga terkesan asal-asalan beralasan. Hasil penelitian lintas negara, seperti TIMMS dan PISA menunjukkan bahwa meski Indonesia memiliki ritual UN untuk penentu kelulusan, prestasi akademis siswa-siswa di Indonesia masih terpuruk di jajaran bawah[51]. Bahkan survei oleh lembaga-lembaga internasional menunjukkan, hanya satu di antara tujuh pelajar Indonesia yang mampu menunjukkan kompetensi higher order of thinking seperti problem solving, sementara di Finlandia lima[52]. Padahal, Finlandia tidak pernah mengadakan ritual UN seperti Indonesia. Finlandia mengadakan ujian hanya beberapa tahun sekali yang itupun tidak diikuti oleh semua peserta didik, sebab ujian yang mereka lakukan hanyalah untuk mendapatkan data hasil penilaian kompetensi peserta didik yang digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidik dan sekolah[53], dan bukannya untuk menentukan vonis kelulusan terhadap peserta didik seperti halnya di Indonesia. Penjelasan mengenai tidak adanya relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa penyelenggaraan UN selama ini adalah kesia-siaan belaka terutama bagi peserta didik.

Apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sebenarnya juga merupakan sebuah ironi akademis yang memposisikan guru dan siswa sebagai sekedar anjing pavlov[54]. Peningkatan intensitas kegiatan belajar mengajar tersebut terjadi karena adanya stimulus dari luar, yang dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan karena sangat tidak manusiawi[55]. Bahkan, menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak[56].

Dalih lain pemerintah dibalik penyelenggaraan UN adalah untuk pemetaan mutu pendidikan di Indonesia. Padahal, tidak pernah ada follow up[57] untuk pemerataan mutu pendidikan secara substantif yang didasarkan atas hasil UN yang notabene fiktif hasil rekayasa melalui kecurangan terstruktur. Sekolah yang tingkat kelulusan peserta didiknya mencapai 100% lah yang diberi suntikan dana bantuan oleh pemerintah, sementara sekolah yang tingkat kelulusannya tidak berhasil mencapai angka sempurna malah diberikan ‘hukuman’, mulai dari ancaman mutasi kepala sekolah[58] hingga penihilan peluang untuk mendapatkan dana bantuan untuk meningkatkan mutu sekolahnya. Selama ini, UN jelas-jelas hanya difungsikan sebagai vonis terhadap kelulusan peserta didik dan memang tidak ada tindakan pemerintah yang mengarah pada perbaikan mutu pendidikan berdasarkan hasil UN selain dengan meningkatkan standar minimal pencapaian nilai hasil UN itu sendiri. Bahkan disinyalir bahwa penyelenggaraan UN ini adalah salah satu cara pemerintah untuk membagi-bagi proyek pada seluruh koleganya[59]. Wajar saja, sebab dana penyelenggaraan UN setiap tahunnya menelan biaya trilyunan rupiah[60]. Begitu ironis, pemerintah menghamburkan trilyunan rupiah untuk menyelenggarakan UN yang jelas-jelas merupakan kesia-siaan, di tengah kondisi dunia pendidikan yang sangat membutuhkan banyak biaya untuk memperbaiki kualitas pendidik, sarana dan prasarana persekolahan, meningkatkan gaji pendidik, dan yang paling penting, yaitu untuk membebaskan seluruh anak usia sekolah dari buta aksara, yang jelas-jelas lebih relevan dengan peningkatan mutu pendidikan secara nasional.

Kegiatan ‘bagi-bagi proyek’ UN dilaksanakan tidak hanya di jajaran elit pemerintah, , namun hingga di tingkat satuan pendidikan. Hasil temuan ICW terhadap penyelidikan yang mereka lakukan pada sekolah-sekolah di Jakarta membuktikan adanya 55 jenis ‘pungutan liar’ yang dilakukan oleh pihak sekolah terkait dengan pengadaan UN[61]. Penyelenggaraan UN juga menjadi ajang bisnis bagi berbagai pihak yang akhirnya ikut ‘memeras kantong’ orang tua peserta didik. Selain sekolah yang memungut biaya les tambahan untuk persiapan UN, sudah bukan rahasia lagi bila banyak sekolah yang bekerja sama dengan beraneka lembaga bimbingan belajar untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi UN. Bahkan orang tua peserta didik merasa lebih percaya diri dalam menghadapi UN bila anaknya telah diikutsertakan dalam lembaga bimbingan belajar. Betapa ironis, karena sekali lagi, martabat pendidik di sekolah telah terinjak-injak tanpa disadari oleh mereka. Secara tidak langsung, lembaga bimbingan belajar tersebut telah mengambil alih fungsi sekolah karena lebih dipercayai oleh orang tua peserta didik dalam mendampingi anaknya belajar.

Penyelenggaraan UN ini jelas nampak sebagai cara pengukuran instan pemerintah untuk mendapatkan pengakuan bahwa mutu pendidikan di negeri ini meningkat seiring dengan dinaikkannya standar nilai minimal untuk kelulusan UN. Secara empiris sudah terbukti bahwa tidak ada relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan, namun alibi pemerintah yang tidak berdasar ini terus diwacanakan pada publik sebab UN mereka yakini sebagai cara termudah untuk mendapatkan kebanggaan akan peningkatan mutu pendidikan, sekalipun hasil UN tersebut telah mereka manipulasi dengan berbagai modus operandi kecurangan dalam penyelenggaraan UN demi mempertahankan citra UN sebagai alat penilaian yang sempurna.

Kebanggaan fiktif pemerintah akan keberhasilan mereka dalam meningkatkan mutu pendidikan yang telah mereka rekayasa melalui hasil UN ini ternyata juga bukan satu-satunya keuntungan. Kebijakan UN adalah bentuk hegemoni pemerintah terhadap rakyat. Kurikulum yang tidak diaplikasikan secara konsisten dan masuknya UN di tengah otonomi pendidikan merupakan dikte yang terkadang lebih tragis dari kebijakan penjajah mengontrol pendidikan[62]. Menurut Prellezo[63], cara neokolonisasi ini bekerja begitu halus dan licik dalam mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Dan penyelenggaraan UN yang dari berbagai segi telah mematikan kreatifitas dan inisiatif peserta didik serta meneror mereka secara psikologis, adalah cara teraman bagi pemerintah untuk melanggengkan hegemoni[64] mereka terhadap rakyat.

Apa yang telah terjadi pada masa ini tidak akan dapat dikaji dengan mengabaikan konteks sejarah bila tidak ingin mengalami akronisme. Sebagaimana dipaparkan oleh sejarawan Ong Hok Ham[65], para pejuang kemerdekaan Indonesia tidaklah mendirikan negara baru dari bawah dengan unsur-unsur revolusioner melainkan mewarisi suatu negara beserta aparatus-aparatusnya. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir saat ini akibat politisasi pendidikan yang menjadi bagian dari agenda pemerintah untuk terus menghegemoni rakyat dan tentunya hal tersebut tidak terlepas dari sistem pendidikan yang terus mereproduksi pemimpin yang tirani dan sistem tersebut semakin lestari karena budaya feodal dan paternalistik bisu yang terus ‘dibudayakan’. Lembaga pendidikan formal dalam sistem tersebut memang tidak berfungsi sebagai lembaga yang dapat membangun kesadaran manusia secara ‘utuh’ melainkan – sebagaimana pendapat Paulo Freire[66] – malah menjadi lembaga untuk menanamkan ideologi pemerintah yang sedang berkuasa agar mereka tetap dapat melestarikan kekuasaannya tanpa suatu hambatan yang berarti sehingga proses membangun kesadaran manusia dalam lembaga pendidikan dapat berlangsung sekehendak mereka. Fakta inilah yang terjadi di negeri ini selama berabad-abad, bahkan sejak Indonesia belum merdeka, mulai jaman kerajaan Hindu Budha[67]. Namun, model pengendalian rakyat melalui lembaga pendidikan ini (sekali lagi) bukanlah model baru, sebab politisasi pendidikan sudah cukup lama dimulai bahkan sejak jaman peradaban Islam[68].

Kolonisasi yang pernah didera oleh negeri ini tidak hanya sebatas penjajahan secara fisik, namun juga secara psikis. Secara metodik, penjajahan fisik telah lama ditinggalkan, sebab penjajahan psikis ternyata jauh lebih ampuh dalam mengendalikan rakyat jajahan. Model penjajahan psikis atau neokolonisasi ini lebih mudah dilancarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang disebut dengan sekolah. Begitu besarnya peranan pendidikan – yang direduksi maknanya sebagai persekolahan – dalam mengubah manusia, ternyata dilihat oleh kelompok ekonomi kuat sebagai lahan yang sangat subur untuk sarana hegemoni, karena setiap manusia tidak mungkin tidak menginginkan dan membutuhkan pendidikan, terutama karena tertanamnya mitos pendidikan sebagai investasi terpenting dalam kehidupan.



Fungsi ‘Penilaian’ Yang Sebenarnya

Bila diamati secara mendalam, tujuan penentuan lulus tidaknya peserta didik dari suatu lembaga pendidikan adalah untuk mengetahui apakah peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu yang diharapkan telah dikuasai oleh peserta didik melalui kegiatan belajar mengajar yang terjadi pada lembaga pendidikan tempatnya belajar. Dalam menentukan apakah peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, hanya oleh pendidik tentunya. Sebab pihak yang paling mengetahui perkembangan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan hanyalah pendidik. Hal ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 58 ayat 1 bahwa ‘evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’. Dan tentunya dengan melakukan pengamatan harian terhadap perkembangan kompetensi peserta didik secara berkesinambungan, maka pendidik akan mendapatkan hasil asesmen yang lebih valid. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Zuber Safawi, Ketua Komisi X DPR RI, yang menyatakan bahwa secara normatif proses evaluasi belajar siswa seharusnya telah dimulai sejak awal tahun belajar, sehingga hasil evaluasi lebih bersifat komprehensif[69]. Hasil asesmen tersebut tentunya akan menunjukkan sejauh mana kemampuan pendidik dalam membantu peserta didik untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang dipelajarinya melalui kegiatan belajar mengajar. Fungsi dari assessmen in education tersebut adalah untuk menggunakan data hasil penilaian sebagai alat evaluasi bagi peserta didik secara individual dan juga bagi lembaga pendidikan tempatnya belajar[70]. Menyepakati hal tersebut, Utomo Dananjaya berpendapat bahwa idealnya, penilaian hasil belajar peserta didik memiliki 2 fungsi: pertama adalah untuk mengetahui kemajuan belajar siswa secara individual sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih bagi mereka yang mengalami kemunduran dalam proses belajar, fungsi kedua adalah agar guru mendapatkan umpan balik dari peserta didik atas proses pendidikan yang telah dilaksanakan sehingga guru memiliki referensi yang akurat atas perkembangan kemampuan peserta didik dalam proses belajar dan dapat merumuskan pola-pola belajar yang tepat dalam meningkatkan kemampuan peserta didik[71]. Sebagaimana halnya yang terjadi di Finlandia, penilaian terhadap hasil belajar peserta didik digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan kinerja lembaga pendidikan dalam mendampingi peserta didiknya[72]. Bahkan target pencapaian kompetensi peserta didik tidak dilakukan oleh pemerintah dengan pemberlakuan standar tertentu seperti di Indonesia, melainkan ditentukan oleh peserta didik sendiri sehingga tugas pendidik hanyalah mendampingi peserta didik dalam mencapai kompetensi yang diinginkannya. Hal tersebut yang ternyata menjadi pemacu peserta didik dalam belajar sehingga tidak mengherankan bila prestasi peserta didik asal Finlandia menjadi yang terbaik di dunia.

UN dikategorikan sebagai means daripada ends[73]. Sehingga, pokok permasalahan utama yang seharusnya dipikirkan oleh pemerintah yang menggulirkan kebijakan UN adalah tujuan pendidikan untuk mendapatkan peserta didik seperti apa yang ingin dicapai, dan bukannya malah memikirkan bagaimana mempertahankan UN sebagai ritual sakral tahunan yang tidak boleh diganggu gugat. Kuantifikasi hasil penilaian belajar peserta didik tentu saja menjadi alat untuk menghasilkan manusia mekanis yang diredusir pada kemampuan akademis yang tidak memiliki kemampuan dalam menjawab integritas manusia sebagai pribadi yang dikaruniai aneka macam keistimewaan seperti akal budi, kehendak, emosi, dan berbagai macam keunikan lainnya, sebab itulah, seharusnya sistem penilaian hasil belajar peserta didik harus dikembangkan dengan docimologi[74], sebagai suatu cara penilaian dengan menekankan bahwa akuisisi ilmu dipahami bukan dalam arti banyaknya jumlah gagasan serta pengetahuan yang dapat dipahami dan diterima peserta didik, namun sejauh mana pengetahuan itu dapat mengubah sikap dan perilaku yang koheren dengan konsep sebuah sekolah yang mendidik.



Kembali Pada Pendidikan Yang Memanusiakan Manusia

Perubahan kebijakan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengikuti indikator sederhana ‘kebijakan yang berpihak pada rakyat’ versi masyarakat awam seperti mudah lulus sekolah agar langsung dapat kerja, tidak ada pungutan untuk les tambahan persiapan ujian, hingga murahnya biaya pendaftaran sekolah atau bahkan gratis[75]. Polemik permasalahan UN sebagai kebijakan pendidikan sangatlah kompleks, tidak akan selesai hanya dengan sekedar menuruti indikator-indikator sederhana tersebut, apalagi hanya dengan mengganti sistem penilaian hasil belajar peserta didik dengan yang lebih relevan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, permasalahannya lebih dari itu. Namun semuanya dapat diawali dengan cara mengembalikan pendidikan pada tujuan utamanya, pendidikan sebagai sarana bagi manusia dalam memahami kemanusiawiannya.

Konsep humanizing human through education[76]ini sebenarnya telah lama dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan humanis sejak berabad-abad lalu. Mengapa harus kembali pada konsep pendidikan tersebut, sebab praktek-praktek dehumanisasi terhadap peserta didik dalam sistem pendidikan formal, bagaimanapun bentuknya, harus dihapuskan. Konsep tersebut sejalan dengan aliran konvergensi yang dianut oleh Al-Ghazali[77] dan juga William Stern yang mengemukakan bahwa manusia memang sejak lahir sudah membawa potensi dan bakat tetapi potensi dan bakat itu tidak akan berkembang dengan sendirinya secara maksimal tanpa dibantu dengan proses pendidikan. Intinya, pendidikan humanis dapat dipahami sebagai model pendidikan yang memuliakan manusia atas potensi-potensi kemanusiaan yang sudah ada dalam dirinya. Pada model pendidikan ini, manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, sehingga pendidikan harus berpusat pada peserta didik dan bukan pada pendidik. Selama tujuan pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik terhadap realitas yang ada di sekitarnya dan menyadarkan mereka akan proses dehumanisasi yang terjadi atasnya, maka peserta didik harusnya tidak lagi dijejali dengan hapalan teori melainkan dengan membawa mereka pada realitas itu sendiri. Dan konsep humanizing human through education inilah yang tidak ditemukan dalam lembaga pendidikan formal hari ini, sebab lembaga pendidikan formal hari ini telah dipahami sebagai tempat yang teramat strategis dalam mereproduksi mitos-mitos dan ideologi yang dikehendaki oleh penguasa. Melangkahkan kaki untuk keluar dari jeratan pendidikan yang dehumanis ini menjadi begitu sulit, walaupun bukannya tidak mungkin untuk dilakukan. Ada mitos bahwa warganegara yang tidak mengenyam pendidikan formal akan menjadi warga ‘kelas dua’ karena mereka tidak memiliki selembar ijazah sebagai tiket menuju kehidupan yang layak.

Berbagai ketimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional menjadi alasan yang kuat untuk melakukan perombakan terhadapnya. Namun, merombak total sistem pendidikan nasional melalui perubahan kebijakan seakan menjadi sesuatu yang utopis karena pemerintah yang begitu mengekang, sehingga ‘pemerdekaan dari penjajahan’ ini dapat dilakukan dengan cara lain yang lebih down to earth, misalnya melalui pendidikan alternatif diluar jalur sistem pendidikan formal. Walaupun demikian, kemunculan beragam jenis pendidikan alternatif, mulai dari sekolah alam hingga homeschooling, sebenarnya dapat dilihat sebagai tindakan nyata yang dilakukan oleh pihak-pihak yang kegerahan dengan sistem pendidikan formal saat ini. Sebab sistem pendidikan formal yang masih saja menggunakan banking concept of education ini sudah sangat menjenuhkan berbagai pihak. Sehingga sekolah dalam sistem pendidikan formal hari ini harus dikembalikan pada habitatnya semula untuk tidak menjadi satu-satunya ‘jalan keluar’, sebagaimana prinsip dasar yang melatarbelakangi pendirian SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah , bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan[78].

Disisi lain, mitos yang mengagung-agungkan kepemilikan ijazah dari pendidikan formal membuat peserta didik yang mengikuti pendidikan alternatif menjadi ‘terpinggirkan’. Bahkan tidak jarang muncul anggapan bahwa individu yang tidak mengikuti pendidikan formal adalah individu yang tidak terdidik. Sebab mitos bahwa pendidikan adalah sekolah sudah begitu mengakar di masyarakat sehingga untuk melepaskan diri dari sistem pendidikan formal tidaklah mudah. Padahal, proses dehumanisasi secara massal selama ini dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal sehingga peserta didik yang berada dalam lembaga tersebut dapat dipastikan akan sangat sulit untuk memperoleh kesadaran kritis. Pemerolehan kesadaran kritis hanya dimungkinkan terjadi melalui model-model pendidikan alternatif yang memanusiakan manusia. Dan tentunya model pendidikan tersebut kebanyakan tidak akan menghasilkan ijazah, sebagai simbol kelulusan peserta didik.

Proses humanisasi melalui pendidikan juga harus dilakukan pada berbagai pihak yang terlibat langsung dengan peserta didik, tidak hanya melalui lembaga pendidikan, namun juga melalui orang tua. Sebab proses pendidikan sudah dimulai sejak sebelum manusia dilahirkan kemuka bumi. Bayi yang sudah mulai bernyawa dalam kandungan ibunya sebenarnya sudah dapat mengenyam pendidikan, sehingga keberadaan prenatal education adalah hal yang seharusnya menjadi kewajiban[79]. Prenatal education tersebut kemudian juga harus dilanjutkan dengan pendidikan bagi orang tua untuk merawat bayi hingga usia anak-anak, kemudian beranjak remaja, hingga mereka siap untuk mandiri, sebagaimana pendidikan berbasis keluarga, sebagai salah satu unsur dalam Tri Pusat-nya Ki Hajar Dewantara[80].

Membangun lembaga pendidikan alternatif yang benar-benar memanusiakan manusia dan bebas dari hegemoni pemerintah menjadi tidak begitu mudah. Pasalnya, untuk mendirikan sebuah satuan pendidikan, baik formal maupun non formal, pemerintah memberikan kekangan yang luar biasa melalui konstitusi[81], terutama dalam hal pemerolehan izin yang meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan pada satuan pendidikan yang akan didirikan. Jeratan konstitusi inilah yang akhirnya membuat usaha-usaha untuk melangkah keluar dari sistem pendidikan formal yang terbalut semangat neoliberalisme menjadi nampak sulit untuk dilakukan, walaupun bukannya tidak mungkin untuk dikerjakan. Sebab itulah perlu dipikirkan jalan lain untuk mengobati kecanduan rakyat di negeri ini terhadap persekolahan formal tanpa keluar dari konsep pendidikan yang memanusiakan manusia namun juga terbebaskan dari hegemoni pemerintah. Misalnya dengan mengadakan pendidikan suplemen (tanpa gelar) di setiap satuan pendidikan dengan hidden curriculum pendidikan kritis. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk membekali peserta didik dengan amunisi kritis dalam menghadapi pendidik, sekolah, lingkungan masyarakat, pemerintah, bahkan orang tua yang secara tidak sengaja ataupun sengaja melakukan tindakan-tindakan yang tidak memanusiakan manusia.

Oleh Thantien Hidayati[2]



[1] Dipresentasikan dalam Panel Pendidikan: Privatisasi Pendidikan pada Konperensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi & Tirani Modal, di FISIP UI Depok, 6 Agustus 2008.

[2] Penulis sedang menempuh studi pada program Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang.

[3] CE. Beeby. 1981. Pendidikan Di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan. Jakarta: LP3ES.

[4] Pengadilan Nyatakan Pemerintah Lalai Penuhi Hak Pendidikan.http://www.antara.co.id/ arc/2007/5/21/. 21/05/2007.

[5] Ario Djatmiko. Hilangnya Peluang Kerja. Jawa Pos. 15/11/2007.

[6] Ade Irawan. Petaka Pendidikan Nasional. http://www.antikorupsi.org/ 06/07/2006.

[7] Ujian Ulang, Siswa Manja. http://www.jambi-independent.co.id/home/ 22/06/2006.

[8] Rahadian P. Paramita. Pembocor Un=Pembocor Rahasia Negara=Teroris. http://pendidikan-alternatif.blogspot.com/2008/05.02/05/2008.

[9] Ujian Ulang, Siswa Manja. http://www.jambi-independent.co.id/home/modules. 22/06/2006.

[10] Ki Supriyoko. Ujian Nasional Kejujuran. http://jawabali.com/pendidikan/ujian-nasional-kejujuran-792. 26/04/2008.

[11] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[12] Kecurangan Ujian Nasional: Komunitas Air Mata Guru Diteror.http://www.vhrmedia.net/home/ index.php?id=view&aid=4691&lang=.

[13] Carut-marut Ujian Nasional. http://www.vhrmedia.net/home/index .php?id=view&aid=4624& lang=. Kompas. 27/04/2007.

[14] Gugatan Ujian Nasional: Pemerintah Bantah Ada Kecurangan. http://www.vhrmedia.net/home/ index.php?id= view&aid=4201&lang=.

[15] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[16] Ujian Nasional 2007 Dijaga Ketat. http://www.vhrmedia.net/home/index.php? id=view&aid=4500&lang=. 17/04/2007.

[17] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[18] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[19] Ibid.

[20] Doni Koesoema A. Pengangguran Intelektual. Kompas. 15/02/2008.

[21] PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP, pasal 1 ayat 20.

[22] PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP, pasal 67, 69, dan 71.

[23] Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Cetakan Ke-11. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[24] HAR. Tilaar. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis. Bandung: Rineka Cipta.

[25] Moh. Yamin. UN-UASBN, Makhluk Menakutkan. http://jawabali.com/pendidikan/un-uasbn-makhluk-menakutkan/ 22/04/2008.

[26] Agus Suwignyo. Ujian Nasional 2008: Kembali ke Tengah. Kompas. 20/06/2008.

[27] Pengadilan Nyatakan Pemerintah Lalai Penuhi Hak Pendidikan.http://www.antara.co.id/ arc/2007/5/21/. 21/05/2007.

[28] Pemerintah Diminta Legowo Kaji Kebijakan Ujian Nasional. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?Id=166452. 14/04/2008.

[29] Presiden Minta Mendiknas Naik Banding Soal Kasus Ujian Nasional. http://www.antara.co.id/arc/ 2007/5/22/. 22/05/07.

[30] Ibid.

[31] Ujian Nasional: Kembalikan Kelulusan Siswa pada Sekolah. http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita-1601.html. 15/04/2008.

[32] Siswa SMP Meninggal Usai Ujian Nasional. http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id= view&aid=4600&lang=. 26/04/2007.

[33] Dina Sasti, dkk. Menabur UN Menuai Gugatan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/ 03/nas06.html. 03/07/2006.

[34] Sri Lestari. Ujian Nasional Dan Ujian Moral. http://jawabali.com/ pendidikan/ujian-nasional-dan-ujian-moral-793/. 27/04/2008.

[35] PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP pasal 25 ayat 4.

[36] Moh. Yamin. UN-UASBN, Makhluk Menakutkan. http://jawabali.com/pendidikan/un-uasbn-makhluk-menakutkan/ 22/04/2008.

[37] HAR Tilaar. 2005. Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

[38] Siti Murtiningsih. 2006 . Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

[39] Mansour Fakih. 2006. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

[40] Agus Nuryatno. Education and Ideology of Competitions. Kompas. 13/02/2007.

[41] Mansour Fakih. 2006. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

[42] Daniel Goleman. 2007. Social Intelligence: Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

[43] Istilah bystander apathy dikemukakan oleh Jerome Kagan dan Julius Segal, merupakan perilaku sosial negatif seperti sikap masa bodoh, cuek, dan tidak peduli terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan.

[44] Pengamat Pendidikan: Ujian Nasional Langgar HAM. http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita-1655.html. 25/04/2008.

[45] UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1.

[46] Pemerintah Tak Akui Gugatan Citizen Lawsuit. http://www.hukumonline.com/detail.asp? id=15461&cl=Berita.12/09/2006.

[47] Budi Suwarna. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12/11/2007.

[48] Perubahan Ujian Nasional 2008. http://www.kaltengpos.com. 25/10/2007.

[49] Jadi-Tidak Jadi Ujian Nasional.http://www.korantempo.com/news/2005/2/3/nasional/7.html. 03/02/2005.

[50] Kak Seto Memprotes Pernyataan Jusuf Kalla. http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id =124804. 24/06/2006.

[51] Elin Driana. UN, Putusan Pengadilan Tinggi. http://relung.blog.com/Pendidikan/. 25/04/2008.

[52] Daniel Mohammad Rosyi. Keaduhan Nasional. http://jawabali.com/blog/keaduhan-nasional-790/trackback. 25/04/2008.

[53] Andri Aji Saputro. Finlandia : Kualitas Pendidikan Terbaik di Dunia. Kompas. 14/05/2007.

[54] Doni Koesoema A. Pengangguran Intelektual. Kompas. 15/02/2008.

[55] Ibid.

[56] Kak Seto Memprotes Pernyataan Jusuf Kalla. http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id =124804. 24/06/2006.

[57] Ujian Nasional dan Eksistensi Bangsa. http://mainview.org/artikel_lengkap.php? id=11&artikel=mainview. 06/05/2008.

[58] Ade Irawan. Petaka Pendidikan Nasional. http://www.antikorupsi.org/ 06/07/2006.

[59] UN Jangan Untuk Tentukan Kelulusan. Suara Pembaruan. 15/05/06.

[60] Dina Sasti, dkk. Menabur UN Menuai Gugatan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/ 03/nas06.html. 03/07/2006.

[61] Ditemukan 55 Item Pungli pada Ujian Nasional. http://www.vhrmedia.net/home/ index.php?id= view&aid=4446&lang=. 12/04/2007.

[62] Maria FK Namang. Neokolonisasi Pendidikan. http://jawabali.com/pendidikan/neokolonisasi-pendidikan-48/trackback. 06/12/2007.

[63] Ibid.

[64] A. Pozzolini. 2006. Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci. Yogyakarta: Resist Book.

[65] Ong Hok Ham. 2004. Refleksi Historis Nusantara: Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong. Cetakan Ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[66] Siti Murtiningsih. 2006 . Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

[67] Wardiman Djojonegoro. 1996 . Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

[68] M.Sirozi.2007.Politik Pendidikan:Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan&Praktik Penyelenggaraan Pendidikan.Jakarta:Grafindo.

[69] Tinjau Ulang Ujian Nasional. http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=246271&kat_id=23. Republika. 02/05/2006.

[70] AW. Astin. 1993. Assessment for Exellence: The Philosophy and Practice of Assessment and Evaluation in Higher Education. USA: Oryx Press.

[71] Ujian Nasional dan Eksistensi Bangsa. http://mainview.org/ 06/05/2008.

[72] Budi Suwarna. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12/11/2007.

[73] R. Kaufman dan FW. English. 1979. Needs Assessment: Concept and Aplication. New Jersey: Educational Technology Publications.

[74] Doni Koesoema A. Penilaian Pendidikan. Kompas. 08/06/2006.

[75] Darmaningtyas. 2007. Pendidikan Rusak-Rusakan. Cetakan Kedua. Yogyakarta: LKis.

[76] Siti Murtiningsih. 2006 . Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

[77] Stern memadukan pendapat Locke dan Schopenhauer dengan teori konvergensinya, berabad-abad setelah dikemukakan oleh Al-Ghazali.

[78] Ahmad Bahruddin. 2007. Pendidikan Alternatif Qaryah Tayyibah. Yogyakarta: LKis.

[79] Di beberapa negara Eropa seperti Swedia dan Denmark, pasangan yang belum menikah dan suami yang memiliki istri dengan usia kandungan mencapai 3-5 bulan memiliki kewajiban untuk mengikuti training prenatal education yang telah diatur dalam kebijakan pemerintah.

[80] Ki Supriyoko. Ki Hajar Dewantara dan Konsepnya. http://www.pmptk.net/index.php?option=com_content&task=view&id=374&Itemid=310.

[81] UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 62.

Saturday, February 21, 2009

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

2. Filsafat telah melahirkan ilmu, sehingga wajar bila filsafat disebut sebagai induknya ilmu. Ilmu sendiri telah melahirkan yang dinamakan teknologi. Perkembangan teknologi telah mengalahkan ilmu, terlebih filsafat. Ramifikasi teknologi jauh lebih luas dibanding ramifikasi filsafat. Analisa posisi filsafat berada serta fungsinya dan kemana arah perkembangan teknologi harus dikawal, termasuk perkembangan teknologi yang digunakan para pendidik di lingkungan sekolah

Dalam mengkaji Filsafat Ilmu, dapat dipastikan akan terhubung dengan teknologi, maknanya ketika seorang-orang melakukan perenungan lebih mendalam, maka akan menemukan bahwa teknologi adalah anak kandung dari filsafat ilmu. Dengan ini merasa perlu mengangkat hakikat teknologi, karena masih banyak ditemui pemahaman yang masih karut marut. Terkait dengan hakikat teknologi, Urgensinya, karena keinginan mendekatkan teknologi dengan value-valuenya. Tetapi jika dicermati lebih mendalam maka dapat juga diketegorikan sebagai filsafat ilmu, karena dalam kaidah filsafat ilmu itu, pilar ketiganya adalah pencermatan terhadap nilai-nilai [value]—”Axiologi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika etika difungsikan untuk meneropong sebuah teknologi, mulai dari aplikasi dan dampak yang ditimbulkannya, maka kita telah masuk kubangan filsafat ilmu. Di sinilah teknologi sebagai anak kandung disentuhnya dengan ibunya, yakni filsafat ilmu, termasuk apa yang telah digunakan para pendidik disekolah yang menggunakan media teknologi.
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Teknologi bukanlah sekedar produk ilmu pengetahuan beserta temuan-temuannya yang berupa mesin, pesawat, reaktor, ataupun fasilitas fisik lainnya yang serba canggih, melainkan juga termasuk sistem organisasi, struktur sosial beserta kekuasaan yang terlintas padanya.Menurut Kunto Wibisono:
” Merupakan hasil penerapan secara sistematik ilmu pengetahuan, sebagai suatu himpunan rasionalistik empirik dari berbagai komponen pendukungnya, dengan maksud hendak mengusai atau mengendalikan gejala-gejala yang dihadapinya melalui proses produktif secara ekonomis ”. Karakter Teknologi:Ada beberapa karakter teknologi Pertama: teknologi pada hakikatnya adalah ”tangan” untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki ilmu, hal ini harus disadari oleh manusia. Teknologi dihasilkan dari penerapan ilmu yang sudah mengalami penelitian dan pengembangan lebih lanjut hingga manfaatnya menjadi jelas bagi kehidupan manusia.Kedua: teknologi bersifat dialektik, artinya teknologi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, akan tetapi pemecahan masalah tersebut menimbulkan permasalahan yang baru , dan permasalah yang baru ini harus dipecahkan dengan teknologi yang baru pula.
Ketiga, teknologi memerlukan energi yang sangat besar. Pada umumnya, di negara-negara industri maju, konsumsi energi perkapita sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang laju konsumsinya rendah.
Sejak abad Renaissance di Eropa bermula dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, maka sebenarnya disitulah babak baru pengetahuan dimulai. Babak baru pengetahuan itu ditandai dengan perkembangan pesat dunia teknologi yang diperoleh dari hasil riset para ilmuan-ilmuan barat dibidang teknologi. Pada kondisi demikian ini, teknologi berbalik mempengaruhi perubahan pula pada desain pengetahuan. Hal ini dikarenakan adanya satu teknologi menuntut adanya teknologi penyerta lain yang harus dijawab oleh ilmuwan-ilmuwan sciense. Sejak saat itu pulalah pola pikir manusia telah terkondisikan bak sebuah mesin (mekanik).
Jikalau ditelisik lebih jauh sebearnya kemapanan teknologi sebagai hal utama dalam kehidupan ini telah mempengruhi konsep pola pikir manusia dalam dimensi sosialnya, bahkan kini manusi tidak lagi bisa dilepaskan dengan teknologi. Hal ini dapat kita lihat pada konsep pengetahuan yang tercermin dalam paradigma Positivistik, adalah pengetahuan dikembangkan melalui mekanisme mesin yang direduksi dalam bagian-bagian ( komponen-komponennya) yang tersusun secara mekanik.
Dari uraian ini kita kita dapat melihat, bahwa betapa besarnya pengaruh teknologi dalam kehidupan social dan perkembangan pengetahuan, bahkan telah mengalihkan manusia dari paradigma holistika world view menjadi mekanika world view. Oleh karena itu diskusi tentang pengetahuan dalam arus teknologi ini tentu akan sangat menarik. Dalam pada itu makalah ini akan berupaya menyajikan pesinggungan pengetahuan dan teknologi, bahkan peralihannya dalam aras kekuasaan, namun sebelumnya akan kita lihat bagaimana pengetahuan bermula hingga hadirnya sebuah teknologi.
Filsafat teknologi adalah salah satu cabang filsafat khusus yang melakukan analisis filsafat tentang teknologi dan berbagai unsur serta seginya.
Menurut salah seorag tokoh pelopor filsafat teknologi Carl Mitcham [1980:305], persoalan-persoalan filsafat tentang teknologi ada dua jenis, sebagai berikut:
1. ”menyangkut soal-soal teoritis tentang sifat dasar teknologi, hubungannya dengan ilmu, struktur tindakan teknologi, intisari mesin, dan perbedaan mesin dengan manusia
2. ”bersifat praktis, menyangkut persolan-persoalan etis mengenai keterasingan dalam masyarakat industri, senjata nuklir, pencemaran dam parktik keinsinyuran yang profesional
Filsafat teknologi Menurut Mario Bunge
Filsafat teknologi dapat dipandang sebagai gabungan dari lima cabang filsafat yang masih merupakan kuncup bunga yang hampir mekr,--Mario Bunge [1979:72] menjelaskan:
1. technoepistemology
2. technometaphysic
3. technoaxiology
4. technoethics
5. technopraaxiology

Technoepistemology:
Adalah telaah filsafat tentang pengetahuan teknis. Persoalan yang dibebaskan, antara lain adalah membedakan pengetahuan teknologi dan pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah, atau metode teknologi yang sejajar dengan metode ilmiah serta aturan-aturannya

Technometaphysic:
Adalah telaah filsafat tentang sifat dasar sistem-sistem buatan dari mesin-mesin sederhana sampai sistem-sistem barnag manusiawiyang rumit. Persoalan yang dibahasnya antara lain adalah prasyarat-prasyarat ontologis dari teknologi atau kekhasan dari semua barang teknologi yang membedakannya dari benda-benda alamiah

Technoaxiologi:
Adalah telaah filsafat tentang penilaian yang dilakukan oleh para ahli teknologi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan teknologi mereka. Persoalan yang dibahasnya, antara lain adalah, nilai-nilai yang dipegang oleh para ahli teknologi kognitif, moral, ekonomi, sosial atau politis dan petunjuk-petunjuk niali nilai teknologi yang paling dapat dipercaya; Perbandingan kemanfaatan atau biaya, pemasaran kebutuhan sosial atau lainnya

Tecnoethics
Adalah cabang etika yang menyelidiki pokok-pokok pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dalam hubungannya dengan dampak sosial dari proyek-proyek teknologi yang berskala besar

Technopraxiologi
Adalah telaah filsafat tentang tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Persoalan yang dibahasnya, antara lain mengenai konsep tindakan rasional yang dapat diwujudkan secara pasti ata bagaimana seorang dapat ,erumuskan dalam istilah istilah umum, derajat efisiensi dari suatu sasaran terhadap suatu tujuan.

Filsafat menjadi landasan semua ilmu pegetahuan. Hal yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu. Berfilsafat adalah berfikir kritis dan mendasar. Filsafat mengkaji segala Sesuatu dari awal, bukan dari tengah. Sebagaimana kita belajar sebuah ilmu, tentunya ada pengantarnya.
Filsafat menegaskan otak adalah mahakarya Tuhan yang telah diberikan kepada setiap makhluknya. Nah, di Indonesia otak inilah yang jarang dilatih untuk berfikir secara teratur. Orang Indonesia, lebih suka berfikir yang sederhana saja. Sehingga jutaan otak menjadi raksasa tidur di negeri ini.
Filsafat jika diartikan secara sederhana adalah Rasa Ingin Tahu Yang Mendalam. Contohnya ketika melihat radio, maka di otak kita tidak hanya sekedar ingin tahu apa merek dan berapa harganya?, tapi pertanyaan yang muncul dari filsafat adalah, kenapa harus ada radio (Ontology), apa radio itu (Epistemology) dan Bagaimana cara kerjanya?, lalu bagaimana cara membuatnya? (Aksiology). Pertanyaan ini harus dijawab secara mendalam, bukan sekedar jawaban reaktif saja.
Hal diatas sangat bertolak belakang jika lihat realitas masyarakat Indonesia saat ini. Mayoritas kita ketika melihat sebuah barang baru seperti HP, Mobil, dan alat canggih lainnya selalu menanyakan, berapa harganya?. Pertanyaan ini adalah ciri khas Negara jajahan yang mempunyai penyakit akut yakni konsumerisme. Pertanyaan tersebut muncul dari alam bahwa sadar, dengan asumsi tidak memerlukan jawaban yang sulit. Namun jika pertanyaannya bagaimana cara membuatnya?, tentunya akan memerlukan jawaban yang sangat panjang serta memeras otak. Namun itulah yang diajarkan filsafat. Inilah sebab kenapa Ibnu sina , Thomas Alfa Edison, dikenang dunia. Ibnu Sina adalah seorang Filosof, namun ia juga seorang Dokter, Ahli Fiqh, Ahli ilmu perbintangan Semua disiplin ilmu ia pelajari dengan alasan untuk mensyukuri pemberian Tuhan, yaitu Otak. Kemajuan teknologi di Jepang,Inggris,Amerika, dll, pada hakikatnya dimulai dimulai dari kemajuan berfikir. Hal pertama yang diajarkan adala ketrampilan membuat pertanyaan dan keberanian berfikir. Itulah salah satu inti utama dari filsafat.
Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Seseorang yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis. Oleh karena bermain musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni. Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.
Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral (moral philosophy). Durant (1933) mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan infanteri. Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Imulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat
Jagat raya membuka diri untuk diselidiki oleh manusia. Bahkan melaluinya diharapkan manusia juga bisa memahami Sang Pencipta dengan segala kehendakNya secara lebih komprehensif. Kajian filsafat tidak terhingga, Maka menjadi kewajiban bagi kita untuk tidak melewatkan sedetikpun waktu tanpa pencarian akan ilmu pengetahuan. Penekanan-penakan seperti harus dibongkarkembali dalam mainstream berfikir kita semua. Jika Indonesia ingin merdeka seratus persen. Karena kemerdekaan secara ekonomi,politik,budaya, pada awalnya adalah karena kemerdekaan untuk berfikir yang dimulai dari rasa ingin tahu.
Sebagaimana kita ketahui manusia adalah mahluk yang ingin tahu bahkan terhadap hal-hal yang diluar jangkauan akalnya sekalipun. Manusia mahluk transenden yang tak pernah puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Bahkan leluhur manusia, Adam yang telah diberi pengetahuan langsung oleh Allah dan berpengetahuan lebih ketimbang mahluk lain masih saja ingin tahu rahasia buah kuldi. Rasa ingin tahu manusia tak pernah terpuaskan, ia terus bertanya dan bertanya. Pengetahuan itu sendiri adalah kehormatannya.
Ilmu apapun harus dipelajari, Maka Ilmu, menurut An-Nabhani, adalah pengetahuan (knowledge, ma?rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference). Contohnya adalah fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya. Adapun tsaq?fah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (al-ikhb?r), penyampaian transmisional (ar-talaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinb?th). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya (An-Nabhani, 1994: 262-263).
Maka, untuk menuju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, setidaknya bisa dimulai dengan pemberontakan keci-kecilan, dimulai dari cara berfikir kita.. Karena proses penciptaan pada hakikatnya lahir dari proses berfikir kreatif.














3. Perang Dunia I, II, Pemboman Hirosima dan Nagasaki Jepang oleh sekutu, perang Vietnam, Perang Iran-Irak, pemboman WTC, perang Uni Soviet di Afganistan, perang USA dan Irak, termasuk agresi Israel ke Palestina, secara teoritik ilmiah mempengaruhi paradigma keilmuan, dengan tuntutan meletakan nilai etik dalam teknologi.
Persoalan diatas dilihat dari sudut pandang moral-akhlak dan nilai etik serta implikasinya terhadap rumpun keilmuan.


Perang merupakan penggunaan kekerasan untuk memaksa musuh memenuhi kehendak kita. Demikianlah definisi perang Karl von Clausewitz (1780-1831). Teoretisi perang dari Prusia, yang juga dianggap sebagai filosof perang itu, berasumsi, tiap negara memiliki kedaulatan. Tidak ada otoritas apa pun di atas negara. Karena tiap negara menonjolkan kepentingan sendiri, bahkan jika diperlukan negara-negara lain juga boleh saja dikorbankan, maka potensi konflik tidak mampu dielakkan.
Peperangan menjadi keadaan normal dalam relasi di antara negara saat tidak ada otoritas lebih tinggi di atas negara. Perang, tegas Clausewitz, adalah politik dengan sarana lain. Yang dimaksud tak lain adalah penggunaan kekuatan bersenjata, senapan, tank, pesawat tempur, dan persenjataan militer. Kekerasan menjadi bahasa yang diunggulkan, dengan kematian dan korban terluka. Itulah bahasa peperangan yang memprioritaskan kekerasan. Benarkah saat ini tidak ada lagi otoritas lebih tinggi di atas negara? Ada, yaitu PBB. Hanya saja, saat seruan Dewan Keamanan PBB tidak lagi digubris oleh pihak-pihak yang bertikai, kekerasan berlanjut. Gejala itulah yang terjadi saat Israel tidak mau menarik pasukannya dari Jalur Gaza. Gencatan senjata permanen menjadi kesia-siaan. Terlebih lagi Israel dan Palestina menganggap tidak meraih keuntungan dengan resolusi yang dikeluarkan PBB itu.
Logika spesifik Perang memiliki aturan-aturan, seperti hanya boleh melumpuhkan tentara lawan dan tidak dibenarkan melukai dan membunuh penduduk sipil. Namun, saat perang mengandalkan kekerasan, korban yang pertama berjatuhan adalah perempuan, orang berusia lanjut, dan anak-anak. Banyak jiwa tak berdosa harus meringkuk dalam kekerasan yang disemburkan oleh peperangan. Ini karena kekerasan sulit dikendalikan. Kekerasan memiliki logika spesifik, hanya ingin melukai dan membunuh. Selebihnya, kekerasan hanya menjanjikan kerusakan masif. Dalam peperangan, kekerasan akan dibalas dengan kekerasan. Mengikuti pemikiran Helder Camara (1971), kekerasan melahirkan kekerasan berikut. Bagaimana kekerasan bermula? Ada sekelompok orang yang memiliki hak-hak istimewa yang dengan sikap egoistik menjadikan kelompok lain dalam keadaan tidak manusiawi. Kelompok yang diobyektivikasikan ini terkulai dalam penderitaan karena dikekang, dihina, dan diperlakukan tidak adil. Kelompok ini seolah menjalani kehidupan tanpa masa depan, tanpa harapan, dan situasi mereka seperti budak. Itulah kekerasan nomor satu yang memancing kekerasan nomor dua. Mereka yang merasa tertindas dan dilecehkan, terutama kaum muda, tergugah untuk berperang.
Mata hati dan kesadaran mereka terbuka bahwa situasi yang mereka jalani benar-benar tidak berperikemanusiaan. Kekerasan itu bertujuan menggapai keadilan dan mewujudkan dunia yang lebih manusiawi. Tetapi, pihak yang merasa lebih berdaulat dan memiliki hak-hak istimewa itu melihat kekerasan sebagai elemen subversif, agitator, dan teroris. Cara-cara yang ditempuh pihak yang merasa lebih berdaulat dan mempunyai keistimewaan untuk memberangus mereka adalah dengan penggunaan kekuatan militeristik. Itulah yang dinamakan kekerasan nomor tiga yang dikehendaki untuk menjaga dan menanamkan ketertiban umum atau keamanan nasional. Kekerasan nomor tiga akan dibalas kekerasan berikut. Kekerasan yang berbalas kekerasan niscaya mengalami eskalasi sehingga dunia terjatuh dalam spiral kekerasan. Keadaan struktural Mengapa spiral kekerasan sulit dilenyapkan? Kekerasan, ungkap Johan Galtung, adalah kebutuhan-kebutuhan fundamental manusia. Akan tetapi, kebutuhan yang merusak ini sebenarnya dapat dihindarkan. Jebakan paling utama dari hadirnya kekerasan yang memicu kekerasan berikut adalah kekerasan langsung.
Realitas ini mudah diidentifikasi dengan jatuhnya korban-korban yang terluka atau meninggal. Kekerasan tampak nyata. Sanak kerabat yang teraniaya tanpa daya dan terenggut jiwanya di bawah mesin perang yang membunuh merupakan bukti nyata. Kondisi seperti itu tidak menimbulkan rasa takut, tetapi upaya untuk menjalankan kekerasan balasan pasti digulirkan. Itulah yang disebut kekerasan akibat keadaan struktural. Kehidupan yang diwarnai struktur sosial tidak adil dan serba menindas merupakan lahan paling baik tumbuhnya kekerasan. Hal itu diperluas dengan keberadaan kekerasan yang bersifat kultural, yakni nilai budaya yang digunakan untuk membenarkan dan mengesahkan penggunaan kekerasan langsung atau struktural. Wujud kekerasan kultural ini adalah bendera kebangsaan, pidato pemimpin, beragam poster yang membangkitkan dorongan menjalankan kekerasan.
Perang Israel-Palestina adalah wujud nyata perpaduan kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Selama peperangan di wilayah itu tidak segera dihentikan, perwujudan kedamaian dan keadilan masih sebatas angan- angan, maka niscaya spiral kekerasan akan terus memanjang.
Kubangan bencana meluas, seperti berita kita sedih di hari silam. Jauh di sana, begitu banyak manusia kawan mengabarkan keresahan. Sekitar kita dikelilingi takut, mungkin salah satunya adalah ketakutan yang tak beralasan sebab ketidaktahuan, karena amanat untuk membaca tanda zaman belumlah kita kerjakan. Kita hanya menera waspada, kata yang hilang arti dari kita memang yang sengaja membuat keadaan jadi tidak siap dan datang tiba-tiba, lalu memangsa hidup. Kata berita yang dikirim seorang kawan, tentang perseteruan.
Dendam perang yang belum mau berhenti. “Damai belum tercipta di Gaza, meskipun korban sudah jamak bergelimpangan. Hingga beberapa ketika berselang, konflik Israel-Hamas telah menewaskan banyak manusia”. Kisah di ranah yang sama “Saat Palestina digempur siang malam tentara Israel, para anggota parlemen Liga Arab yang tengah berdiskusi di Kairo untuk membahas serangan Israel ke Gaza malah saling tuding dan memojokan. Walau sudah ada juga usulan gencatan senjata.
Jangan lagi tersesat arah. Karena pertikaian yang jauh di sana rupanya punya pengaruh di tanah kita. Di tengah merebaknya konservatisme agama saat ini, banyak orang lupa bahwa Indonesia bukan milik golongan tertentu, bukan pula monopoli sekte agama tertentu. Ruzbihan Hamazani, seorang penulis, tentang soal yang menderas dewasa ini, ia menuliskan “Kebebasan Keyakinan”. Dengan prihatin ia menyeru, “Indonesia adalah milik semua golongan dan kelompok yang hidup di negeri ini. Negara Indonesia tidak memihak salah satu keyakinan, mazhab, atau tafsir tertentu terhadap suatu agama. Dengan kata lain, menghadapi keragaman keyakinan dalam masyarakat, negara harus netral. Perbedaan penafsiran dalam agama adalah hal biasa.” Ini boleh jadi “kompas” bagi kita untuk menentukan arah pemikiran dan pandangan terhadap apa yang sementara bergejolak di bumi kita ini. Tahulah kita bahwa perang dan bencana hanya menambah kesengsaraan umat manusia.
Kehendak untuk berbalik pada hari yang sudah lalu. Damai yang didamba banyak penghuni bumi. Kembali pada peristiwa lampau, menarik garis penghubung di titik-titik pergulatan hari. Di sini kita akan bicara lebih banyak tentang diri kita sendiri. Tentang bangsa kita yang juga punya begitu banyak persoalan. Cuma sebentuk tanda yang merekam keberingasan. Dendam, pertikaian, merah marah meradang, asap pembakaran, segumpal pesan terceraiberai, urai kisah di sisa perang terkatup palang-palang menumpuk masa lalu sejarah pembungkaman. Sejarah ngeri negeri sedih yang compang-camping kini dan terus mengembara mengumumkan mimpi-mimpi kayanya, dihasut sejuta kata sosialisasi integrasi yang sudah basi. Mungkin ada catatan lain yang berbeda, saat kita berada langsung di arena itu. Sehingga kita tidak hanya bersandar di angan-angan. Kondisi yang sudah menguatkan berbagai ramalan itu menjadi kegelisahan yang tak berkesudahan. Seperti ketika yang berlalu dalam masa yang menderas mengiring kepergian sang waktu, ketika, atau kesempatan dan mereka yang tertinggal di batas. Kita masih menggulirkan ramalan untuk esok yang misteri. Apalagi hutang yang belum lunas dalam kekecewaan, arah yang berganti tanpa mampu kita intervensi. Sadarlah situasi, yang mana kejadian selalu diawali gejala. Yang ini sudah pasti mampu kita jelaskan secara lebih spesifik dalam data dan fakta. Inilah yang harus disadari kini. Belum ada jawaban dari liputan yang teramat singkat dan hanya mengusung beberapa asumsi dari desas-desus. Suara rakyat seakan terpalang banyak kepentingan, dan kondisi real yang berlaku di tataran rakyat hanya semata batas pandang mata telanjang. Kita punya banyak alasan untuk menambah kata bagi batas waktu yang kasib, supaya halaman berita jadi lebih banyak huruf yang bercerita tentang penatnya mata membaca yang itu-itu saja.
Kabar kemarin pagi tentang peran dan mereka yang terekam segumpal pesan yang sudah menyebar sebagai keranda mati demokrasi. Sebab kata masih mendesakkan banyak keberingasan dan takut yang sudah didahului fakta-fakta usang dan kadaluarsa, bahwa pembiaran negara semakin menyengsarakan unsur-unsur yang membikin negara itu dapat disebut sebagai negara. Di sana rakyat berdiri sebagai saksi dan korban yang terus bergelimpang didera ketidakadilan. Mereka dibikin resah sistem, issue yang terus menderas dan mengerat tiang-tiang penyangga negara. Menggejala sebuah permainan lama, asumsi yang dikira investigasi, reportase batas pernyataan dan menjadi mewah bagai cerita bersambung yang tak kunjung usai. Di depan layar kaca banyak yang jadi lupa, bahwa realita kita sementara digeser ilusi untuk menjadi pemenang dan unggul dalam segala hal. Bahwa banyak yang bernostalgia dengan kenangan menang tanpa usaha keras dan strategi yang mantap. Ada gambaran saat tatap menghalusinasi, mencipta tujuan tanpa jalan. Ada juga halusinasi yang menggerayangi, lalu terinspirasi untuk membuktikan dalam kerja keras dan terus berusaha tanpa henti. Tak semata lupa rupanya, ada manfaat di sana bila diramu dengan benar. Kita telah memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang apa yang telah dicapai sebelumnya dengan jalan damai. Perang dan bencana belum usai, namun damai harus terus kita teriakkan dan harus kita implementasikan. Inilah supaya kita semua boleh memutuskan rantai kesengsaraan yang sudah berkarat di hati kita.
Tentunya, bangsa-bangsa yang mempunyai komitmen terhadap moralitas dan kemanusiaan, keamanan, ketertiban, dan perdamaian dunia tidak menghendaki kekerasan dan peperangan. Hal demikian hanya dilakukan teroris. Negara-negara itu harus membangun aliansi internasional untuk memerangi kekerasan, yang bukan hanya slogan semata, sebagaimana topeng serangan globalnya AS.
Melalui aliansi internasional, negara-negara pencinta damai harus membangun beberapa prinsip hubungan antarnegara. Pertama, semua negara yang menjunjung tinggi moralitas dan kemanusiaan harus berani menyeru, bahwa segala bentuk kekerasan, siapapun pelakunya tidak dapat dibenarkan. Pelaku kekerasan hanya teroris, yang harus dilenyapkan. Segala bentuk ajakan kekerasan dengan ancaman dan propagandanya harus ditentang.
Negara-negara juga harus membangun visi bersama, bahwa setiap masalah antarnegara hendaknya dibahas dan diselesaikan melalui jalur diplomatik. Kekerasan perang harus dihindarkan. Dunia internasional harus berani memberikan sanksi kepada siapa pun yang bersalah, bukan yang lemah yang selalu kalah. Termasuk pelaku kekerasan, dan pelaku intervensi, yang selalu ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Dunia harus berani menyeru tindakan intervensi adalah kebijakan berbau kejahatan moral yang tidak berperikemanusiaan.
Perang apapaun namanya pastilah akan membawa korban baik bagi pelaku utamanya yaitu serdadu atau tentara dan juga warga sipil. Warga sipil ini bisa keluarga dari sedadu atau tentara itu sendiri juga bisa masyarakat yang berada di area konflik Sedangkan mereka yang berada diluar konflik hanya bisa menyaksikan kelu pilu para korban dan keluarganya melalui pemberitaan.
Itulah perang, bencana yang dibuat oleh ulah manusia terhadap manusia seterunya untuk mengapai cita-cita atau rencana yang ada di otak dari para pimpinanya. Perang memang kejam apalagi bila dibumbui dengan sentimen atas nama iman atau keperca yaan. Apapun dihalakan termasuk mengkorbankan warga sipil yang tidak tahu mena hu ambisi dari para pimpinanya kecuali sebagai objek penderita.
Sebagai warga haruslah tidak membiarkan kehidupannya dipertaruhkan demi ambisi dari para pimpinanya. Jika ambisi itu untuk mensejahterakan dan membuat hidup lebih baik dari sebelumnya haruslah didukung. Tetapi jika sebaliknya maka pimpinan tersebut harus disingkirkan dan bila perlu dalam situasi chaos hanya ada satu cara yaitu dikirim ke liang lahat secepatnya. Hal ini lebih baik dibandingkan akan terjadinya korban lebih banyak di belakang hari. Relasi pemimpin dan yang dipimpin di zaman sekarang bukanlah seperti zaman dulu. Dengan dikait-kaitkan seperti mendapat wahyu dari langit ataupun manusia pilihan dan semacamnya.
Sebagaimana yang telah kita saksikan, perang adalah perantara kekejaman yang besar yang tidak bermanfaat bagi pribadi atau pun masyarakat.Perang adalah malapetaka sosial yang menimbulkan kepedihan besar dan menorehkan luka yang dalam kepada manusia, yang akan perlu waktu lama, jika dapat disembuhkan. Allah, di lain pihak, telah memerintahkan manusia untuk menghindari perang dan mengutamakan perdamaian. Allah memberi kabar gembira untuk orang yang melakukan amal saleh:
Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash: 83)
Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS Shaad: 28)
Konflik antar sesama warga bangsa yang disebabkan oleh kepentingan pribadi semakin mengedepan, daripada kesadaran sebagai satu bangsa. Bahkan di kalangan elit sendiri, rasa kebangsaan tersebut sudah semakin luntur. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan bangsa secara bersama. Untuk membangun kesadaran berbangsa dalam era global ini tidak cukup hanya dengan kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, tetapi dibutuhkan suatu prestasi yang membanggakan seluruh warga bangsa, serta kepribadian yang menjujung nilai-nilai universal.
Persaingan dan perseteruan kekuasan (power) telah kehilangan dasar-dasar moral dan akhlak, sehingga dalam kehidupan politik muncul etika materialisme dan vulger yaitu menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (kemenangan)
Yang menjadi akar permasalahan paling mendasar adalah, komunitas yang selama ini dinilai memiliki potensi untuk menjadi solusi tersebut, justru mendapat porsi paling besar terjangkit krisis. Alih-alih untuk menjadi solver, permasalah yang ada ditubuh kamunitas inipun begitu akut, karena cukup menyita perhatian publik; degradasi moral, budaya, akhlak, dan krisis keprecayaan adalah beberapa persoalan yang melilit intelektual saat ini, tentu saja hal tersebut memerlukan perhatian intens yang cukup serius dari berbagai eleman yang ada.
Realitas yang tampak seperti sekarang ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang melatar belakangi hilangnya karakteristik murni, hal ini merupakan antitesa perjalanan sejarah panjang peradaban manusia yang berangkat dari renaisance, sekulerisasi, globalisasi dan kapitalisme global yang tentu saja tidak nihil dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Dekadensi moral, budaya dan ideologi yang terjadi dibelantika dunia saat ini pun tidak terlepas dari proses sekulerisasi yang merambah ke penjuru negeri. Sekulerisasi dengan berbagai pilar yang diperdagangkan mampuh merubah dunia menjadi nihil dan absurd dari nilai-nilai luhur yang menajdi identitas suatu bangsa khususnya Islam dan dunia ketimuran.
J ika sekulerisasi ini dipaksakan menjadi pandangan hidup, rusaknya tatanan kehidupan, keberagamaan, etika, moral dan budaya menjadi menjadi sebuah kemungkinan yang sulit dihindarkan. Perubahan inilah yang disebut oleh Marx sebagai prose “evolusioner”, imbasnya segala sesuatu dapat berubah dan tidak ada nilai yang mapan karena, terus mengupayakan penyelarasan dan konseptualisasi dengan kebutuhan yang berkembang.
Sebagai salah satu instrumen sekulerisasi, globalisasi ternyata cukup laris diberbagai belahan dunia, karena ada semacam ketakutan, ketinggalan, terbelakang dan tidak berperadaban jika tidak mengikuti budaya yang sedang ngetrend ini. Dengan jargon ICTnya globalisasi telah mampu medobrak bangsa yang ramah, santun dan religius manjadi buas, ganas dan amoral. Bukan hanya segelintir orang saja yang terjangkit krisis ini, anak-anak, pemuada, orang tua, laki-laki, perempuan, dari tingkat paling bawah hingga para elitis. Yang lebih ironis adalah kaum terpelajar sebagai komunitas intelegensia justru mendapat porsi paling besar dalam perubahan yang dinilai negatif ini.
Bukan hanya ekonomi, informasi, komunikasi dan teknologi yang menjadi sasaran empuk globalisasi namun, etika regional serta idiologi yang selama ini dinilai memiliki ruang privasi menjadi bidikan yang urgen untuk dipertaruhkan. Hal ini dinilai cukup membawa perubahan yang sangat signipikan terhadap pola pikir juga pandangan hidup (world view) yang tadinya tertutup menjadi terbuka yang statis menjadi dinamis. Pergeseran nilai norma budaya sangat terasa dan tak terelakan lagi, dengan terbukanya cakrawala dunia yang menembus ruang dan waktu, perang budaya dan ideologi (ghazwu al-fikri) yang menyababkan dekadensi moral menjadi keniscayaan tersendiri
Kelahiran filsafat positivisme yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (morality as being in flux) (Lickona, 1994).
Akibatnya, seperti dikutip dari Lickona, bangsa Amerika terutama generasi mudanya mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika individual karena sekolah-sekolah tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang moral. Ia menyatakan sebagai berikut:
“contemporary western society, and especially American society, suffers from inadequate training in individual ethics. Personal honesty and integrity, appreciation of the interest of others, non-violence and abiding by the law are examples of values insufficiently taught at the present time…The schools and churches are well situated to teach individual ethical responsibility, but do not do so”
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia untuk mempertanyakan tentang kehidupan termasuk nilai dan moral. Dampaknya adalah manusia mulai merasionalisasikan segala sesuatu termasuk nilai dan moral, sehingga sistem pendidikan Amerika yang semula memperhatikan nilai-nilai tradisional pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam setiap permasalahan kehidupan. Kilpatrick (1992) menyebutkan bahwa pendekatan moral reasoning telah mengakibatkan ketidakmampuan manusia untuk membedakan baik dan benar karena setiap orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang baik dan benar.
Pendidikan moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Untuk mencapai masyarakat yang harmoni, teratur, tertib dan aman, sebagai suatu masyarakat yang diidam-idamkan setiap bangsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian sejak jaman sebelum masehi para filosof dan pemikir telah membuat suatu tanda dan prasyarat tentang bagaimana suatu bangsa selayaknya diatur oleh negara guna mencapai masyarakat dan bangsa yang kuat, secara fisik dan moralnya demi mencapai kesejahteraan bangsa.
Demoralisasi berkaitan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan ego dan kontrol diri. Kebebasan ekspresi, kemerdekaan individu dan kelahiran paham possitivism menyebabkan manusia senantiasa mempertanyakan kebenaran dari perbuatan baik (the virtues, the goodness and the golden rule). Padahal para filsuf pendidikan seperti Horace Mann dan John Dewey telah meyakini perlunya kebajikan (virtues) dalam mendidik manusia selain pengetahuan (knowledge). Kehancuran dunia dan lemahnya standar moral dalam masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab utama kejadian demoralisasi. Oleh karena itu dalam pembentukan manusia berkualitas pendidikan karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good), menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan (acting the good) kebajikan. Metode pendidikan melalui otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Islam dalam hal ini banyak mengajarkan etika, moral dan perilaku serta, sebagai agama yang menjungjung tinggi nilai egaliterian diantara manusia, tidak ada hegemoni maupun monopoli dalam hak dan kewajiaban. Semua manusia sama dihadapan sang pencipta hanya nilai takwa saja yang menjadi pembeda. Sebagai agama universal, tidak ada cacat dalam syari’at, anjuran hidup seimbang (balance) antara pemenuhan kebutuhan rohani dan jasadi telah dicontohkan oleh figur sempurna (Rasulullah). Tidak melulu ibadah dengan mengesampingkan dunia, apalagi sebaliknya, sibuk mengurusi dunia dengan melupakan akhirat yang prioritas.
Wallahu ‘Alam bissawab

Asep Rachmat Effendi