Saturday, February 21, 2009

APLIKASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

Banyak orang berfikir bahwa total quality management (TQM) hanya menjadi urusan dunia bisnis, padahal TQM bisa diterapkan dalam dunia penidikan yang berkecimpung dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat dan mutakhir, konsep dan strategi baru sangat dimungkinkan terus bermunculan. Akan tetapi, hanya sedikit konsep yang mampu mendapat perhaitan dan terbukti merupakan pendekatan yang ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan manajerial. Satu diantara sedikit konsep yang berhasil menyita banyak perhatian akademisi dan praktisi, yaitu TQM (total quality management)

A. FILOSOFI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
Istilah kualitas mengandung berbagai macam makna yang berlainan, Gotech dan Davis (1994) merumuskan konsep holistic mengenai kualitas sebagai kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pengguna produk / jasa.
Menurut (Tjiptono & Diana, 1996) secara garis besar ada tiga tahap perkembangan konsep kualitas. Pertama era Craftmanship, dimana individu sangat terampil mengerjakan semua tugas yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas. Dengan demikian, peranan pimpinan, petugas operasional, dan pengendali kualitas ditumpuk pada satu orang. Pendekatan ini ditinggalkan seiring dengan berkembangnya studi waktu dan gerak yang dikembangkan oleh bapak manajemen ilmiah adalah perlunya pemisahan antara perencanaan dan implementasi. Pendekatan Taylor mengganti Craftmanship dengan pembagian tugas (division of labor). Manajemen diberi tanggung jawab perencanaan sedangkan bagian operasi ditangani oleh tenaga kerja atau buruh. Untuk menjaga kualitas dibentuk departeman kulaitas yang terpisah.
Sejalan dengan meningkatnya volume dan kompelksitas operasi, kualitas juga berkembang menjadi isu yang semakin rumit. Pendekatan tradisional ofter-the-fact yang sarat diwarnai inspeksi tidak lagi memadai. Hasil inspeksi tidak lebih dari sekadar menyisihkan komponen produk cacat. Cara-cara seperti ini tidak menyelesaikan masalah karena tanggung jawab kualitas dibebankan semata-mata pada departemen kualitas. Penyebab produk cacat tetap ada dan biaya akibat produk cacat tetap tinggi. Dipihak lain, muncul masalah besar mengenai 3K (Komunikasi, koordinasi, dan kerjasama) akibat pemisahan think (yang dilakukan oleh pihak manajemen) dan act (yang dilaksanakan oleh pihak pegawai lapangan). Kenyataan ini mendorong munculnya pendekatan kualitas total (total quality approach) yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah total quality management.
Konsep total quality management pertama kali dikemukakan oleh Nancy Warren, seorang behavioral scientist di United States Navy (Walton dalam Bounds, et. al., 1994). Istilah ini mengandung makna every process, every job, dan every aspek (Goetsch & Davis, 1994). Aspek Pertama menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya saing melalui penyempurnaan secara terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan organisasi. Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM yang terdiri atas: (a) focus pada pelanggan (internal & eksternal, (b) berorientasi pada kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah, (d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan, (h) menerapkan kebebasan yang terkendali, (i) memiliki kesatuan tujuan, (j) melibatakan dan memberdayakan karyawan.

B. PILAR TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
Bill Creech, seorang mantan jendral berbintang empat berhasil menerapkan berbagai prinsip TQM pada United States Air Force semasa perang teluk. Prinsip yang digunakannya dikenal dengan istilah Lima Pilar TQM yang terdiri atas produk, pross, organisasi, pemimpin, dan komitmen (Creech, 1996), hal ini digambarkan dalam diagram.
Menurut Creech, produk atau jasa merupakan titik pusat bagi tujuan dan prestasi senuah organisasi yang tepat. Organisasi akan menentukan kesehatan dan vitalitas adanya organisasi yang tepat. Organisasi akan menentukan kesehatan dan vitalitas keseluruhan system manajemn karena itu ditempatkan di tengah-tengah kelima pilar TQM. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa kepemimpinan yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupkan pilar pendukung memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi pilar-pilar lain. Setiap pilar tersebut tersebut tergantung pada empat pilar yang lain dan apabila ada salah satu pilar yang lemah, semuanya akan turut lemah.
Lebih lanjut Creech menegaskan bahwa program TQM harus memenuhi empat criteria agar dapat mencapai kesuksesan dalam implementasinya. Pertama program tersebut harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada kualitas dalam aktivitasnya, termasuk dalam setiap proses dan produk / jasa. Kedua, program tersebut harus memiliki sifat kemanusiaan yang kuat untuk menerjemahkan kualitas dalam cara memeperlakukan karyawan, selalu diikutsertakan dan diberi inspirasi. Ketiga, program TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi yang memeberikan wewenang disemua tingkatan terutama pada lini depan sehingga antusias keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan dan bukan sekadar slogan. Keempat, TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijakan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah-celah organisasi.

C. PENERAPAN TQM DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN
1. Pengertian Jasa Pendidikan
Dewasa ini jasa pendidikan memegang peranan vital dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Akan tetapi, minat dan perhatian pada aspek kualitas jasa pendidikan bisa dikatakan baru berkembang dalam satu dekase terakhir. Keberhasilan jasa pendidikan ditentukan dalam memeberikan pelayanan yang berkualitas kepada para pengguna jasa pendidikan tersebut (siswa dan mahasiswanya/ peserta didik). Sebelum lebih jauh membahas mengenai kualitas jasa pendidikan, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian jasa termasuk jasa pendidikan dari beberapa ahli sehingga kualitas jasa pendidikan yang dimaksud dalam pembahsan ini dapat dipahami secara komperhensif.
Jasa merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual (Fandy Tjiptono, 1996: 6). Dalam hal ini jasa berupa suatu kegiatan yang bermanfaat bagi pihak lain dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya.
Kotler mengemukakan pengertian jas adalah a service is any act of performance that one party can offer to another that essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to physical product (Kotler, 2003: 444). Jasa merupakan sesuatu yang tidak berwujud, yang melibatkan hubungan antara penyaji jasa dengan konsumen pemakai dan tidak ada perpindahan kepemilikan antara penyaji jasa dengan konsumen pemakai dan tidak ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership) antara keduanya. Dalam menghasilkan jasa tersebut digunakan produk fisik untuk mendukung aktivitasnya.
Sedangkan Berry seperti dikutip Zeithaml dan Berry (1996 : 5). Service are deeds, process and performance (Zeithhaml and Berry (1996:5). Jasa dapat diartikan sebagai unjuk kerja (performance) ataupun prosedur kerja, tindakan dan aktivitas (deeds), maupun proses yang dilakukan oleh seseorang atau institusi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumennya. Selanjutnya dari beberapa definisi jasa yang telah dikemukakan sebelunya dan dirangkum, Zeithaml dan Berry mengemukakan bahwa jasa adalah include all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at a time it is produced and provides added value is forms (such ans convenience, amusement, timeliness, comfort, and health) that are essentially intangibles, concern of it first purchaser (adaptes from Zeithaml dan Berry, 1996:5).
Jasa adalah meliputi segenap kegiatan ekonomi yang menghasilkan output (keluaran) berupa produk atau konstruksi (hasil karya) nonfisik, yang lazimnya dikonsumsi pada saat diproduksi dan memberi nilai tambah pada bentuk (form) seperti kepraktisan, kecocokan/kepantasn, kenyamanan dan kesehatan yang pada intinya menarik cita rasa pada pembeli pertama. Sementara itu, jasa pendidikan merupakan jasa yang bersifat kompleks karena bersifat padat karya dan padat modal. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki kill khusus dalam bidang pendidikan dan padat modal karena membutuhkan infrastruktur (peralatan)yang lengkap dan harganya cukup mahal.

2. Karakteristik Jasa Pendidikan
Pada dasarnya jasa adalah sesuatu yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain yang sifatnya tidak berwujud dan tidak memiliki dampak perpindahan hak milik. Hal ini sangat erat kaitannya dengan karakteristik jasa yang perlu dipertimbangkan dalam merancang program pemasarannya. Jasa secara memiliki karakteristik utama sebagai berikut.
a. Tidak Berwujud (Intangibility)
jasa tidak berwujud seperti produk fisik yang menyebabkan pengguna jasa pendidikan tidak dapat melihat, mencium, mendengar, dan merasakan hasilnya sebelum mereka mengonsumsinya (menjadi subsistem lembaga pendidikan). Untuk menekan ketidakpastian, pengguna jasa pendidikan akan mencari tanda atau informasi tentang kualitas jasa tersebut. Tanda maupun informasi dapat diperoleh atas dasar letak lokasi lembaga pendidikan, lembaga pendidikan penyelenggara, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan, serta besarnya biaya yang ditetapkan. Beberapa hal yang akan dilakukan lembaga pendidikan untuk meningkatkan calon pengguna jasa pendidikan adalah
1) Meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud menjadi berwujud;
2) Menekankan pada manfaat yang akan diperoleh (lulusan lembaga pendidikan);
3) Menciptakan atau membangun suatu nama merek lembaga pendidikan (education brand name);
4) Memakai nama seseorang yang sudah dikenal untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.
b. Tidak Terpisahkan (Inseparability)
jasa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu lembaga pendidikan yang menyediakan jasa tersebut. Artinya, jasa pendidikan dihasilkan dan dikonsumsi secara serempak (simultan) pada waktu yang sama. Jika peserta memebeli jasa maka akan berhadapan langsung dengan penyedia jasa pendidikan. Dengan demikian, jasa lebih diutamakan penjualannya secara langsung dengan skala operasi yang terbatas. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dapat menggunakan strategi bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, atau melatih para penyaji jasa agar mereka mampu membina kepercayaan pelanggannya (peserta didik).

c. Bervariasi (Variability)
Jasa pendidikan yang diberikan seringkali berubah-ubah. Hal ini akan sangat tergantung kepada siapa yang menjadikannya, kapan, serta dimana disajikan jasa pendidikan tersebut. Oleh karena itu, jasa pendidikan sulit untuk mencapai kualitas yang sesuai dengan standar. Untuk mengantisipasi hal tersebut, lembaga pendidikan dapat melakukan beberapa strategi dalam mengendalikan kualitas jasa yang dihasilkan dengan cara berikut. Pertama, melakukan seleksi dan mengadakan pelatihan untuk mendapatkan SDM jasa pendidikan yang lebih baik. Kedua, membuat standardisasi proses kerja dalam menghasilkan jasa pendidikan dengan baik. Ketiga, selalu memonitor kepuasan peserta didik melalui system kotak saran, keluhan, maupun survei pasar.

d. Mudah Musnah (Perishability)
Jasa pendidikan tidak dapat disismpan dalam jangka waktu tertentu atau jasa pendidikan tersebut mudah musnah sehingga tidak dapat dijual pada waktu mendatang. Karakteristik jasa yang cepat musnah bukanlah suatu masalah jika permintaan akan jasa tersebut stabil karena jasa pendidikan mudah dalam persiapan pelanannya. Jika permintaanya berfluktuasi, lembaga pendidikan akan menghadapi masalah dalam mempersiapkan pelayanannya. Untuk itu, diperlukan program pemasaran jasa yang sangat cermat agar permintaan terhadap jasa pendidikan selalu stabil.
Lebih spesifik lagi menurut Kotler dan Fox dalam Rambat (2001:126) bahwa karakteristik jasa lembaga pendidikan antara lain sebagai berikut.
1) Lembaga pendidikan termasuk jasa murni (pure services), dimana pemberian jasa yang dilakukan didukung alat kerja atau sarana pendukung semata, seperti ruangan kelas, kursi, meja, dan buku-buku.
2) Jasa yang diberikan lembaga pendidikan membutuhkan kehadiran pengguna jasa (siswa.). jadi, dalam hal ini pelanggan yang mendatangi lembaga pendidikan untuk mendapatkan jasa yang diinginkan (meskipun dalam perkembangannya ada yang menawarkan program distance learning atau belajar jarak jauh).
3) Penerima jasa pendidikan adalah orang (people), jadi merupakan pemberian jasa yang berbasis orang. Dengan demikian, berdasarkan hubungan dengan pengguna jasa (siswa adalah high contact system yaitu hubungan pemberi jasa dengan pelanggan tinggi). Pelanggan dan penyedia jasa terus berinteraksi selama proses pemberian jasa berlangsung. Untuk menerima jasa pendidikan pelanggan harus menjadi bagian dari system lembaga pendidikan tersebut.
4) Hubungan antara lembaga pendidikan dengan pelanggan adalah berdasarkan member relationship, yaitu pelanggan telah menjadi anggota lembaga pendidikan tersebut, system pemberian jasanya secara terus menerus dan teratur sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan.
Kisah sukses implementasi TQM dalam sunia bisnis mengilhami organisasi-organisasi lainnya termasuk organisasi pendidikan untuk mengadosinya. Penerapan TQM dalam manajemen pendidikan mengundang perdebatan yang sangat serius. Beberapa pengamat mempertanyakan kelayakan dan kesesuaian konsep TQM dengan karakteristik lembaga pendidikan.
Taylor dan Hill (1993), McCulloch (1993), berargumentasi bahwa TQM merupakan konsep yang sulit dievaluasi dalam lembaga pendidikan. Sedangkan Holmes dan Gerarrd (1995) berpendapat bahwa TQM mungkin cocok untuk fungsi pendukung (support function), tetapi tidak cocok untuk fungsi pembelajaran yang merupakan inti dari sebuah lembaga pendidikan. Dilain pihak menurut Herbert Dellana, dan Bass (1995 dalam Sarwono dan Sudarsono, 1997), ada empat bidang utama dalam lembaga pendidikan yang dapat mengadopsi prinsip-prinsip TQM. Pertama adalah penerapan TQM untuk meningkatkan fungsi-fungsi administrasi dan operasi lembaga pendidikan. Kedua, mengintegrasikan TQM dalam kurikulum. Ketiga, penggunaan TQM dalam metode pemebelajaran kelas. Keempat, menggunakan TQM untuk mengelola aktivitas riset lembaga pendidikan. Berdasarkan Quality Progress (QPR) tahun 1992 di Amerika Serikat ada 220 lembaga pendidikan yang menerapkan TQM (Lewis & Smith, 1994). Kehadiran TQM mempunyai dampak pada perubahan manajemen konvensional. Demikian juga dengan manajemen lembaga pendidikan terdapat enam tantangan pokok yang perlu dikaji dan dikelola secarastrategis dalam rangka menerapkan konsep TQM lembaga pendidikan, yakni berkenaan dengan (1) dimensi kualitas jasa, (2) focus kepada pengguna jasa pendidikan, (3) kepemimpinan, (4) perbaikan yang berkesinambungan, (5) manajemen SDM, dan (6) manajemen berdasarkan fakta. Halini sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 4 ayat 6 menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan dengan memeberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Lebih lanjut dikatakan dalam pasal 5 ayat 1 bahwa Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

3. Dimensi Kualitas Pelayanan pada Jasa Pendidikan
Untuk mengkaji apakah sebuah pelayanan jasa termasuk jasa pendidikan berkualitas, diperlukan adanya unsure-unsur pendukung sebagai bahan acuan. Dalam suatu studi empiris yang dilakukan oleh Parasuraman (1988) di Aerika Serikat diketahui bahwa terdapa lima dimensi kualitas pelayanan.
Kualitas jasa pendidikan dapat diketahui dengan cara membandingkan presepsi pelanggan atas pelayanan yang diperoleh atau diterima secara nyata oleh mereka dengan pelayanan sesungguhnya diharapkan (Fitzsimmons & Fitzsimmons, dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan (Fitzsimmons &Fitzsimmons; 2001 : 44; Parasuraman et .al., 1988:16). Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan bermutu. Sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan tidak bermutu. Namun apabila kenyataan ssama dengan harapan, maka kualitas pelayanan tersebut memuaskan (Fitzsimmons & Fitzsimmons, 2001 : 44). Dengan demikian, kualiltas pelayanan dapat didefinisikan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atas layanan yang diterima mereka (Parasuraman, 1988 : 17).
Harapan para pelanggan jasa didasarkan pada informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut, kebutuhan pribadi, pengalaman masa lalu, serta komunikasi eksternal (Fitzsimmons & Fitzsimmons, 2001: 45).
Jasa pendidikan merupakan bentuk jasa yang melibatkan tingkat interaksi yang tinggi antara penyedia jasa pendidikan (lembaga pendidikan) dan pengguna jasa pendidikan, dimensi jasa pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Tangible (bukti fisik)
Yaitu meliputi fisik, perlengkapan, karyawan/staf pengajar, dan sarana komunikasi. Misalnya, fasilitas pembelajaran (gedung), fasilitas laboratorium, fasilitas perpustakaan, media pembelajaran, kantin, tempat parker, sarana ibadah, fasilitas olahraga, serta busana penampilan staf administrasi maupun staf pengajar.
2. Reliability (keandalan)
Yakni kemampuan memeberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera atau cepat, akurat, dan memuaskan. Misalnya, mata ajaran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan, jadwal pembelajaran, proses pembelajaran yang akurat, penilaian yang objektif, bimbingan dan penyuluhan, serta aktivitas lain yang semuanya untuk memperlancar proses pembelajaran peserta didik.
3. Responsiveness (daya tanggap)
Yaitu kemauan/ kesediaan para staf untuk membantu para peserta didik dan memberikan pelayanan cepat tanggap. Misalnya guru pembimbing mudah ditemui konsultasi. Proses pembelajaran interaktif sehingga memungkinkan peserta didik lebih memperluas wawasan berfikir dan kreatifitasnya. Prosedur administrasi lembaga pendidikan menjadi lebih sederhana.
4. Assurance (jaminan)
Yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap peserta didik, serta memiliki sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya dan keragu-raguan. Misalnya, selururh staf administrasi, staf pengajar, maupun pejabat structural harus benar-benar kompeten di bidangnya sehingga reputasi lembaga pendidikan positif di mata masyarakat.
5. Empathy (empati)
Yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi dengan baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan peserta didiknya. Misalnya, staf pengajar mengenal siswanya yang mengikuti proses pembelajran, guru bisa benar-benar berperan sesuai fungsinya, perhatian yang tulus diberikan keoada para siswanya beroa kemudahan mendapatkan pelayanan, keramahan, komunikasi, serta kemampuan memahami kebutuhan siswanya.
Menurut Maxwell ada enam dimensi kualitas jasa pendidkan. Pertama, akses yang berhubungan dengan kemudahan mendapatkan jasa pendidikan yang diperoleh ditempat yang mudah dijangkau pada waktu yang tepat dan nyaman. Kedua, kecocokan dengan tingkat kebutuhan pelanggan, yaitu kecocokan akan profil tingkat pendidikan populasi dan kelompok yang membutuhkannya. Ketiga, afektifitas yang berhubungan dengan adanya kemampuan penyaji jasa pendidikan (staf pengajar) untuk melayani atau menciptakan hasil yang diinginkan. Keempat, ekuitas yang berhubungan dengan distribusi sumber-sumber pelayanan lembaga pendidikan yang adil dalam suatu system yang didukung secara umum. Kelima, diterima secara sosial yang berhubungan dengan kondisi lingkungan, komunikasi dan kebebasan, atau keleluasaan pribadi. Keenam, efisisensi dan ekonomis yang mengacu kepada pengertian layanan terbaik untuk besarnya biaya yang tepat (diadopsi dari Maxwell, 1992: 275)
Beberapa ahli kualitas jasa mengemukakan pendapat mengenai dimensi kualitas. Jika diperhatikan dari semua pendapat para ahli mengenai dimensi kualitas pelayanan hamper semuanya bertitik tolak dari lima dimensi kulaitas jasa yang dikemukakan oleh pendapat Parasuraman. Dengan demikian, dimensi kualitas jasa pada dasarnya mengasu pada bukti fisik, keandalan, daya tangkap, jaminan, dan empati.
Menurut Berry dan Parasuraman (1997) dalam Rambat (2001:182) bahwa salah satu konsep yang memiliki kaitan erat dan memiliki dampak langsung terhadap keberhasilan kualitas jasa (service quality/ SERVQUAL) adalah system informasi. Ada lima petunjuk yang perlu diaksanakan dalam mengembangkan kualitas jasa pendidikan yang efektif melalui system informasi, yaitu sebagai berikut.
1. Mengukur besarnya harapan pengguna jasa pendidikan (siswa/mahasiswa) atas pelayanan yang diberikan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan harus dapat mengukur besarnya harapan yang muncul atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Misalnya, berapa besar tingkat kepuasan siswa/ mahasiswa atas pelayanan administrasi, pelayanan staf pengajar atau pmpinan lembaga pendidikan, pelayanan atas penyediaan fasilitas pembelajaran, dan sebagainya.
2. Menentukan dimana titik berat kualitas informasi. Lembaga pendidikan harus menetapkan titik berat kualitas informasi yang ingin dicapai. Misalnya, titik berat kualitas informasi pada proses keputusan pimpinan lembaga pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan pelayanan yang diharapkan pelanggan.
3. Mengetahui saran pelanggan. Lembaga pendidikan dituntut untuk mendengarkan dan memahami saran pelanggan (siswa/ mahasiswa) mengenai jasa pendidikan yang diberikan. Misalnya, mengenai fasilitas pembelajaran keunggulan staf pengajar, dansarana perpustakaan.
4. Menghubungkan kinerja pelayanan dan output yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan diharapkan mampu mengaitkan kinerja pelayanan dengan tujuan lembaga pendidikan. Apakah akumulasi kinerja pelayanan dapat berakhir pada loyalitas siswa/ mahasiswa dan peningkatan pansa pasar.
5. menjangkau seluruh staf (pegawai). Penerapan system informasi dalam kualitas jasa harus mampu mencakup keseluruhan individu yang terkait dalam hirearki lembaga pendidikan. System tersenut harus masing-masing mendapatkan informasi sesuai dengan porsinya.
Dalam mempertahankan kualitas pelayanan jas pada lembaga pendidikan menurut Gaspertz (2002: 2) yang harus diperhatikan adalah atribut perbaikan kualitas jasa yang berkesinambungan.
1. Ketetapan waktu pelayanan hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan lamanya pendidikan dan waktu proses pendidikan.
2. Akurasi pelayanan berkaitan dengan rehabilitasi pelayanan secara kontinu dan menekan kesalahan yang dilakkan dalam pelayanan.
3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dalam memeberikan pelayanan, terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan masyarakat umum, misalnya petugas operator telepon, public relationship (PR), staf pelayanan administrasi pendaftaran siswa/ mahasiswa baru, petugas keamanan, dan semua yang terlibat pada front office (garis depan).
4. Tanggung jawab berkaitan dengan penerimaan saran, penanganan keluhan dari masyarakat umum sebagai pemerhati.
5. Kelengkapan menyangkut lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana pendukung, serta sarana pelayanan yang saling menunjang dan melengkapi.
6. Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola baru dalam pelayanan lembaga pendidikan, misalnya menawarkan waktu pembelajaran yang fleksibel bagi mahasiswa yang memiliki peran ganda sebagai karyawan di berbagai perusahaan.
7. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya cabang tempat belajar, misalnya untuk perguruan tinggi banyaknya cabang kampus yang berada disuatu area yang legal menurut ketentuan yang ditetapkan, banyak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran, atau banyaknya staf administrasi yang terampil untuk melayani pelanggan.
8. pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas penanganan khusus bagi sekelomok pelanggan yang meminta penanganan khusus.
9. kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi lembaga pendidikan, ruang tempat pelayanan, kemudahan untuk menjangkau tempat pelayanan, tempat parker, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk yang mudah diakses oleh pelanggan.
10. Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti prasarana lingkungan lembaga pemdidikan, kebersihan, fasilitas kantin, dan pelayanan kesehatan.
UPAYA-UPAYA PERBAIKAN LAYANAN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN
Upaya perbaikan layanan pada lembaga pendidikan tidak sesederhana yang dipikirkan karena masalah layanan yang tampak belum tentu merupakan permasalahan yang sebenarnya. Bisa jadi persoalan yang tampak hanya merupakan gejala dari persoalan lain yang tidak tampak.
Berdasarkan konsep tersebut, persoalan mutu layanan eksternal yang sebenarnya secara umum adalah mutu layanan internal. Mutu layanan internal dengan mutu layanan eksternal sangat berbeda, bentuk mutu layanan internal berupa kepuasan bagi para pegawai lembaga pendidikan, budaya kerja lembaga pendidikan, lingkungan kerja yang kondusif, sistem balas jasa yang motivatif, kesempatan karier yang luas, serta program diklat yang menitikberatkan pada aspek mutu layanan. Adapun mutu layanan eksternal akan menumbuhkan kepuasan bagi pelanggan sehingga menjadi pelanggan yang loyal. Selanjutnya di lembaga pendidikan akan menghasilkan lulusan yang berprestasi dan jumlah peserta didik akan bertambah secara berkesinambungan karena mutu layanan yang diberikan kepada mereka (Usahawan, januari 1997 ).
1. Fokus pada pengguna jasa pendidikan ( pelanggan )
Kepuasan pengguna jasa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam TQM. Oleh sebab itu, identifikasi pengguna jasa pendidikan dan kebutuhan mereka merupakan aspek yang krusial ( Ivancevich & Ivancevich (1992) ). Adapun langkah pertama dalam menerapkan TQM adalah memandang siswa / mahasiswa sebagai pelanggan yang harus dilayani dengan baik. Pandangan ini dikenal luas, tetapi tidak diterima secara universal. Pandangan yang komprehensif dikemukakan oleh Lewis dan Simth ( 1994). Mereka mengajukan kerangka identifikasi pelanggan yang ditinjau dari tiga perspektif, yaitupelanggan internal akademik dan administratif,siswa, serta staf pengajar (guru), guru pembimbing, dan karyawan bagian administrasi, pelanggan eksternal langsung yaitu pegawai administrasi dan siswa, serta lembaga pendidikan lain sebagai pesaing. Pelanggan eksternal tidak langsung meliputi masyarakat umum, alumni, dan penyandang dana. Perhatian terhadap pelanggan tersebut harus diprioritaskan berdasarkan urutannya dari mulai pelanggan internal dan eksternal langsung, serta pelanggan eksternal tidak langsung.
2. Kepemimpinan
Kesadaran akan kualitas dalam lembaga pendidikan tergantung kepada faktor intangibles, terutama sikap manajemen tingkat atas (pimpinan lembaga pendidikan daar menengah, kepala sekolah, dan pimpinan perguruan tinggi / rektorat) terhadap kualitas jasa pendidikan. Pencapaian tingkat kualitas bukan hasil penerepan jangka pendek untuk meningkatkan daya saing, melainkan melalui implementasi TQM yang mensyaratkan kepemimpinan yang kontinu. Puffer dan McCarthy, 1996 telah mengembangkan kerangka kepemimpinan transformasional atau visionary, stakeholder eksternal pada penentuan persyaratan kepemimpinan.
Dalam konteks TQM, pemimpin perlu memiliki karakteristik pribadi yang mencakup dorongan, motivasi untuk memimpin, kejujuran dan integritas,kepercayaan diri, inisiatif, kreatifitas/ originalitas, kemampuan kognetif, serta pengetahuan dan charisma. Kualitas manajerial pimpinan harus dapat memberikan inspirasi pada semua jajaran manajemen agar mampu memperagakan kualitas kepemimpinan yang sama, yang diperlukan untuk mengembangkan budaya TQM. Oleh sebab itu, keterlibatan langsung pimpinan lembaga pendidikan sangat penting.
Dengan fondasi berbagai karakteristik pribadi, pimpinan lembaga pendidikan sangat penting.
Dengan fondasi berbagai karakteristik pribadi, pimpinan lembaga pendidikan perlu menciptakan visi untuk mengarahkan lembaga pendidikan dan karyawannya.
Dalam konteks TQM, penciptaan visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kualitas, memfokuskan semua upaya lembaga pendidikan pada pemuasan kebutuhan pengguna jasa pendidikan, menumbuhkan sense of teamwork dalam pekerjaan, menumbuhkan standart of excellence, dan menjembatani keadaan lembaga pendidikan sekarang dan masa yang akan datang ( Handoko dan Tjipto, 1997 ). Visi dirumuskan, diartikulasikan,dan dikomunikasikan ke seluruh jajaran karyawan pada sebuah lembaga pendidikan untuk mempromosikan perubahan, inovasi, dan pengambilan keputusan. Kemudian pimpinan mengambil berbagai langkah untuk menterjemahkan visi menjadi kegiatan spesifik yang dapat dicapai dengan dukungan dan bantuan para pegawai pendidikan. Dukungan secara kesinambungan menuntut pimpinan lembaga pendidikan menerapkankepemimpinan trasformasional melalui tiga hal berikut. Pertama, menyampaikan inspirasidalam mengomunikasikan harapan yang tinggi,memfokuskan upaya dan mengekspresikan tujuan dengan cara simple. Kedua, menstimulasi intelektual untuk mempromosikan intelegensia, rasionalitas dan pemecahan masalah secara ilmiah. Ketiga, pemberian konsiderasi yang bersifat individual untuk memberikan perhatian secara pribadi dan memberdayakan petugas lembaga pendidikan ( Handoko dan Tjiptono, 1996 ).
Kepemimpinan transformasional yang dikembangkan pada tingkat pimpinan selanjutnya disebarluaskan ke seluruh jajaran petugas lembaga pendidika. Hanya melalui difusi ini lembaga pendidikan dapat menanamkan nilai - nilai TQM yang merembes melewati batas-batas tradisional dengan stakeholder eksternal. Kepemimpinan TQM perlu menyadari bahwa srakeholder eksternal merupakam elemen integral lembaga pendidikan. Empat komponen perilaku kepemimpinan yang dapat diaplikasikan dalam konteks TQM mencakup sharing information, yaitu pengembangan hubungan, pemberdayaan petugas lembaga pendidikan serta pengambilan keputusan (Handoko dan Tjiptono, 1997). Gaya kepemimpinan parsipatif dan memberdayakan seluruh jajaran petugas lembaga pendidikan merupakan infrastuktur organisasional vital bagi perkembangan budaya TQM.

3. Perbaikan yang berkesinambungan
Perbaikan yang berkesinambungan berkaitan dengan komitmen (continous quality improvement atau CQI) dan proses (continous quality improvement). Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyataan dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua partisipan untuk secara incremental mewujudkan visi tersebut (Lewis dan Smith, 1994). Perbaikan yang berkesinambungan tergantung kepada dua unsure. Pertama, mempelajari proses alat, dan keterampilan yang tepat. Kedua, menerapkan keterampilan baru pada small acheiveable project. Proses perbaikan berkesinambungan yang dapat dilakukan berdasarkan siklus PDCA (plan, Do, Check, Action). Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang never ending dan berlaku pada semua fase organisasi/ lembaga, misalnya administrasi, registrasi, student affairs, pemograman, pemeliharaaan, dan lain-lain. Upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan dalam lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan system terbuka atas fungsi inti lembaga pendidikan student learning. Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menjamin kualitas lembaga pendidikan, yaitu (1) pendekatan akreditasi, (2) pendidikan outcome, dan (3) Pendekatan system terbuka (Lewis & Smith, 1994). Pendekatan akreditasi berpokus pada input lembaga pendidikan, seperti prestasi siswa, jumlah kelas, dan sumber daya fisik. Asumsi dasar pendekatan ini apabila tersedia input berkualitas tinggi, akan diperoleh hasil output berkualitas tinggi pula. Pendekatan ini memberikan data mengenai apa yang terjadi dalam sistem dan apa yang dihasilkan dari sistem tersebut. Penyempurnaan kualitas berkesinambungan dalam lembaga pendidikan dapat diilustrasikan dalam gambar.
Sementara itu, pendekatan outcome assessment menekankan pentingnya evaluasi lulusan lembaga pendidikan, seperti prestasi siswa, graduation, dan pekerjaan/ jabatan. Sekalipun pendekatan ini memberikan kontribusi berharga bagi lembaga pendidikan, siswa, dan masyarakat, pemahaman atas output pendidikan hanya semata- mata proses pembelajaran. Baik pendekatan akreditasi maupun pendekatan outcome assessment, keduanya lebih merupakan pendekatan terpotong – potong dalam upaya menjamin kualitas lembaga pendidikan. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan system terbuka yang merupakan system jaminan kualitas terintegrasi bagi lembaga pendidikan. Pendekatan ini menekankan kebutuhan akan kualitas pada tiga tahap utama, yaitu input, proses transformasi, dan output. Upaya penyempurnaan kualitas harus difokuskan pada ketiga tahap tersebut dengan mempetimbangkan tantangan atas perlunya pemenuhan standar kualitas lembaga pendidikan baik secara nasional maupun internasional.

4. Manajemen SDM
Selain merupakan asset organisasi yang paling vital, sumber daya manusia merupakan pelanggan internal yang menentukan kualitas akhir sebuah jasa dan lembaganya. Oleh sebab itu, sukses tidaknya implementasi TQM sangat ditentukan oleh kesiapan, kesediaan dan kompetensi sumber daya manusia dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan untuk merealisasikannya secara sungguh-sungguh. Peralihan dari manajemen tradisional menuntut pergeseran paradigma dalam praktik MSDM. Kebijakan MSDM tradisional yang menganut budaya 2C (command and control) wajib digantikan dengan kebijakan baru berdasarkan budaya 3C (employee, commitment, cooperation, dan communication).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap para professional, SDM pemenang penghargaan kualitas Baldrige Awar, Blackburn & Rosen (1993) mengajukan 14 jam komponen strategi sumber daya manusia yang dapat memfasilitasi penerapan TQM, yaitu sebagai berikut.
1. Manajemen puncak bertwnggungjawab untuk memprakarsai dan mendukung visi budaya TQM.
2. Visi tersebut dklarifikasikan dan dikomunikasikan kepada semua insane organisasi.
3. Berbagai system yang memungkinkan terjalinnya komunikasi ke atas dan dikembangkan, dilaksanakan serta diperkokoh.
4. Pelatihan TQM disediakan bagi semua karyawan dan manajemn puncak mendukung secara aktif pelatihan tersebut.
5. Tersedia program keterlibatan atau partisipasi karyawan.
6. Organisasi wajib mengembangkan proses yang melibatkan berbagai maam perspektif untuk menangani isu-isu kualitas.
7. Para karyawan diberdayakan guna mengambil keputusan yang berkualitas menurut kebijakan mereka dan desain pekerjaan harus menyatakan hal ini dengan jelas.
8. Penilaian kinerja difokuskan ulang dari sekadar evaluasi kinerja masa lalau, menjadi tekanan yang dapat dilakukan manajemen untuk membantu para karyawan melakukan usaha berkualitas yang berkaitan dengan pekerjaan di masa mendatang.
9. Sistem pengakuan nonfinansial (bagi perorangan atau kelompok kerja) agar mendukung upaya pancarian kualitas total.
10. Sistem kompensasi mencerminkan kontribusi kualitas yang berkaitan dengan tim, termasuk penguasaan keterampilan tambahan.
11. Berbagai system yang ada memungkinkan para karyawan di semua jenjang organisasi untuk menyampaikan perhatian, gagasan, dan reaksi mereka terhadap inisiatif kualitas.
12. Isu-isu keamanan dan kesehatan dikembangkan secara produktif, bukan secara reaktif.
13. Berbagai program rekrutmen, seleksi, promosi, dan pengembangan karier karyawan mencerminkan realitas baru dalam mengelola dan bekerja dalam lingkungan TQM.
14. Meskipun membantu pihak lain untuk menimplementasikan proses yang mendukung TQM, professional sumber daya manusia dengan pedoman yang sama.

5. Manajemen Berdasarkan Fakta
Pengambilan keputusan harus didsarkan pada fakta yang nyata tentang kualitas yang didapatkan dari berbagai sumber di seluruh jajaran rganisasi. Jadi, tidak semata-mata atas dasar intuisi, praduga, atau organizational politics. Berbagai alat telah dirancang dan dikembangkan untuk mendukung pengumpulan dan analisis data, serta pengambilan keputusan berdasarkan fakta.
Penciptaan kualitas total kualitas total lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Implementasi TQM memikat sekaligus mengikat karena menuntut perubahan dan perombakan fundamental atas budaya organisasi tradisional. Disamping itu, komitmen dan totalitas yang dituntut dalam implementasi TQM harus benar-benar direalisasikan.
Selama 50 tahun birokrasi sepertinya tidak menyadari kenyataan bahwa kurikulum yang baik, dana yang cukup besar, program yang relevan, toknologi yang mutkhir tanpa didukung guru yang berkualitas semuanya tidak terapai. Yang terjadi saat ini permasalahan kualitas pembelajaran menurun sehingga hamper dapat dipastikan guru disalahkan. Alasannya sederhana, apabila guru berkualitas, pendidikan akan beres. Andaikata pernyataan itu betul, bagaimana cara menjadikan guru yang berkualitas. Selama ini dalam kultur pendidikan kita, guru sering diikutkan penataran. Akantetapi, hasil pengamatan menunjukan, yang tertinggal pada guru adalh sertifikat, bukan materi penataran. Kalaupun ada umumnya materi tidak digunakan karena system tidak bersahabat terhadapnya. Ujian Akhir Nasional (UAN) saat ini dijadikan sebuah rujukan kualitas. Ketika strategi itu ditantang dan ditentang, guru juga yang akhirnya harus menjawab meskipun tidak memiliki saham. Beberapa kali kurikulum diganti sebagai buku, pintar penjamin kualitas. Akan tetapi ketika kurikulum itu salah lagi, apakah guru yang harus menanggung bebannya, strategi buku pintar tidak menghasilkan guru yang pintar.
Apabila dalam konteks total quality menghendaki semua unsure agar berkualitas, tidak salah apabila mensyaratkan murid juga harus berkualitas, sekolah berkualitas, lingkungan berkualitas, program berkualits, proses berkualitas bahkan dampaknya pun berkualitas. Untuk mewujudkan itu diperlukan system yang berkualitas, birokrasi berkualitas, kebijakan berkualitas, dewan pendidikan berkualitas, dinas pendidikan berkualitas, dan dukungan masyarakat berkualitas. Yang diperlukan adalah pemerintah dan masyarakat yang ikhlas menghormati guru sebagai orang yang dipercaya mendidik anak bangsa dan peduli pada leperluan hidup wajar sebagai manusia biasa. Guru yang amanah pada tugasnya datang dan guru yang memiliki citra diri yang positif (Kompas, 1 Mei 2004)

No comments:

Post a Comment