Saturday, February 7, 2009

PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN TERKAIT DENGAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

1. Pendahuluan

Akumulasi dari berbagai dampak krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997 lalu bermuara pada peningkatan jumlah kemiskinan [1] di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa landasan perekonomian Indonesia yang hanya didasarkan atas kelompok industri-industri besar yang cenderung bersifat konglomerasi, tidak mampu untuk menjadi benteng yang tangguh bagi kehidupan rakyat Indonesia.

[1] Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah penduduk miskin (berdasarkan data bulan Desember 1998) meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa atau 24,23% dari total penduduk (17,6 juga jiwa atau 21,92% di perkotaan dan 31,9 juta jiwa atau 24,23% di pedesaan). Persentase penduduk miskin pada tahun 1998 ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1981 dan tahun 1984. Pada tahun 1981 sebesar 40,6 juta jiwa atau 26,9% dan pada tahun 1984 sebesar 35 juta jiwa atau 21,64%. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2000 (tidak termasuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Maluku) sebesar 37,7 juta jiwa (18,96%) di perkotaan sebesar 9,1 juta jiwa di pedesaan sebesar 25,1 juta jiwa.

Rapuhnya fundamental perekonomian nasional ini menuntut adanya suatu langkah perbaikan yang komprehensif karena tantangan ke depan yang akan dihadapi sangatlah berat dan membutuhkan kerja keras dari semua elemen bangsa. Globalisasi dan isu-isu perdagangan bebas merupakan tantangan eksternal ke depan Bangsa Indonesia, di samping masalah-masalah dalam negeri seperti krisis multidimensi yang berkepanjangan, otonomi daerah, serta isu-isu disintegrasi bangsa.



2. Komite Penanggulangan Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang selalu diusahakan untuk diminimalisasi atau bahkan bila memungkinkan dihilangkan. Namun dalam kenyataan, kemiskinan masih selalu melekat dalam setiap sendi kehidupan manusia, tidak terkecuali di Indonesia sehingga membutuhkan suatu upaya penanggulangan kemiskinan yang komprehensif, integral dan berkelanjutan. Dalam menanggulangi kemiskinan dibutuhkan suatu pemikiran dan kerja keras yang sangat panjang karena kemiskinan sangatlah kompleks sehingga banyak aspek yang mempengaruhinya. Oleh karena itu upaya penanggulangan kemiskinan mensyaratkan adanya identifikasi mengenal siapa, apa, bagaimana, di mana dan mengapa ada masyarakat miskin. Identifikasi tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam menentukan kebijakan yang paling sesuai untuk menanggulangi masalah kemiskinan.

Berdasarkan pemikiran tersebut dan untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin maka Presiden Republik Indonesia membentuk sebuah Komite Penanggulangan Kemiskinan [2] yang secara khusus menyelenggarakan upaya penanggulangan kemiskinan melalui koordinasi dan penajaman program terhadap berbagai upaya penanggulangan kemiskinan di semua jalur pembangunan dan di setiap lapisan penyelenggara pembangunan.

[2] Sebagai upaya untuk mewujudkan langkah-langkah konkret mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah Indonesia, maka pada tanggal 7 Desember 2001 telah dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 124 Tahun 2001 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang disempurnakan lagi dengan Keppres No. 8 Tahun 2002 dan No. 34 Tahun 2002 untuk memperlancar tugas dan fungsi KPK. Komite ini berada di bawah—dan bertanggungjawab langsung kepada—Presiden.

Komite Penanggulangan Kemiskinan diharapkan menjadi wadah dalam perumusan kebijakan makro dan mikro sesuai dengan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dengan mengikutsertakan forum lintas pelaku yaitu seluruh komponen, baik instansi pemerintah, organisasi non pemerintah (ORNOP), usaha nasional, organisasi profesi, dan segenap unsur masyarakat.

Sasaran upaya penanggulangan kemiskinan adalah penduduk miskin. Berdasarkan data BPS populasi penduduk miskin Indonesia sebelum krisis pada tahun 1996 sekitar 11,34%, setelah krisis pada tahun 1998 sekitar 24,23%, dan di akhir tahun 2000 sekitar 18,95%. Strategi pokok upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mencapai sasaran menurunnya populasi penduduk dari sekitar 18,95% (atau sekitar 37,8 juta jiwa) di tahun 2001 menjadi sekitar 14% (atau sekitar 26,8 juta jiwa) di akhir tahun 2004. Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih dari 59% berada di Jawa-Bali, 16% di Sumatera dan 25% di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Pemusatan kantong kemiskinan di Jawa-Bali erat kaitannya dengan pola persebaran penduduk yang sebagian besar berada di Jawa-Bali. Dengan pemusatan kantong kemiskinan di Jawa-Bali, penduduk di Jawa-Bali juga rentan terhadap krisis ekonomi sehingga berpengaruh terhadap kenaikan jumlah penduduk miskin.



3. Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Untuk lebih memfokuskan tujuan penanggulangan kemiskinan maka data penduduk miskin dikelompokkan dalam (a) Usia lebih dari 55 tahun (aging poor), yaitu kelompok masyarakat yang tidak lagi produktif (usia sudah lanjut, miskin dan tidak produktif). Untuk kelompok tersebut program pemerintah yang dilaksanakan adalah pelayanan sosial. (b) Usia di bawah 15 tahun (young poor), yaitu kelompok masyarakat yang belum produktif (usia sekolah, belum bisa bekerja). Program pemerintah yang dilakukan yaitu penyiapan sosial. (c) Usia antara 15-55 tahun (productive poor), yaitu usia sedang tidak produktif (usia kerja tetapi tidak mendapat pekerjaan, menganggur), program yang dilakukan adalah investasi ekonomi dan inilah sekaligus yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan.

Untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK menetapkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama, mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua, meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik.

Untuk pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat di atas pendanaan disalurkan melalui dua jalur yaitu melibatkan peran lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dan bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan langsung kepada masyarakat (BLM). Melalui jalur lembaga keuangan dilakukan dengan menghimbau kepada bank-bank yang dikoordinasi oleh pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia) untuk memprioritaskan business plan penyaluran kreditnya pada usaha-usaha mikro yang dimiliki oleh masyarakat. [3]

[3] Pada tanggal 22 April 2002, Komite Penanggulangan telah menandatangani Kesepakatan Bersama (MOU) dengan Bank Indonesia sebagai Koordinator Kelompok Kerja Lembaga Keuangan tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam Kesepakatan disebutkan bahwa sesuai dengan Business Plan masing-masing Bank Umum tersedia dana kurang lebih Rp 30 triliun yang siap disalurkan dengan mekanisme bunga pasar. Khusus untuk Usaha Mikro dalam rangka penanggulangan kemiskinan akan disalurkan dana Rp 4,6 triliun.

Untuk strategi pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dilakukan melalui penajaman alokasi APBN, yaitu melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dengan melakukan tiga pemberdayaan yaitu pada usahanya yang berupa bantuan teknis untuk permodalan dan pendampingan, pada manusianya yaitu berkaitan dengan pendidikan, pelatihan dan peningkatan kesehatan; dan sarana-prasarananya/lingkungannya yang mendukung usaha atau kegiatan produktif masyarakat miskin. Selain itu penajaman APBN juga dilakukan melalui Bantuan Operasional Pembangunan (BOP) kepada departemen/LPND/instansi terkait untuk melakukan pembinaan teknis terhadap lembaga-lembaga di Tingkat Daerah, Pembinaan teknis yang diterapkan meliputi pembinaan kepada manusianya, usahanya, kelembagaannya, monitoring evaluasi dan pengendaliannya.



4. LKM dan Perannya dalam Menanggulangi Kemiskinan

Apabila kita berbicara mengenai pemberdayaan UMKM maka harus memperhatikan juga hambatan-hambatan dalam pengembangan UMKM. Salah satu hambatan utama UMKM untuk berkembang adalah keterbatasan sumberdaya finansial karena sifatnya yang mikro dengan modal kecil, tidak berbadan hukum dan manajemen yang sebagian masih tradisional sehingga sektor ini tidak tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (bank) yang selalu menerapkan prinsip perbankan dalam memutus kreditnya. Upaya pemerintah untuk membantu UMKM misalnya dengan menghubungkan dengan pengusaha besar untuk bermitra belum cukup efektif untuk mengatasi masalah mengingat jumlahnya yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia.

Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal UMKM karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik UMKM yang cenderung dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan pelayanan kredit dalam skala besar tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan. Selain itu LKM dapat juga menjadi perpanjangan tangan dari lembaga keuangan formal, sebelum dana—untuk pelayanan keuangan mikro—itu tersalur kepada kelompok swadaya masyarakat (atau usaha mikro tersebut).

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sendiri juga memuat 3 (tiga) elemen kunci (versi dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia). Pertama, menyediakan beragam jenis pelayana keuangan—relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani. Kedua, melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama). Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan.

Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang “merakyat”. Yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan pengembangan UMKM yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar perekonomian Indonesia.

Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya (baca: masyarakat miskin) dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid. Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga kemampuan si nasabah untuk dapat me-manage keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya.

Selama ini keengganan dari pihak perbankan—bank komersial—dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Pihak perbankan kebanyakan akan merasa sia-sia dalam memberi pelayanan kepada mereka. Hal itu dikarenakan pihak perbankan memandang pelayanan terhadap masyarakat miskin akan mendatangkan biaya transaksi tinggi dan penuh dengan resiko. Tingginya biaya disebabkan skala kredit yang mereka butuhkan terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memberikan agunan, ditambah lagi dengan pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah.

Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari KSM—organisasi yang terdiri dari orang-orang sesuai strata ekonominya—yang diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral.

Mekanisme penyaluran itu membutuhkan keberadaan seorang pendamping. Pendamping merupakan faktor kunci agar receiving mechanism berjalan. Pendamping memberi bantuan dan fasilitas non keuangan untuk sektor mikro—seperti memfasilitasi adanya penyusunan rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Agar proses pendampingan berkelanjutan, maka diperlukan biaya pendampingan. Biaya itu dapat diambilkan dari beberapa alternatif, misalnya dari pengembalian kredit yang berasal dari kegiatan LKM itu sendiri, atau berasal dari sisa laba BUMN yang merupakan hasil kerjasama dengan pemerintah.



5. KPK Daerah dan LKM

Dengan terbitnya kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota lebih mempunyai ruang yang luas untuk mengelola rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan aspirasi masyarakatnya. Seiring dengan hal ini, penanggulangan kemiskinan juga harus dilakukan pada tingkat daerah terkecil, namun fungsi dasar pemerintah daerah tetap sebagai fasilitator, regulator, serta motivator. Artinya pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat sentral karena lebih mengerti dan memahami potensi, tantangan, kekuatan dan kelemahan daerah masing-masing. Namun pelibatan unsur-unsur lain di luar daerah juga tetap menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena apabila pemerintah daerah mengabaikan hal ini, maka kegagalan pembangunan Indonesia selama masa orde lama dan baru akan terulang kembali.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka pembentukan KPK daerah sebagai sebuah forum lintas pelaku penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah yang melibatkan seluruh unsur masyarakat di daerah menjadi langkah awal yang baik bagi penanggulangan kemiskinan karena lebih komprehensif, terarah dan terpadu. KPK daerah ini ditetapkan melalui peraturan daerah masing-masing dan dibiayai melalui anggaran daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Hal ini dimaksudkan juga untuk menyamakan persepsi bahwa untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan masyarakat harus menjadi subyek dan permasalahan kemiskinan hanya menjadi pemerintah semata.

Seiring dengan era Otonomi Daerah maka KPK daerah mempunyai fungsi yang sangat strategis, yaitu sebagai forum yang mengkoordinasikan seluruh program penanggulangan kemiskinan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat luas. Selain itu juga sebagai wadah untuk merumuskan masalah, melaksanakan program, mengevaluasi dan mengadakan penyempurnaan terhadap program yang dilaksanakan.

Terkait denga KPK Daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan khususnya untuk masyarakat miskin produktif, maka pemberdayaan dan pengembangan UMKM menjadi prioritas utama. Konsekuensinya pemberdayaan dan pengembangan LKM sesuai dengan aspek lokalitas dan karakteristik UMKM menjadi salah satu syarat dasar. Pertanyaannya, bagaimana keterkaitan di antara keduanya? LKM di tingkat daerah dengan segala fleksibilitasnya dalam menyalurkan kredit mikro untuk sektor UMKM daerah dapat dijadikan mitra bagi perbankan umum yang menganut prinsip kehati-hatian, untuk menjangkau sektor UMKM yang selama ini dianggap tidak bankable.

Paling tidak kemitraan kerja ini dapat melalui dua saluran. Pertama, LKM bertindak hanya sebagai penyalur dan pendamping bagi pengusaha UMKM yang mendapat kucuran kredit dari perbankan. Sementara itu perbankan, fungsi executing tetap dipegang oleh perbankan. Kedua, LKM berfungsi sebagai penyalur dan pemutus kredit (kredit), dan bank bertindak sebagai pengucur kredit. Artinya perbankan mengucurkan kredit kepada LKM untuk kemudian disalurkan kepada sektor UMKM.

Pengembangan kemitraan kerja ini, harus didukung oleh unsur-unsur daerah yang lain, seperti dunia usaha dalam bentuk penciptaan kemitraan di bidang produksi, manajemen dan pemasaran, lembaga litbang dan perguruan tinggi sebagai pemantau, evaluasi dan penyempurnaan suatu kebijakan, serta pemerintah daerah dalam bentuk penciptaan kondisi makro dan mikro di tingkat daerah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha. Sementara itu, peran pendampingan juga LKM dapat dijalankan oleh LSM.



6. Realisasi Kredit UMKM per Agustus 2002

Pada tanggal 22 April 2002, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPK dan Gubernur Bank Indonesia menandatangani Memorandum of Understanding tentang Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Dengan kesepakatan bersama ini, Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter dan juga koordinator pokja Lembaga Keuangan KPK, mendorong dan menghimbau kepada lembaga keuangan supaya dalam business plan penyaluran kreditnya memberikan prioritas pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kesemuanya akan disalurkan sebagai Kredit Usaha Mikro, Kredit Usaha Kecil dan Kredit Usaha Menengah.

Menindaklanjuti kesepakatan bersama KPK-BI, selama periode Juli-Agustus 2002, 14 sistemically Important Bank yang tergabung dalam MoU KPK-BI, dengan tetap menganut prinsip kehati-hatian telah menyalurkan kredit UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Berikut ini kami laporkan realisasi kredit UMKM per Agustus 2002 oleh 14 systemically Important Bank.



14 Bank Umum [4] telah merealisasikan persetujuan pagu kredit baru kepada UMKM sebesar Rp 24,4 triliun atau 88,4% dari komitmen semula. Jumlah kredit tersebut meliputi 1,1 juta rekening.

[4] Keempatbelas bank tersebut meliputi PT Bank Mandiri (Persero), PT Bank Negara Indonesia (Persero), PT Bank Tabungan Negara (Persero), PTBank Rakyat Indonesia (Persero), PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank Internasional Indonesia Tbk, PTBank Universal Tbk, PT Bank Lippo, PT Bank Bali Tbk, PTBank Niaga Tbk, PT Bank Bukopin, PTPan Indonesia Bank Tbk, PT Bank Buana Indonesia.

Dari total persetujuan pagu kredit baru tersebut, realisasi kredit oleh 14 bank sepanjang tahun 2002 sampai dengan Agustus 2002 mencapai Rp 17,4 triliun, atau 71% dari persetujuan pagu kredit pada periode yang sama. Dari realisasi kredit baru tersebut, sebesar 30,4% merupakan kredit makro, 32,1% merupakan kredit kecil dan sebagian besar (37,6%) merupakan kredit menengah. Dari sisi jenis penggunaan, sebagian besar kredit menengah tersebut digunakan sebagai kredit modal kerja. Jangkauan pemberian kredit usaha mikro meliputi pengusaha miskin atau mendekati miskin dengan pendapatan sekitar Rp 500 ribu per rumah tangga/bulan.



7. Penutup

Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil dan menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor dan lain-lain.

Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.

Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu daerah harus membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan tingkat daerah sebagai forum koordinasi dan sinkronisasi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. KPK daerah harus mampu mengidentifikasi masalahnya sendiri, memecahkan masalah, melaksanakan program, mengevaluasi dan akhirnya menyempurnakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.



Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat – Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK), dan Deputi Seswapres bidang Kewilayahan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (K3).

No comments:

Post a Comment