Saturday, February 21, 2009

DUNIA PENDIDIKAN

PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT I


Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah:
a) Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (top down).
b) Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
c) Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
d) Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
e) Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan.
f) Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
g) Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat.
h) Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
i) Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
j) Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.
Sistem yang masih top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah, sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.
Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.
Tugas melayani masyarakat yang belum dilaksanakan dan kecenderungan berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.
Kebutuhan masyarakat yang beragam dan merasa belum terlayani dengan baik menyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar.
Pola pikir masyarakat yang masih mementingkan kebutuhan kebendaan atau badani dan kurang memperhatikan pendidikan menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan dan mereka lebih disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah.
Masyarakat masih memiliki budaya statis , merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka.
Tokoh panutan yang berperilaku seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.
Kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat.
Adanya keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga kependidikan serta prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program pendidikan berbasis masyarakat berkurang.
Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama masyarakat perlu menyusun suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam manajemen pendidikan dan bagaimana masyarakat itu dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah satu solusinya, aspirasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum yang disebut dewan sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Komite sekolah merupakan pengembangan fungsi dari BP3 yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan tetapi juga berfungsi mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite sekolah sebagai forum keikut sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota.
Sekolah dan masyarakat saling membutuhkan sehingga kekuatan dan keterbatasan masing-masing dapat saling melengkapi menjadi sebuah kekuatan. Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.
Secara umum orang tua menginginkan pendidikan yang lengkap untuk anak-anak mereka. Mereka menginginkan generasi mudanya dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi warga negara yang berbudaya dan berpendidikan serta memiliki kemampuan untuk berperan secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske, 1993 bahwa orang tua adalah pelanggan utama sekolah yang mempunyai tujuan pokok agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang bermutu.
Selain itu untuk mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan anggaran dari pusat dengan pola DIP ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku untuk memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat standar mutu, LSM serta organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau bergerak dibidang pendidikan perlu lebih diberdayakan.





KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS MASYARKAT - (PBM II)

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM)
Konsep PBM adalah: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education).
Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah:
a. Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya
b. Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran.
c. Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal.
Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah.
Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, seperti:
a) Alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, sehingga terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu.
b) Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni.
c) Sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya.

Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya. Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya. Hal seperti ini tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.
Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi. Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain.
Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Dengan kurikulum ini materi pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004). Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan konsep PBM.
Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004). MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan formal.
Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).
Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat sebagau basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.
Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional, dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.





PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

A. Bagaimana peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah: peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana.
Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat ( Ing ngarsa sung tulodo).
Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.
Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.

B. Bagaimana peran Komite sekolah dalam pendidikan berbasis masyarakat?
Partisipasi
Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena itulah gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah dan para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggung jawab kepada komite tersebut.
Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen, maka dengan konsep manajemen berbasis sekolah pertanggung jawaban itu kepada Komite Sekolah. Pemerintah dalam hal ini hanya memberikan legalitas saja. Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.
Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0293/U/1993 juga perlu disesuaikan dengan nuansa dan paradigma perkembangan pendidikan nasional. Karena itu, Komite Sekolah yang baru ini adalah gabungan peran dari Komite Sekolah JPS, Organisasi Orang Tua Siswa dan BP3. komite Sekolah yang baru ini bertujuan membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam upaya ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan nasional.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan aparat sekolah dan pemerintahan. Kalau Komite Sekolah JPS keanggotaan ya terdiri dari 50% anggota masyarakat dan 50% lagi birokrat, maka keanggotaan Komite Sekolah yang baru ini adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin juga perwakilan-perwakilan dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada.
Tentu saja Kepala Sekolah harus membantu terbentuknya komite ini. Selanjutnya pembentukan komite dilaporkan kepada instansi/satuan kerja setempat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian komite ini bersifat independen yang berkedudukan sebagai mitra sekolah dan berfungsi sebagai lembaga kontrol bagi sekolah. Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan penilaian untuk pengembangan pelaksanaan pendidikan dan pelaksanaan manajemen sekolah. Komite sekolah nisa juga memberikan masukan bagi pembahasan atas usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Jika Komite Sekolah ini bisa dijalankan, berarti proses dan pelaksanaan pendidikan di sekolah akan berjalan sesuai prinsip demokrasi. Ini berarti lingkungan sekolah menjadi laboratorium dan contoh mikro dari realisasi masyarakat madani. Sebab, dengan demikian masyarakat sekolah berarti menjalankan fungsi legislatif-eksekutif, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Jelas sekali bahwa memfungsikan MBS dan Komite Sekolah merupakan upaya demokratisasi pendidikan yang menjadikan pendidikan berakar pada masyarakat yang tentunya mempunyai sustainability yang handal.





MODEL-MODEL PERENCANAAAN PENDIDIKAN

Beberapa model perencanaan pendidikan yang patut diketahui, antara lain:
a. Model Perencanaan Komperehensif
Model ini terutama digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam system pendidikan secara keseluruhan. Di samping itu berfungsi sebagai suatu patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik kea rah tujuan-tujuan yang lebih luas.
b. Model Target Setting
Model ini diperlukan dalam upaya melaksanakan proyeksi ataupun memperkirakan tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu. Dalam persiapannya dikenal:
1. Model untuk menganalisis demografis dan proyeksi penduduk
2. Model untuk memproyeksikan enrolmen( jumlah siswa terdaftar ) sekolah
3. Model untuk memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja.
c. Model Costing dan keefektifan biaya
Model ini sering digunakan untuk menganalisis proyek-proyek dalam criteria efisien dan efektifitas ekonomis. Dengan model ini dapat diketahui proyek yang paling fleksibel dan memberikan suatu perbandingan yang paling baik di antara proyek-proyek yang menjadi alternative penanggulangan masalah yang dihadapi.
Penggunaan model ini dalam pendidikan didasarkan pada pertimbangan bahwa pendidikan itu tidak terlepas pada pertimbangan bahwa pendidikan itu tidak terlepas dari masalah pembiayaan. Dan, dengan sejumlah biaya yang dikeluarkan selama proses pendidikan, diharapkan dalam kurun waktu tertentu dapat memberikan benefit tertentu.
d. Model PPBS
PPBS (planning, programming, budgeting system) bermakna bahwa perencanaan, penyusunan program dan penganggaran dipandang sebagai suatu system yang tak terpisahkan satu sama lainnya. PPBS merupakan suatu proses yang komprehensif untuk pengambilan keputusan yang lebih efektif. Beberapa ahli memberikan pengertian, antara lain: Kast Rosenzweig (1979) mengemukakan bahwa PPBS merupakan suatu pendekatan yang sistematik yang berusaha untuk menetapkan tujuan, mengembangkan program-program, untuk dicapai, menemukan besarnya biaya dan alternative dan menggunakan proses penganggaran yang merefleksikan kegiatan program jangka panjang. Sedangkan Harry J. Hartley (1968) mengemukakan bahwa PPBS merupakan proses perencanaan yang komprehensif yang meliputi program budget sebagai komponen utamanya.


Berdasarkan kedua pengertian tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa:
1) PPBS merupakan pendekatan yang sistematik. Oleh kaena itu, untuk menerapkan PPBS diperlukan pemahaman tentang konsep dan teori system.
2) PPBS merupakan suatu proses perencanaan komprehensif. Penerapannya hanya dimungkinkan untuk masalah-masalah yang kompleks dan dalam organisasi yang dihadapkan pada masalah yang rumit dan komprehensif.
Untuk memahami PPBS secara baik, maka perlu kita perhatikan sifat-sifat esensial dari system ini. Esensi dari PPBS adalah sebagai berikut:
1) Memperinci secara cermat dan menganalisis secara sistematik terhadap tujuan yang hendak dicapai.
2) Mencari alternative-alternatif yang relevan, cara yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan.
3) Menggambarkan biaya total dari setiap alternative, baik langsung ataupun tidak langsung, biaya yang telah lewat
4)
5) ataupun biaya yang akan dating, baik biaya yang berupa uang maupun biaya yang tidak berupa uanag.
6) Memberikan gambaran tentang efektifitas setiap alternative dan bagaimana alternative itu mencapai tujuan.
7) Membandingkan dan menganalisis alternative tersebut, yaitu mencari kombinasi yang memberikan efektivitas yang paling besar dari suber yang ada dalam pencapaian tujuan ( Jujun S, 1980).
Referensi:
Fattah, Nanang. 2001, Landasan Manajemen Pendidikan . Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan kelima





MAZHAB-MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN

Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka salam membahas filsafat pendidikan akamn berangkat dari filsafat. Dalam arti, filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “ Konservatif”. Yang pertama didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. Yang kedua didsari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.
Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
1. Filsafat Pendidikan Idealisme
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali
2. Filsafat Pendidikan Realisme
Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dn mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill
3. Filsafat Pendidikan Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural.
Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach
4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.
Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
6. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatugerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
7. Filsafat Pendidikan esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
8. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler
9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Source:
Sadulloh, Uyoh, 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan, Penerbit Alfabeta, Bandung.





METODE PERENCANAAN PENDIDIKAN

Beberapa metode yang umum digunakan dalam perencanaan, tetapi dapat diterapkan di bidang pendidikan ditemukan oleh Augus W. Smith (1982), antara lain:
a. Metode mean-ways and analysis (analisis mengenai alat-cara-tujuan)
Metode ini digunakan untuk meneliti sumber-sumber dan alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Tiga hal yang perlu dianalysi dalam metode ini, yaitu: means yang berkaitan dengan sumber-sumber yang diperlukan, ways yang berhubungan dengan cara dan alternative tindakan yang dirumuskan dan bakal dipilih dan ends yang berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Ketiga aspek tersebut ditelaah dan dikaji secara timbal balik.
b. Metode input-output analysis
Metode ini dilakukan dengna mengadakan pengkajian terhadap interelasi dan interdependensi berbagai komponen masukan dan keluaran dari suatu system. Metode ini dapat digunakan untuk menilai alternative dalam proses transformasi.
c. Metode econometric analysis
Metode ini menggunakan data empirik, teori ekonomi dan statistika dalam mengukur perubahan dalam kaitan dengan ekonomi. Metode ekonometrik mengembangkan persamaan-persamaan yang menggambarkan hubungan ketergantungan di antara variable-variabel yang ada dalam suatu system.
d. Metode Cause-effect
Metode ini digunakan dalam perencanaan dengan menggunakan sikuen hipotetik untuk memperoleh gambaran tentang masa depan. Metode ini sangat cocok untuk perencanaan yang bersifat strategic.
e. Metode Delphi
Metode ini bertujuan untuk menentukan sejumlah alternative program. Mengeksplorasi asumsi-asumsi atau fakta yang melandasi “Judgments” tertentu dengan mencari informasi yang dibutuhkan untuk mencapai suatu consensus. Biasa metode ini dimulai dengan melontarkan suatu masalah yang bersifat umum untuk diidentifikasi menjadi masalah yang lebih spesifik. Partisipan dalam metode ini biasanya orang yang dianggap ahli dalam disiplin ilmu tertentu.

f. Metode heuristic
Metode ini dirancang untuk mengeksplorasi isu-isu dan untuk mengakomodasi pandangan-pandangan yang bertentangan atau ketidakpastian. Metode ini didasarkan atas seperangklat prinsip dan prosedur yang mensistematiskan langkah-langkah dalam usaha pemecahan masalah.
g. Metode life-cycle analysis
Metode ini digunakan terutama untuk mengalokasikan sumber-sumber dengan memperhatikan siklus kehidupan menghenai produksi, proyek, program atau aktivitas. Dalam kaitan ini seringkali digunakan bahan-bahan komperatif denga menganalogkan data, langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini adalah:
1. Fase Konseptualisasi;
2. Fase Spesifikasi;
3. Fase Pengembangan Prototype;
4. Fase Pengujian dan Evaluasi;
5. Fase Operasi;
6. Fase Produksi.
Metode ini bisa dipergunakan dalam bidang pendidikan terutama dalam mengalokasikan sumber-sumber pendidikan dengan melihat kecenderungan-kecenderungan dari berbagai aspek yang dapat dipertimbangkan untuk merumuskan rencana dan program.
h. Metode value added analysis
Metode ini digunakan untuk mengukur keberhasilan peningkatan produksi atau pelayanan. Dengan demikian, kita dapat mendapatkan gambaran singklat tentang konstribusi dari aspek tertentu terhadap aspek lainnya.
Referensi:
Fattah, Nanang. 2001, Landasan Manajemen Pendidikan . Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan kelima





PENDIDIKAN BERMUTU DITENGAH PENTAS BUDAYA INSTAN

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa— tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu ½ jam saja dengan teknik hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan.
Maklum, orang makin sibuk. Malas direpotkan dengan hal-hal ribet. Maunya serba instan. Salahkah itu?, selama masih mengikuti hukum alam, serba instan itu sah-sah saja. “Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus tetap terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”. Tapi ingat itu ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.
Pendidikan Cenderung Dibisniskan.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Inilah gambaran proses PEMBODOHAN BANGSA secara laten. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi.
Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama “gencarnya” dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ?
Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan.
Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai “paling dicari” oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang “paling menentukan” diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan.
Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.
Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.
Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja “mengabaikan” bidang studi lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarnaja dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, “Saya pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai kasir di bank kami dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung yang IPK-nya sangat bagus.”
Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.

No comments:

Post a Comment