Saturday, March 7, 2009

Dehumanisasi Peserta Didik Melalui Sistem Penilaian Pendidikan

Yang Berlandaskan Semangat Neoliberalisme[1]


Abstrak: Pokok bahasan mengenai carut marut sistem pendidikan nasional selalu tidak pernah terlepas dari masalah penilaian hasil belajar peserta didik. Walaupun menuai protes dan kecaman dari berbagai kalangan, alat penilaian hasil belajar peserta didik yang dikenal dengan nama UN ini masih dipergunakan sebagai penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Berbagai macam alasan selalu disajikan pemerintah agar UN tetap dilaksanakan sebagai ritual tutup tahun untuk mengakhiri kalender akademik, mulai dari alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan hingga meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Padahal, secara konseptual maupun empiris, sudah terbukti bahwa tidak ada relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan, yang ada malah kemunculan beragam implikasi negatif yang jelas-jelas merupakan praktek dehumanisasi pada peserta didik. Bila ditelusuri lebih jauh, ternyata ‘kebebalan’ pemerintah untuk terus mempertahankan kebijakan penyelenggaraan UN ini sangat erat dengan corak neoliberalisme yang menjadi semangat pemerintah dalam menggulirkan berbagai kebijakan pendidikan dalam rangka melanggengkan hegemoninya terhadap rakyat. Alasan mengapa neoliberalisme yang menjadi semangat pemerintah ini menjadi sesuatu yang mengerikan, disebabkan karena prinsip neoliberalisme yang begitu kental dengan kompetisi yang akhirnya menimbulkan diskriminasi ini telah mencengkram sektor pendidikan yang notabene adalah hak dasar warga negara yang telah diakui secara universal. Namun, bukanlah hal yang tidak mungkin bila pada akhirnya warga negara memiliki kesadaran kritis untuk mengorganisasi dirinya sendiri agar terlepas dari cengkraman pemerintah melalui sebuah alat yang paling ampuh, yaitu melalui pendidikan yang memanusiakan manusia..

Kata Kunci: dehumanisasi, peserta didik, penilaian pendidikan, UN, neoliberalisme.





UN Sebagai Ritual Tutup Tahun

Menjelang akhir tahun ajaran pada kalender akademik pendidikan dasar dan menengah, berbagai kalangan disibukkan dengan sebuah ritual penilaian hasil belajar peserta didik yang dikenal dengan nama UN. Ritual ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lamanya hingga pemerintah selalu berusaha mengantisipasi berbagai macam kemungkinan gangguan terhadapnya. Mulai dari menginapkan soal-soal UN di kantor polisi, hingga mengawal pengerjaan soal UN dengan melibatkan pasukan anti teror Densus 88 pun rela dilakukan oleh pemerintah, semata-mata demi menjaga kesakralan ritual tutup tahun ini. Bahkan upaya-upaya penghapusan UN – yang disebabkan oleh berbagai macam alasan tentunya – yang telah dilakukan berkali-kali pun selalu digagalkan oleh pemerintah. Seperti halnya yang pernah terjadi pada tahun 1971, upaya penghapusan ujian akhir berstandar nasional yang dimunculkan oleh Menteri P & K malah menuai kecaman dari kalangan pemerintah sendiri termasuk diantaranya lembaga-lembaga donor asing, dengan alasan bahwa standarisasi mekanisme ujian tidak akan tercapai bila ujian dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan[3]. Merasa terus menerus diabaikan pemerintah, pada tahun 2006, puluhan warga negara akhirnya melakukan citizen law suit demi mendapatkan keadilan atas pemberlakuan UN yang dianggap telah melanggar hak asasi manusia[4]. Pada tahun berikutnya, putusan pengadilan menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai dalam pemenuhan hak pendidikan warga negara. Namun, hasil putusan pengadilan tersebut ternyata tetap tidak menyurutkan niat pemerintah untuk menyelenggarakan ritual ini pada tahun-tahun berikutnya, dengan berbagai macam motif yang seolah-olah demi kebaikan peserta didik.

Penyelenggaraan UN sepintas memang terlihat sebagai aktifitas yang ditujukan pada peserta didik, namun pihak pemerintah, sekolah, lembaga bimbingan belajar, orang tua, dan berbagai elemen masyarakat lainnya, mau tidak mau harus ikut terlibat dalam ritual ini, berupaya memutar otak agar peserta didik yang menjadi harapan mereka bisa lulus dalam ujian tersebut. Sejak peserta didik memasuki tahun terakhirnya di bangku sekolah, pihak satuan pendidikan mulai mencekoki peserta didik dengan berbagai macam les tambahan mata pelajaran yang akan di-UN-kan. Pada paruh semester kedua, umumnya sekolah-sekolah mulai banyak menyelenggarakan beragam try out UN yang harus diikuti oleh peserta didik. Dirasa belum cukup, sejumlah sekolah bahkan mengadakan istighotsah mingguan yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Orang tua pun tak kalah sibuknya dengan sekolah, mulai dari memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar yang tidak gratis hingga mencari jimat agar anaknya lulus ujian pun rela dijalankan oleh mereka. Lembaga bimbingan belajar juga tak mau ketinggalan dengan menggelar berbagai macam sarana promosi untuk menjual tips dan trik lulus UN, mulai dari diskon biaya bimbingan hingga kerjasama dengan pihak sekolah maupun event organizer untuk mengadakan try out UN. Segala macam aktifitas ekstrakurikuler, kegiatan menonton televisi, berjalan-jalan, bahkan waktu tidur peserta didik pun mau tidak mau berkurang drastis. Demi lulus UN, peserta didik yang usianya masih berada pada kisaran anak-anak dan remaja ini juga harus rela kehilangan waktu refreshingnya. Perilaku berbagai kalangan dalam menghadapi UN ini, seolah-olah menyepakati bahwa UN harus dijalani sebagai sebuah ritual wajib untuk mendapatkan vonis hidup dan mati peserta didik dalam menghadapi masa depan mata pencahariannya.



Mitos Seputar UN: Ditanam, Dipelihara, Dan Dituai Oleh Pemerintah

Melekatnya mitos seputar UN sebagai ritual tutup tahun yang diharapkan akan menghasilkan angka-angka keramat penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ini tentu tidaklah terjadi dengan sendirinya. Ada pihak-pihak yang berusaha menabur benih demi menuai mitos seputar UN hingga menjadi tumbuh subur seperti saat ini. Benih tersebut ditanamkan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan UN berikut sederet implikasi kebijakan yang menyertainya. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah telah menetapkan bahwa UN adalah penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang diikutinya. Bila peserta didik tidak lulus UN, maka mereka tidak akan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena mereka tidak akan mendapatkan ijazah sebagai tanda kelulusan dari suatu jenjang pendidikan secara simbolis. Ketika peserta didik tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, ada mitos bahwa peluang mereka untuk mendapatkan mata pencarian dengan gaji tinggi bermodalkan ijazah tersebut akan semakin sempit. Belum lagi adanya mitos bahwa semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang, maka status sosial mereka dimata masyarakat akan semakin rendah. Segala mitos tersebut akhirnya memicu adanya pandangan bahwa pendidikan – dalam hal ini dimaknai sempit sebagai persekolahan – adalah investasi terpenting dalam kehidupan[5]. Sehingga bila peserta didik tidak lulus UN, maka orang tua peserta didik tersebut akan merasa hal tersebut sebagai pertanda bahwa hidup anak mereka telah gagal. Tidak mengherankan bila pada akhirnya orang tua peserta didik berupaya melakukan berbagai macam cara agar anak-anaknya dapat lulus UN, semata-mata karena mitos seputar UN yang sudah melekat kuat dibenak masyarakat.

Terpeliharanya citra UN agar tetap terlihat sebagai alat penilaian yang sempurna, tentunya dilakukan pemerintah dengan bantuan dari banyak pihak, sebagaimana keterlibatan satuan pendidikan dalam pemeliharaan citra UN melalui konspirasi politik pelulusan peserta didik secara terstruktur, dengan paksaan dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Di Garut, Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95%[6]. Bahkan Mendiknas mengaku salut terhadap langkah Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang hendak melakukan merger terhadap sekolah-sekolah yang tidak mampu meluluskan siswanya, dan tentu saja hal tersebut malah memberikan kontribusi tekanan yang luar biasa besar bagi sekolah. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, Wakil Ketua Komisi X, Masduki Baidlowi[7] memaparkan bahwa kepala daerah ternyata juga mendesak kepala Dinas Pendidikan supaya mendongkrak hasil UN agar nama daerahnya tidak tercoreng. Dengan demikian, UN telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik, yang disatu sisi berfungsi untuk memuaskan kebutuhan pemerintah pusat dan pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan[8]. Selain itu, temuan lapangan tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan Depdiknas dalam program Standar Sekolah Nasional (SSN) menjadi pemicunya, sebab label SSN diberikan bagi sekolah yang angka ketidaklulusannya mencapai 0%[9]. Dan yang membuat sekolah-sekolah kemudian berkompetisi agar kelulusan peserta didik di sekolahnya mencapai 100% tentunya adalah iming-iming akan dana ratusan juta rupiah bila sekolah mereka berstatus SSN. Alasan inilah yang akhirnya memunculkan ‘tim sukses UN’ yang beranggotakan guru sebagai distributor jawaban untuk siswa dengan cara yang tidak sehat[10].

Kecurangan yang terjadi saat UN mengakibatkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo sempat geram dan menyatakan siapapun pelakunya harus ditindak secara tegas[11]. Namun pernyataan yang dikeluarkan oleh Mendiknas tersebut sangatlah ironis, sebab kebocoran soal UN sebenarnya memang telah direncanakan secara terstruktur dengan melibatkan Dinas Pendidikan setempat maupun kepala daerah, semata-mata demi memelihara citra UN agar tetap sempurna, sehingga upaya-upaya pembongkaran terhadap konspirasi kecurangan UN pun ditanggapi dengan aksi yang tidak positif. Sebagaimana yang pernah terjadi di Medan, beberapa tenaga pendidik yang berusaha mengungkap kasus kecurangan UN malah mendapat teror dan pemaksaan pengunduran diri dari mata pencahariannya sebagai pendidik[12]. Kasus kecurangan UN tersebut terjadi secara sistematis berdasarkan rencana yang melibatkan seluruh kepala sekolah di Medan dalam sebuah rapat yang menyepakati bahwa sekolah diwajibkan membantu peserta didik agar lulus UN[13]. Kasus kecurangan yang sama juga pernah terjadi di Bogor hingga permasalahan tersebut dimejahijaukan[14]. Dari berbagai kasus kecurangan yang terungkap, Education Forum bahkan menuding UN telah menjadi hidden curriculum pendidikan mental korup, yang jika praktik ini terus dibiarkan maka sekolah akan menjadi institusi efektif dalam mengakselerasi kehancuran mentalitas bangsa[15].

Dalam menjaga citra UN sebagai ritual sakral yang akan memunculkan angka-angka keramat untuk ditukar dengan ijazah, pemerintah seolah-olah berupaya mengeliminasi kemungkinan kecurangan dalam UN dengan penjagaan yang nampak tidak rasional. Saat UN berlangsung, pemerintah melibatkan aparat kepolisian dan TPI (Tim Pemantau Independen) untuk mengawasi penyelenggaraan UN serta tidak memperbolehkan peserta didik maupun pengawas membawa ponsel, seperti yang terjadi pada tahun 2007 lalu[16]. Bahkan, pemerintah melakukan penjagaan yang berlebihan pada penyelenggaraan UN tahun 2008 ini dengan melibatkan Densus (Detasemen Khusus) 88 dalam menindak pelaku kecurangan UN yang notabene bukanlah tindak pidana terorisme. Imparsial, ICW dan Koalisi Pendidikan memandang bahwa hal tersebut telah menyalahi fungsi asli Densus 88 yakni sebagai kesatuan unit anti-teror[17]. Ditambahkan pula oleh mereka bahwa keterlibatan kekuatan-kekuatan koersif dan eksesif dalam dunia pendidikan menjadi bukti nyata bahwa paradigma militerisme masih kuat dalam struktur birokratis pemerintahan[18]. Dipertontonkannya drama penangkapan guru-guru oleh polisi di sekolah, seperti yang terjadi pada belasan guru di Makasar dan Deli Serdang dalam kasus kebocoran soal UN 2008[19], membawa sebuah pesan utama untuk memunculkan citra di mata masyarakat bahwa penanggung jawab utama kebobrokan pendidikan di negeri ini adalah guru dan bukannya akibat ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola sistem pendidikan nasional[20]. Fenomena tersebut sudah pasti menimbulkan konflik batin antara peserta didik, orang tua peserta didik maupun masyarakat dan pendidik maupun sekolah, dalam mencari-cari dalang kebobrokan sistem pendidikan nasional, tanpa tudingan terhadap pemerintah tentunya. Bentuk inkonsistensi pemerintah dalam melindungi aksi-aksi kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan UN tersebut disatu sisi berlawanan dengan tindakan pemerintah yang seolah-olah melakukan penjagaan agar tidak ada kecurangan dalam UN, layaknya sebuah sandiwara yang dilakukan demi melestarikan citra UN, sebagai alat penilaian sempurna garapan pemerintah.



Ketimpangan Konsep Penyelenggaraan UN

Bila dilihat kembali, secara konseptual, penyelenggaraan UN penuh dengan ketimpangan disana-sini. Yang paling jelas bila dilihat dari perspektif legal basis. UN yang selama ini diberlakukan oleh pemerintah didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan[21]. Ironisnya, hasil dari UN yang hanya dilakukan selama beberapa hari ini difungsikan sebagai alat untuk menentukan apakah peserta didik telah berhasil menguasai kompetensi tertentu yang dipersyaratkan oleh pemerintah berdasarkan kegiatan belajar mengajar yang diikuti oleh peserta didik selama bertahun-tahun. Pengadaan UN sebagai alat penilaian hasil belajar peserta didik oleh pemerintah adalah pelanggaran terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Sangatlah tidak logis bila pemerintah yang tidak terlibat langsung dengan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan, secara tiba-tiba dengan semena-mena melakukan penilaian terhadap hasil belajar peserta didik. Selain pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, tentu saja soal-soal ujian yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini melalui BSNP, tidak akan sinergis dengan kegiatan belajar mengajar yang telah diikuti oleh peserta didik. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena sekolah telah menerapkan KTSP. Secara prinsip, UN yang sentralistis bertentangan dengan KTSP yang desentralistis. Dan lagi, pemberlakuan UN sebagai alat penilaian hasil belajar peserta didik telah menginjak-injak hak pendidik dan otoritas sekolah dalam implementasi KTSP. Pemberlakuan keduanya secara bersamaan adalah bentuk inkonsistensi kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah.

Penyelenggaraan UN mulai dari prasyarat keikutsertaan peserta didik dalam UN hingga kriteria kelulusan peserta didik dari UN diserahkan pemerintah pada lembaga yang seolah-olah independen dan tidak termasuk dalam elemen pemerintah, yang dikenal dengan nama BSNP[22]. Walaupun dalam kenyataannya di lapangan lembaga ini tidak benar-benar independen, sebab dari proses pembentukannya saja sudah terlihat tidak independen. BSNP dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada Mendiknas, jadi tidak ada bedanya memang, antara pemerintah dengan BSNP, karena keduanya sama-sama pihak yang merupakan representasi dari pemerintah. Payung hukum otoritas penyelenggaraan UN pada BSNP dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP menjadi batal hukum dengan sendirinya sebab secara hierarkis bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 58 ayat 1 yang memuat bahwa asesmen hasil belajar peserta didik hanya dapat dilakukan oleh pendidik. Sebagaimana teori Stufenbau[23], maka peraturan yang lebih tinggi lah yang seharusnya digunakan bila ada pasal dalam peraturan yang secara hierarkis berada lebih rendah mencoba untuk menganulir peraturan yang lebih tinggi tersebut. Penyelenggaraan UN oleh pemerintah sebagai alat untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik dan alat ukur kelulusan, jelas-jelas tidak berdasar hukum dan inkonstitusional[24]. Hal yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah adalah penilaian terhadap kinerja lembaga pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP pasal 78. Selain masalah payung hukum tersebut, kualitas soal UN juga menjadi pertanyaan yang tidak kalah penting. Sebab UN yang hanya berlangsung selama beberapa jam tersebut hanya memberikan gambaran sesaat terhadap kemampuan peserta didik pada taraf kognitif, yang tentunya sangat amat bergantung pada kualitas soal yang diujikan dalam UN. Walaupun Depdiknas menyatakan bahwa dasar penyusunan soal-soal UN adalah standar kompetensi lulusan SKL dan materinya merupakan irisan dari kurikulum 1994, 2004, dan KTSP[25], namun hal tersebut tidak menjamin kualitas soal. Bahkan publik mempertanyakan mengapa BSNP tidak pernah mengumumkan hasil uji reliabilitas dan validitas soal-soal UN yang diujikan[26].

Segala ketimpangan dan permasalahan yang diakibatkan oleh UN yang diselenggarakan oleh pemerintah ini sebenarnya telah menuai banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat hingga anggota DPR. Bahkan tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara dalam gugatan warga negara (citizen law suit) mengenai kebijakan UAN yang digulirkan oleh pemerintah[27]. Para tergugat (Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua BSNP) diperintahkan untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik akibat UN, dan diperintahkan untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional[28], serta diminta untuk mengembalikan hak penentuan kelulusan peserta didik kepada pendidik dan juga sekolah yang bersangkutan. Kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di seluruh Indonesia, harus mereka tingkatkan sebelum melaksanakan UN lagi. Namun, meski sudah diputuskan oleh pengadilan, pemerintah tetap saja melakukan pelanggaran dengan tetap menyelenggarakan UN hingga tahun 2008 ini, dengan dalih bahwa keputusan pengadilan belum final sehingga mereka tetap dapat menyelenggarakan UN[29].



Dehumanisasi Peserta Didik Melalui UN

Dalam dunia industri, proses sortir produk dilakukan berdasarkan standar kualitas minimum tertentu yang telah ditentukan oleh perusahaan. Produk yang digolongkan sebagai barang ‘reject’ adalah produk yang kualitasnya berada dibawah standar kualitas minimum sehingga tidak akan dijual ke pasaran. Kondisi produk ‘reject’ bisa jadi dikarenakan berbagai macam faktor yang tidak akan dipertanyakan oleh petugas sortir produk kepada produk ‘reject’ tersebut karena produk tersebut merupakan benda mati. Pemberlakukan UN dengan standar pencapaian nilai minimum yang akan menentukan vonis lulus tidaknya peserta didik tanpa menghiraukan penyebab dibalik ketidaklulusan peserta didik, sama halnya dengan memperlakukan peserta didik sebagai benda mati. Keunikan setiap individu peserta didik sebagai manusia telah diabaikan mentah-mentah dengan logika pembendaan tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan proses dehumanisasi peserta didik.

Model soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN juga telah mematikan unsur kreatifitas dan inisiatif peserta didik. Sebab peserta didik diharuskan memilih opsi-opsi jawaban yang sudah tersedia pada lembar jawabannya, tanpa diijinkan untuk mengembangkan daya kreasinya. Model soal pilihan ganda dengan jawaban pasti ini juga akhirnya menimbulkan budaya instan pada proses pembelajaran peserta didik, sehingga pendidik pun menyelenggarakan pembelajaran dengan model drilling yang menuntut peserta didik untuk sekedar menghapal jawaban-jawaban yang sudah pasti, tanpa harus memikirkan darimana datangnya jawaban tersebut.

Penyelenggaraan UN juga telah melecehkan kemerdekaan pendidik dalam berpikir dan berbuat. Pemerintah hanya seolah-olah saja berusaha menyenangkan hati para pendidik dengan pemberlakuan KTSP yang pada prinsipnya membebaskan pendidik dan satuan pendidikan dalam penerapan kurikulum sesuai dengan keunikan potensi sekolah dan daerah masing-masing. Pasalnya, meskipun KTSP telah ditetapkan pemberlakuannya, pemerintah masih saja ingin menilai keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dengan UN yang jelas-jelas tidak saling bersinergi. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena penerapan KTSP antara masing-masing sekolah tentunya juga berbeda. Pada akhirnya, pendidik lah yang harus mengalah dengan mengikuti kemauan pemerintah yang telah menetapkan standar-standar tertentu atas pencapaian hasil belajar peserta didik melalui UN, jika mereka tidak ingin mendapatkan berbagai hukuman seperti vonis ‘tidak lulus’ maupun ‘sekolah tidak favorit’.

Menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak[30]. Hukuman yang dimaksud tentunya adalah stempel ‘tidak lulus’ dan ‘tidak dapat ijazah’. Terlebih lagi, berbagai tekanan terhadap peserta didik yang berlebihan tersebut dapat mengakibatkan peserta didik mengalami depresi berat[31] bahkan sampai ada yang meninggal dunia[32]. Ditemui juga puluhan kasus peserta didik yang melakukan percobaan bunuh diri karena tidak lulus UN, ada yang gagal, namun tidak sedikit juga yang berhasil [33]. Namun tekanan tersebut lebih banyak mengakibatkan peserta didik menjadi menghalalkan segala cara agar lulus UN dengan melakukan kecurangan saat UN hingga melakukan jual beli jawaban[34].

Penilaian pencapaian kompetensi peserta didik melalui UN adalah praktek pengabaian kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik. UN jelas-jelas bertentangan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif dalam konstitusi[35]. Padahal menurut Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan[36]. Bila seorang peserta didik yang tidak lulus UN dianggap ‘tidak cerdas’ secara kognitif, maka hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap keutuhan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh manusia.

Singkat cerita, proses dehumanisasi peserta didik inilah yang digambarkan sebagai proses yang tidak memanusiakan peserta didik, sebab proses pendidikan adalah sesuatu yang intangible sehingga dengan adanya UN sebagai alat untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik, telah terjadi praktek reifikasi[37], yang digambarkan oleh Paulo Freire sebagai proses dehumanisasi[38]. Pendidikan sebenarnya terjadi sepanjang hayat dan ‘kehidupanlah’ yang berhak menilai seorang individu, lain halnya dengan persekolahan yang hanya sebagian kecil dari proses pendidikan, dan dijalani peserta didik dalam kurun waktu yang terbatas. Education is not schooling, sehingga penyamaan makna pendidikan dengan persekolahan akan membuat makna pendidikan tereduksi menjadi sangat sempit.



UN Yang Kental Dengan Semangat Neoliberalisme

Neoliberalisme adalah liberalisme gaya baru yang merupakan bentuk kolonisasi modern terhadap manusia[39]. Dan ketika segala sesuatu yang terjadi dalam hidup manusia dipandang dengan kacamata untung rugi, maka manusia tersebut telah dikuasai oleh logika neoliberalisme. Singkat cerita, prinsip neoliberalisme ini mengedepankan mekanisme pasar yang ‘bekerja’ dalam penentuan ekonomi global, pasar yang melayani kesejahteraan individu, peralihan kekuasaan kebijakan pada individu dan tidak lagi mempercayakannya pada pemerintah sebagaimana yang terjadi dengan liberalisme[40].

Dengan tertanamnya neoliberalisme secara universal melalui konsep globalisasi, maka lahirlah penghambaan terhadap individualisme melalui mekanisme kompetisi yang akhirnya melahirkan pemenang dan orang-orang (yang dianggap) kalah. Sebab lembaga pendidikan formal telah dianggap sebagai sarana indoktrinasi nilai-nilai para elit penguasa, maka mekanisme kompetisi tersebut akhirnya disuntikkan dalam tubuh sistem pendidikan nasional. Meski banyak sekali praktek mekanisme kompetisi dalam dunia pendidikan, seperti sistem rangking, sistem ulangan harian, maupun beasiswa, penyelenggaraan UN adalah bentuk yang paling dehumanis dalam prakteknya. Sebab, kompetisi yang terjadi dalam UN, tidak hanya dilakukan oleh peserta didik untuk mendapat stempel pemenang dengan hadiah ijazah demi mendapatkan mata pencaharian dengan gaji tinggi, namun juga dilakukan oleh sekolah untuk memperoleh label SSN atau untuk mendapat kucuran dana bantuan dari pemerintah. Para kepala daerah dan dinas pendidikan pun juga tidak mau kalah dalam kompetisi tersebut semata-mata demi mengejar citra yang baik dimata pemerintah agar mereka mendapatkan bonus rupiah. Pemberlakuan UN sebagai alat ukur instan mutu pendidikan secara general juga menjadi sarana pemerintah dalam berkompetisi dengan negara-negara tetangga, demi mendapatkan kredibilitas tinggi dimata lembaga donor asing agar mereka tetap mau menyuntikkan dana bagi pemerintah. Agar menjadi pemenang dalam kompetisi tersebut, maka segala cara dihalalkan, termasuk kecurangan amoral yang menimbulkan tendensi perilaku korup.

Tujuan utama yang ingin diraih oleh pemenang kompetisi ini secara keseluruhan adalah uang. Dengan uang, maka setiap individu dapat membeli pemerolehan akses terhadap kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang seharusnya bisa mereka dapatkan dengan cuma-cuma. Pasalnya, neoliberalisasi telah berdampak pada privatisasi segala bidang yang kemudian merambah pada hak asasi manusia atas pendidikan, kesehatan, dan bahkan hak untuk hidup. Artinya, semua pemerolehan hak asasi sangat tergantung pada daya beli individu terhadapnya, sehingga bila seseorang tidak memiliki sejumlah uang untuk ditukarkan dengan makanan, maka ia tidak akan mendapatkannya. Pemerintah yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warga negara pun akhirnya tidak akan dapat berbuat apa-apa sebab segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah keinginan para pemilik modal yang telah meninabobokkan pemerintah dengan suntikan modal pula.

Alasan dibalik penanaman mekanisme kompetisi yang mengedepankan N-ach[41] dalam dunia pendidikan, terutama melalui penyelenggaraan UN, adalah untuk menginternalisasikan sikap kompetitif pada calon buruh (peserta didik) yang akan dipekerjakan oleh kaum industriawan. Sikap kompetitif tersebut akan sangat berguna bagi para pemilik modal sebab akan mempermudah mereka dalam menginisiasi buruh mereka dengan gaji tinggi sebagai iming-iming agar buruh mereka mau meningkatkan produktifitas kinerjanya. Bagi para pemilik modal, peningkatan produktifitas buruh adalah sama dengan peningkatan keuntungan yang akan mereka raih. Namun, sebenarnya kompetisi tersebut tidak hanya berdampak pada kinerja buruh saja, melainkan juga pada kehidupan kesehariannya. N-ach mempengaruhi individu untuk bersaing dalam segala hal demi prestige, mulai dari berusaha mendapatkan sekolah berkualitas tinggi dengan harga termahal hingga sekedar memilih untuk makan di tempat yang mewah pun dilakukan. Dan watak individualistis yang hanya memikirkan kepentingan diri pribadi tersebut telah dilahirkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal hari ini.

Kompetisi antar peserta didik yang mengarahkan mereka untuk bersikap individualistis, menyebabkan tidak adanya ‘pengetahuan untuk dibagi’ melainkan menjadi milik pribadi yang tidak bisa dibagi-bagi jika tidak mau tersaingi. Moralitas diabaikan dalam persaingan tersebut, dan terjadilah korosi sosial[42] akibat social intelligence yang tidak terasah dan masih terdikotomi dengan ‘aku-kamu-mereka’. Korosi sosial inilah yang akhirnya menimbulkan bystander apathy[43]. Sebabnya jelas, sistem persekolahan formal hari ini hanya menyediakan tempat bagi para ‘pemenang’ atau peserta didik yang kepintarannya dapat dikuantitatifkan begitu pula dengan lembaga pendidikannya yang terklasifikasi dengan level favorit dan tidak favorit. Sebagaimana ciri neoliberalisme yang tidak memberi ruang bagi orang-orang yang (dianggap) kalah, maka peserta didik yang (dianggap) kurang intelektualitasnya secara kuantitatif menjadi warga kelas dua. Begitu pula dengan sekolah yang dicap dengan level favorit, maka akan mendapatkan ‘hadiah’ penerimaan murid yang meningkat berikut bonus rupiah dari pemerintah dan sebaliknya. Padahal jika dipahami lebih lanjut, ‘kekalahan’ mereka tersebut terjadi secara struktural, sehingga sangatlah tidak manusiawi bila mereka diberi hukuman dengan vonis ‘lulus-tidak lulus’ maupun ‘favorit-tidak favorit’.

Dengan pengandaian bahwa soal-soal yang diujikan dalam UN memiliki kredibilitas tinggi, maka ketidaklulusan peserta didik dalam UN pun masih tidak dapat dipersalahkan 100% pada peserta didik yang bersangkutan hingga mereka harus dihukum. Kualitas pendidik yang berinteraksi dengan peserta didik sehari-harinya juga menjadi pertanyaan, sebab akan berbeda kualitas pastinya antara pendidik di sekolah ‘favorit’ dengan sekolah yang ‘tidak favorit’. Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, antara peserta didik satu dengan yang lain juga pasti berbeda, tergantung dengan kemampuan ekonomi orang tua peserta didik. Kondisi fisik dan psikis yang dihadapi oleh masing-masing peserta didik pun pasti berbeda satu sama lain, dan tentunya masih banyak lagi hal-hal yang menjadi faktor dalam penentu keberhasilan peserta didik dalam pengerjaan UN. Keberadaan segala faktor tersebut sangatlah manusiawi sebab peserta didik adalah manusia. Mekanisme kompetisi tersebut telah melahirkan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sebab tidak semua orang tua dapat menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkualitas baik, karena sekolah berkualitas baik biasanya menuntut pembiayaan lebih, sehingga peserta didik yang mendapatkan sekolah yang berkualitas kurang baik pun sebenarnya bukanlah murni pilihan mereka. Seluruh bentuk kehidupan yang mereka jalani juga tidak sepenuhnya pilihan mereka, melainkan telah dipaksakan oleh ‘situasi’ yang dibuat oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa secara ekonomi. Secara singkat, siklus tersebut akan berputar seperti ini: peserta didik dengan orang tua yang berkemampuan ekonomi lemah akan menyekolahkan anak mereka di sekolah ‘tidak favorit’ dengan kualitas yang kurang, akibatnya peserta didik memiliki prestasi belajar (yang dianggap) rendah sehingga peluang mereka dalam mendapatkan mata pencarian dengan gaji tinggi telah dinihilkan, dan akhirnya anak keturunan mereka pun bernasib sama dengan mereka, dan seterusnya berlanjut tanpa henti, bahkan mungkin dengan nasib yang lebih tidak beruntung dari sebelumnya. Pada akhirnya mereka tetap berada dalam jajaran orang-orang (yang dianggap) kalah karena tidak dapat bersaing dalam kompetisi kehidupan sehingga menjadi warga (yang dianggap) kelas dua, sebab dalam kompetisi yang penuh dengan semangat neoliberalisme ini yang kalah akan semakin lemah dan yang menang akan semakin kuat.

Pemberlakuan UN sebagai alat asesmen hasil belajar peserta didik sangat bertentangan dengan HAM yang mengakui hak warganegara untuk tidak mendapatkan diskriminasi dalam bidang pendidikan, seperti tercantum dalam UU Sisdiknas. Sebagaimana pendapat Utomo Danandjaja, penetapan standar kelulusan memiliki ideologi diskriminatif sebab telah mengkotak-kotakkan ‘kelas’ yang terpisah antara siswa yang cerdas dan yang kurang cerdas[44], apalagi hasil UN tersebut digunakan peserta didik untuk mendaftar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Peserta didik yang hasil UN-nya tinggi akan dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit yang dianggap lebih berkualitas dan sebaliknya, peserta didik yang hasil UN-nya kurang tinggi akan ‘dibuang’ ke sekolah-sekolah pinggiran yang berkualitas rendah. Padahal setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas[45], malahan peserta didik yang dianggap ‘kurang’ memiliki hak untuk didampingi secara lebih intensif oleh pendidik dan bukannya ‘dihukum’ untuk memasuki sekolah yang kualitasnya malah ‘kurang’ sehingga peserta didik makin terpuruk. Belum lagi, pengadaan ujian Paket C yang dijadikan sebagai sarana ujian remidial oleh pemerintah malah semakin melebarkan kesenjangan antara peserta didik yang dianggap pandai versi UN dan versi ujian Paket C sehingga akan semakin menambah beban psikologis mereka[46]. Sebab akan terjadi dikotomi antara ijazah pendidikan formal dengan ijazah pendidikan Paket C yang tidak selalu diterima oleh PT maupun dunia kerja karena masih dipandang sebelah mata. Diskriminasi yang timbul akibat pemberlakuan UN ini sangat bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah meniadakan diskriminasi. Dan diskriminasi terhadap peserta didik yang terjadi dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan berpotensi membunuh rasa percaya diri peserta didik ini tidak terjadi di Finlandia yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik sedunia. Sekolah-sekolah di Finlandia tidak membuat sistem rangking, apalagi membuat label tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah pada peserta didiknya[47]. Peserta didik yang mereka bahasakan sebagai ‘peserta didik yang agak lambat belajar dibandingkan dengan peserta didik lainnya’ malah diberikan pendampingan intensif oleh sekolah tentunya dengan pendidik yang memiliki kualitas didik lebih, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Diskriminasi tidak hanya terjadi pada peserta didik namun juga terjadi pada mata pelajaran. Ada kesenjangan prioritas antara mata pelajaran yang diujikan dalam UN dengan yang tidak diujikan dalam UN, sebab tidak semua mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik pada lembaga pendidikan diujikan dalam UN. Jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN juga berubah-ubah setiap tahunnya. Pada UN tahun 2008 ini mata pelajaran yang diujikan dalam UN SMA berjumlah 6 mata pelajaran, sementara UN SMK tetap 3 mata pelajaran, untuk UN SMP bertambah 1 mata pelajaran menjadi 4 mata pelajaran, dan UN SD tetap 3 mata pelajaran[48]. Perubahan jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah tindakan yang diambil BSNP terkait banyaknya masukan mengenai diskriminasi antara mata pelajaran yang diujikan dan tidak dujikan dalam UN. Namun, tindakan BSNP tersebut tetap saja tidak dapat meniadakan diskriminasi yang terjadi akan prioritas mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik. Para pendidik di sekolah peserta didik tentunya juga akan lebih mempersiapkan peserta didiknya dalam menghadapi sejumlah mata pelajaran tertentu saja yang akan diujikan dalam UN[49]. Seto Mulyadi menilai bahwa pelaksanaan UN justru bisa membuat peserta didik tidak belajar selama belum mendekati waktu UN dan cenderung hanya memprioritaskan belajar pada saat menjelang UN[50]. Secara tidak langsung, melalui kebijakan UN, pemerintah telah menentukan bahwa sejumlah mata pelajaran tertentu lebih penting dari sejumlah mata pelajaran lainnya. Pemilihan mata pelajaran berhitung dan bahasa sebagai mata pelajaran yang di-UN-kan adalah bukti bahwa pemerintah hanya mengakomodasi kebutuhan kaum industriawan akan calon buruh yang mereka perlukan dengan kompetensi minimal dapat berhitung dan berbahasa dengan baik. Imbasnya, peserta didik, pendidik, orang tua, maupun masyarakat secara luas akan membangun paradigma yang sama dengan pemerintah. Sebagai contoh, dengan tidak diujikannya mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan dalam UN, maka mata pelajaran tersebut dianggap tidak lebih penting dibandingkan dengan mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, maupun Bahasa Inggris yang diujikan dalam UN, sehingga pendidik maupun peserta didik tidak akan mempelajari mata pelajaran yang tidak di-UN-kan dengan sungguh-sungguh karena tidak ‘dibutuhkan’.

Bagi pemerintah, penyelenggaraan UN sangat menguntungkan bagi mereka sehingga akan tetap terus dipertahankan dengan berbagai macam cara. Dan cara penentuan kebijakan dengan melihat manfaat kebijakan tersebut dari kacamata untung-rugi ini tentunya merupakan prinsip dasar dari pemerintahan yang telah dikuasai oleh semangat neoliberalisme.



Kepentingan Pemerintah Dibalik Implementasi Kebijakan UN

Menanam mitos seputar UN ditengah-tengah segala ketimpangan dalam konsep penyelenggaraan UN, tidaklah dilakukan pemerintah tanpa alasan yang menguntungkan. Ada beragam kepentingan yang menyertai tindakan pemerintah tersebut. Tentunya bukan hanya kepentingan yang seolah-olah demi kebaikan peserta didik, seperti yang selalu diungkapkan oleh pemerintah bahwa penyelenggaraan UN adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui pemetaan hasil UN peserta didik. Namun, ada kepentingan lain yang notabene menguntungkan pemerintah disatu sisi, tapi merugikan peserta didik disisi lainnya. Sebabnya jelas, relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan tidak pernah dapat dibuktikan oleh pemerintah secara empiris sehingga terkesan asal-asalan beralasan. Hasil penelitian lintas negara, seperti TIMMS dan PISA menunjukkan bahwa meski Indonesia memiliki ritual UN untuk penentu kelulusan, prestasi akademis siswa-siswa di Indonesia masih terpuruk di jajaran bawah[51]. Bahkan survei oleh lembaga-lembaga internasional menunjukkan, hanya satu di antara tujuh pelajar Indonesia yang mampu menunjukkan kompetensi higher order of thinking seperti problem solving, sementara di Finlandia lima[52]. Padahal, Finlandia tidak pernah mengadakan ritual UN seperti Indonesia. Finlandia mengadakan ujian hanya beberapa tahun sekali yang itupun tidak diikuti oleh semua peserta didik, sebab ujian yang mereka lakukan hanyalah untuk mendapatkan data hasil penilaian kompetensi peserta didik yang digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidik dan sekolah[53], dan bukannya untuk menentukan vonis kelulusan terhadap peserta didik seperti halnya di Indonesia. Penjelasan mengenai tidak adanya relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa penyelenggaraan UN selama ini adalah kesia-siaan belaka terutama bagi peserta didik.

Apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sebenarnya juga merupakan sebuah ironi akademis yang memposisikan guru dan siswa sebagai sekedar anjing pavlov[54]. Peningkatan intensitas kegiatan belajar mengajar tersebut terjadi karena adanya stimulus dari luar, yang dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan karena sangat tidak manusiawi[55]. Bahkan, menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak[56].

Dalih lain pemerintah dibalik penyelenggaraan UN adalah untuk pemetaan mutu pendidikan di Indonesia. Padahal, tidak pernah ada follow up[57] untuk pemerataan mutu pendidikan secara substantif yang didasarkan atas hasil UN yang notabene fiktif hasil rekayasa melalui kecurangan terstruktur. Sekolah yang tingkat kelulusan peserta didiknya mencapai 100% lah yang diberi suntikan dana bantuan oleh pemerintah, sementara sekolah yang tingkat kelulusannya tidak berhasil mencapai angka sempurna malah diberikan ‘hukuman’, mulai dari ancaman mutasi kepala sekolah[58] hingga penihilan peluang untuk mendapatkan dana bantuan untuk meningkatkan mutu sekolahnya. Selama ini, UN jelas-jelas hanya difungsikan sebagai vonis terhadap kelulusan peserta didik dan memang tidak ada tindakan pemerintah yang mengarah pada perbaikan mutu pendidikan berdasarkan hasil UN selain dengan meningkatkan standar minimal pencapaian nilai hasil UN itu sendiri. Bahkan disinyalir bahwa penyelenggaraan UN ini adalah salah satu cara pemerintah untuk membagi-bagi proyek pada seluruh koleganya[59]. Wajar saja, sebab dana penyelenggaraan UN setiap tahunnya menelan biaya trilyunan rupiah[60]. Begitu ironis, pemerintah menghamburkan trilyunan rupiah untuk menyelenggarakan UN yang jelas-jelas merupakan kesia-siaan, di tengah kondisi dunia pendidikan yang sangat membutuhkan banyak biaya untuk memperbaiki kualitas pendidik, sarana dan prasarana persekolahan, meningkatkan gaji pendidik, dan yang paling penting, yaitu untuk membebaskan seluruh anak usia sekolah dari buta aksara, yang jelas-jelas lebih relevan dengan peningkatan mutu pendidikan secara nasional.

Kegiatan ‘bagi-bagi proyek’ UN dilaksanakan tidak hanya di jajaran elit pemerintah, , namun hingga di tingkat satuan pendidikan. Hasil temuan ICW terhadap penyelidikan yang mereka lakukan pada sekolah-sekolah di Jakarta membuktikan adanya 55 jenis ‘pungutan liar’ yang dilakukan oleh pihak sekolah terkait dengan pengadaan UN[61]. Penyelenggaraan UN juga menjadi ajang bisnis bagi berbagai pihak yang akhirnya ikut ‘memeras kantong’ orang tua peserta didik. Selain sekolah yang memungut biaya les tambahan untuk persiapan UN, sudah bukan rahasia lagi bila banyak sekolah yang bekerja sama dengan beraneka lembaga bimbingan belajar untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi UN. Bahkan orang tua peserta didik merasa lebih percaya diri dalam menghadapi UN bila anaknya telah diikutsertakan dalam lembaga bimbingan belajar. Betapa ironis, karena sekali lagi, martabat pendidik di sekolah telah terinjak-injak tanpa disadari oleh mereka. Secara tidak langsung, lembaga bimbingan belajar tersebut telah mengambil alih fungsi sekolah karena lebih dipercayai oleh orang tua peserta didik dalam mendampingi anaknya belajar.

Penyelenggaraan UN ini jelas nampak sebagai cara pengukuran instan pemerintah untuk mendapatkan pengakuan bahwa mutu pendidikan di negeri ini meningkat seiring dengan dinaikkannya standar nilai minimal untuk kelulusan UN. Secara empiris sudah terbukti bahwa tidak ada relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan, namun alibi pemerintah yang tidak berdasar ini terus diwacanakan pada publik sebab UN mereka yakini sebagai cara termudah untuk mendapatkan kebanggaan akan peningkatan mutu pendidikan, sekalipun hasil UN tersebut telah mereka manipulasi dengan berbagai modus operandi kecurangan dalam penyelenggaraan UN demi mempertahankan citra UN sebagai alat penilaian yang sempurna.

Kebanggaan fiktif pemerintah akan keberhasilan mereka dalam meningkatkan mutu pendidikan yang telah mereka rekayasa melalui hasil UN ini ternyata juga bukan satu-satunya keuntungan. Kebijakan UN adalah bentuk hegemoni pemerintah terhadap rakyat. Kurikulum yang tidak diaplikasikan secara konsisten dan masuknya UN di tengah otonomi pendidikan merupakan dikte yang terkadang lebih tragis dari kebijakan penjajah mengontrol pendidikan[62]. Menurut Prellezo[63], cara neokolonisasi ini bekerja begitu halus dan licik dalam mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Dan penyelenggaraan UN yang dari berbagai segi telah mematikan kreatifitas dan inisiatif peserta didik serta meneror mereka secara psikologis, adalah cara teraman bagi pemerintah untuk melanggengkan hegemoni[64] mereka terhadap rakyat.

Apa yang telah terjadi pada masa ini tidak akan dapat dikaji dengan mengabaikan konteks sejarah bila tidak ingin mengalami akronisme. Sebagaimana dipaparkan oleh sejarawan Ong Hok Ham[65], para pejuang kemerdekaan Indonesia tidaklah mendirikan negara baru dari bawah dengan unsur-unsur revolusioner melainkan mewarisi suatu negara beserta aparatus-aparatusnya. Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir saat ini akibat politisasi pendidikan yang menjadi bagian dari agenda pemerintah untuk terus menghegemoni rakyat dan tentunya hal tersebut tidak terlepas dari sistem pendidikan yang terus mereproduksi pemimpin yang tirani dan sistem tersebut semakin lestari karena budaya feodal dan paternalistik bisu yang terus ‘dibudayakan’. Lembaga pendidikan formal dalam sistem tersebut memang tidak berfungsi sebagai lembaga yang dapat membangun kesadaran manusia secara ‘utuh’ melainkan – sebagaimana pendapat Paulo Freire[66] – malah menjadi lembaga untuk menanamkan ideologi pemerintah yang sedang berkuasa agar mereka tetap dapat melestarikan kekuasaannya tanpa suatu hambatan yang berarti sehingga proses membangun kesadaran manusia dalam lembaga pendidikan dapat berlangsung sekehendak mereka. Fakta inilah yang terjadi di negeri ini selama berabad-abad, bahkan sejak Indonesia belum merdeka, mulai jaman kerajaan Hindu Budha[67]. Namun, model pengendalian rakyat melalui lembaga pendidikan ini (sekali lagi) bukanlah model baru, sebab politisasi pendidikan sudah cukup lama dimulai bahkan sejak jaman peradaban Islam[68].

Kolonisasi yang pernah didera oleh negeri ini tidak hanya sebatas penjajahan secara fisik, namun juga secara psikis. Secara metodik, penjajahan fisik telah lama ditinggalkan, sebab penjajahan psikis ternyata jauh lebih ampuh dalam mengendalikan rakyat jajahan. Model penjajahan psikis atau neokolonisasi ini lebih mudah dilancarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang disebut dengan sekolah. Begitu besarnya peranan pendidikan – yang direduksi maknanya sebagai persekolahan – dalam mengubah manusia, ternyata dilihat oleh kelompok ekonomi kuat sebagai lahan yang sangat subur untuk sarana hegemoni, karena setiap manusia tidak mungkin tidak menginginkan dan membutuhkan pendidikan, terutama karena tertanamnya mitos pendidikan sebagai investasi terpenting dalam kehidupan.



Fungsi ‘Penilaian’ Yang Sebenarnya

Bila diamati secara mendalam, tujuan penentuan lulus tidaknya peserta didik dari suatu lembaga pendidikan adalah untuk mengetahui apakah peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu yang diharapkan telah dikuasai oleh peserta didik melalui kegiatan belajar mengajar yang terjadi pada lembaga pendidikan tempatnya belajar. Dalam menentukan apakah peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, hanya oleh pendidik tentunya. Sebab pihak yang paling mengetahui perkembangan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan hanyalah pendidik. Hal ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 58 ayat 1 bahwa ‘evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’. Dan tentunya dengan melakukan pengamatan harian terhadap perkembangan kompetensi peserta didik secara berkesinambungan, maka pendidik akan mendapatkan hasil asesmen yang lebih valid. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Zuber Safawi, Ketua Komisi X DPR RI, yang menyatakan bahwa secara normatif proses evaluasi belajar siswa seharusnya telah dimulai sejak awal tahun belajar, sehingga hasil evaluasi lebih bersifat komprehensif[69]. Hasil asesmen tersebut tentunya akan menunjukkan sejauh mana kemampuan pendidik dalam membantu peserta didik untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang dipelajarinya melalui kegiatan belajar mengajar. Fungsi dari assessmen in education tersebut adalah untuk menggunakan data hasil penilaian sebagai alat evaluasi bagi peserta didik secara individual dan juga bagi lembaga pendidikan tempatnya belajar[70]. Menyepakati hal tersebut, Utomo Dananjaya berpendapat bahwa idealnya, penilaian hasil belajar peserta didik memiliki 2 fungsi: pertama adalah untuk mengetahui kemajuan belajar siswa secara individual sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih bagi mereka yang mengalami kemunduran dalam proses belajar, fungsi kedua adalah agar guru mendapatkan umpan balik dari peserta didik atas proses pendidikan yang telah dilaksanakan sehingga guru memiliki referensi yang akurat atas perkembangan kemampuan peserta didik dalam proses belajar dan dapat merumuskan pola-pola belajar yang tepat dalam meningkatkan kemampuan peserta didik[71]. Sebagaimana halnya yang terjadi di Finlandia, penilaian terhadap hasil belajar peserta didik digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan kinerja lembaga pendidikan dalam mendampingi peserta didiknya[72]. Bahkan target pencapaian kompetensi peserta didik tidak dilakukan oleh pemerintah dengan pemberlakuan standar tertentu seperti di Indonesia, melainkan ditentukan oleh peserta didik sendiri sehingga tugas pendidik hanyalah mendampingi peserta didik dalam mencapai kompetensi yang diinginkannya. Hal tersebut yang ternyata menjadi pemacu peserta didik dalam belajar sehingga tidak mengherankan bila prestasi peserta didik asal Finlandia menjadi yang terbaik di dunia.

UN dikategorikan sebagai means daripada ends[73]. Sehingga, pokok permasalahan utama yang seharusnya dipikirkan oleh pemerintah yang menggulirkan kebijakan UN adalah tujuan pendidikan untuk mendapatkan peserta didik seperti apa yang ingin dicapai, dan bukannya malah memikirkan bagaimana mempertahankan UN sebagai ritual sakral tahunan yang tidak boleh diganggu gugat. Kuantifikasi hasil penilaian belajar peserta didik tentu saja menjadi alat untuk menghasilkan manusia mekanis yang diredusir pada kemampuan akademis yang tidak memiliki kemampuan dalam menjawab integritas manusia sebagai pribadi yang dikaruniai aneka macam keistimewaan seperti akal budi, kehendak, emosi, dan berbagai macam keunikan lainnya, sebab itulah, seharusnya sistem penilaian hasil belajar peserta didik harus dikembangkan dengan docimologi[74], sebagai suatu cara penilaian dengan menekankan bahwa akuisisi ilmu dipahami bukan dalam arti banyaknya jumlah gagasan serta pengetahuan yang dapat dipahami dan diterima peserta didik, namun sejauh mana pengetahuan itu dapat mengubah sikap dan perilaku yang koheren dengan konsep sebuah sekolah yang mendidik.



Kembali Pada Pendidikan Yang Memanusiakan Manusia

Perubahan kebijakan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengikuti indikator sederhana ‘kebijakan yang berpihak pada rakyat’ versi masyarakat awam seperti mudah lulus sekolah agar langsung dapat kerja, tidak ada pungutan untuk les tambahan persiapan ujian, hingga murahnya biaya pendaftaran sekolah atau bahkan gratis[75]. Polemik permasalahan UN sebagai kebijakan pendidikan sangatlah kompleks, tidak akan selesai hanya dengan sekedar menuruti indikator-indikator sederhana tersebut, apalagi hanya dengan mengganti sistem penilaian hasil belajar peserta didik dengan yang lebih relevan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, permasalahannya lebih dari itu. Namun semuanya dapat diawali dengan cara mengembalikan pendidikan pada tujuan utamanya, pendidikan sebagai sarana bagi manusia dalam memahami kemanusiawiannya.

Konsep humanizing human through education[76]ini sebenarnya telah lama dikemukakan oleh banyak pakar pendidikan humanis sejak berabad-abad lalu. Mengapa harus kembali pada konsep pendidikan tersebut, sebab praktek-praktek dehumanisasi terhadap peserta didik dalam sistem pendidikan formal, bagaimanapun bentuknya, harus dihapuskan. Konsep tersebut sejalan dengan aliran konvergensi yang dianut oleh Al-Ghazali[77] dan juga William Stern yang mengemukakan bahwa manusia memang sejak lahir sudah membawa potensi dan bakat tetapi potensi dan bakat itu tidak akan berkembang dengan sendirinya secara maksimal tanpa dibantu dengan proses pendidikan. Intinya, pendidikan humanis dapat dipahami sebagai model pendidikan yang memuliakan manusia atas potensi-potensi kemanusiaan yang sudah ada dalam dirinya. Pada model pendidikan ini, manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, sehingga pendidikan harus berpusat pada peserta didik dan bukan pada pendidik. Selama tujuan pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik terhadap realitas yang ada di sekitarnya dan menyadarkan mereka akan proses dehumanisasi yang terjadi atasnya, maka peserta didik harusnya tidak lagi dijejali dengan hapalan teori melainkan dengan membawa mereka pada realitas itu sendiri. Dan konsep humanizing human through education inilah yang tidak ditemukan dalam lembaga pendidikan formal hari ini, sebab lembaga pendidikan formal hari ini telah dipahami sebagai tempat yang teramat strategis dalam mereproduksi mitos-mitos dan ideologi yang dikehendaki oleh penguasa. Melangkahkan kaki untuk keluar dari jeratan pendidikan yang dehumanis ini menjadi begitu sulit, walaupun bukannya tidak mungkin untuk dilakukan. Ada mitos bahwa warganegara yang tidak mengenyam pendidikan formal akan menjadi warga ‘kelas dua’ karena mereka tidak memiliki selembar ijazah sebagai tiket menuju kehidupan yang layak.

Berbagai ketimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional menjadi alasan yang kuat untuk melakukan perombakan terhadapnya. Namun, merombak total sistem pendidikan nasional melalui perubahan kebijakan seakan menjadi sesuatu yang utopis karena pemerintah yang begitu mengekang, sehingga ‘pemerdekaan dari penjajahan’ ini dapat dilakukan dengan cara lain yang lebih down to earth, misalnya melalui pendidikan alternatif diluar jalur sistem pendidikan formal. Walaupun demikian, kemunculan beragam jenis pendidikan alternatif, mulai dari sekolah alam hingga homeschooling, sebenarnya dapat dilihat sebagai tindakan nyata yang dilakukan oleh pihak-pihak yang kegerahan dengan sistem pendidikan formal saat ini. Sebab sistem pendidikan formal yang masih saja menggunakan banking concept of education ini sudah sangat menjenuhkan berbagai pihak. Sehingga sekolah dalam sistem pendidikan formal hari ini harus dikembalikan pada habitatnya semula untuk tidak menjadi satu-satunya ‘jalan keluar’, sebagaimana prinsip dasar yang melatarbelakangi pendirian SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah , bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan[78].

Disisi lain, mitos yang mengagung-agungkan kepemilikan ijazah dari pendidikan formal membuat peserta didik yang mengikuti pendidikan alternatif menjadi ‘terpinggirkan’. Bahkan tidak jarang muncul anggapan bahwa individu yang tidak mengikuti pendidikan formal adalah individu yang tidak terdidik. Sebab mitos bahwa pendidikan adalah sekolah sudah begitu mengakar di masyarakat sehingga untuk melepaskan diri dari sistem pendidikan formal tidaklah mudah. Padahal, proses dehumanisasi secara massal selama ini dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal sehingga peserta didik yang berada dalam lembaga tersebut dapat dipastikan akan sangat sulit untuk memperoleh kesadaran kritis. Pemerolehan kesadaran kritis hanya dimungkinkan terjadi melalui model-model pendidikan alternatif yang memanusiakan manusia. Dan tentunya model pendidikan tersebut kebanyakan tidak akan menghasilkan ijazah, sebagai simbol kelulusan peserta didik.

Proses humanisasi melalui pendidikan juga harus dilakukan pada berbagai pihak yang terlibat langsung dengan peserta didik, tidak hanya melalui lembaga pendidikan, namun juga melalui orang tua. Sebab proses pendidikan sudah dimulai sejak sebelum manusia dilahirkan kemuka bumi. Bayi yang sudah mulai bernyawa dalam kandungan ibunya sebenarnya sudah dapat mengenyam pendidikan, sehingga keberadaan prenatal education adalah hal yang seharusnya menjadi kewajiban[79]. Prenatal education tersebut kemudian juga harus dilanjutkan dengan pendidikan bagi orang tua untuk merawat bayi hingga usia anak-anak, kemudian beranjak remaja, hingga mereka siap untuk mandiri, sebagaimana pendidikan berbasis keluarga, sebagai salah satu unsur dalam Tri Pusat-nya Ki Hajar Dewantara[80].

Membangun lembaga pendidikan alternatif yang benar-benar memanusiakan manusia dan bebas dari hegemoni pemerintah menjadi tidak begitu mudah. Pasalnya, untuk mendirikan sebuah satuan pendidikan, baik formal maupun non formal, pemerintah memberikan kekangan yang luar biasa melalui konstitusi[81], terutama dalam hal pemerolehan izin yang meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan pada satuan pendidikan yang akan didirikan. Jeratan konstitusi inilah yang akhirnya membuat usaha-usaha untuk melangkah keluar dari sistem pendidikan formal yang terbalut semangat neoliberalisme menjadi nampak sulit untuk dilakukan, walaupun bukannya tidak mungkin untuk dikerjakan. Sebab itulah perlu dipikirkan jalan lain untuk mengobati kecanduan rakyat di negeri ini terhadap persekolahan formal tanpa keluar dari konsep pendidikan yang memanusiakan manusia namun juga terbebaskan dari hegemoni pemerintah. Misalnya dengan mengadakan pendidikan suplemen (tanpa gelar) di setiap satuan pendidikan dengan hidden curriculum pendidikan kritis. Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk membekali peserta didik dengan amunisi kritis dalam menghadapi pendidik, sekolah, lingkungan masyarakat, pemerintah, bahkan orang tua yang secara tidak sengaja ataupun sengaja melakukan tindakan-tindakan yang tidak memanusiakan manusia.

Oleh Thantien Hidayati[2]



[1] Dipresentasikan dalam Panel Pendidikan: Privatisasi Pendidikan pada Konperensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi & Tirani Modal, di FISIP UI Depok, 6 Agustus 2008.

[2] Penulis sedang menempuh studi pada program Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang.

[3] CE. Beeby. 1981. Pendidikan Di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan. Jakarta: LP3ES.

[4] Pengadilan Nyatakan Pemerintah Lalai Penuhi Hak Pendidikan.http://www.antara.co.id/ arc/2007/5/21/. 21/05/2007.

[5] Ario Djatmiko. Hilangnya Peluang Kerja. Jawa Pos. 15/11/2007.

[6] Ade Irawan. Petaka Pendidikan Nasional. http://www.antikorupsi.org/ 06/07/2006.

[7] Ujian Ulang, Siswa Manja. http://www.jambi-independent.co.id/home/ 22/06/2006.

[8] Rahadian P. Paramita. Pembocor Un=Pembocor Rahasia Negara=Teroris. http://pendidikan-alternatif.blogspot.com/2008/05.02/05/2008.

[9] Ujian Ulang, Siswa Manja. http://www.jambi-independent.co.id/home/modules. 22/06/2006.

[10] Ki Supriyoko. Ujian Nasional Kejujuran. http://jawabali.com/pendidikan/ujian-nasional-kejujuran-792. 26/04/2008.

[11] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[12] Kecurangan Ujian Nasional: Komunitas Air Mata Guru Diteror.http://www.vhrmedia.net/home/ index.php?id=view&aid=4691&lang=.

[13] Carut-marut Ujian Nasional. http://www.vhrmedia.net/home/index .php?id=view&aid=4624& lang=. Kompas. 27/04/2007.

[14] Gugatan Ujian Nasional: Pemerintah Bantah Ada Kecurangan. http://www.vhrmedia.net/home/ index.php?id= view&aid=4201&lang=.

[15] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[16] Ujian Nasional 2007 Dijaga Ketat. http://www.vhrmedia.net/home/index.php? id=view&aid=4500&lang=. 17/04/2007.

[17] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[18] Awan Kelabu di Hari Pendidikan Nasional. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id= 19151&cl=Berita. 02/05/2008.

[19] Ibid.

[20] Doni Koesoema A. Pengangguran Intelektual. Kompas. 15/02/2008.

[21] PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP, pasal 1 ayat 20.

[22] PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP, pasal 67, 69, dan 71.

[23] Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Cetakan Ke-11. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[24] HAR. Tilaar. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis. Bandung: Rineka Cipta.

[25] Moh. Yamin. UN-UASBN, Makhluk Menakutkan. http://jawabali.com/pendidikan/un-uasbn-makhluk-menakutkan/ 22/04/2008.

[26] Agus Suwignyo. Ujian Nasional 2008: Kembali ke Tengah. Kompas. 20/06/2008.

[27] Pengadilan Nyatakan Pemerintah Lalai Penuhi Hak Pendidikan.http://www.antara.co.id/ arc/2007/5/21/. 21/05/2007.

[28] Pemerintah Diminta Legowo Kaji Kebijakan Ujian Nasional. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?Id=166452. 14/04/2008.

[29] Presiden Minta Mendiknas Naik Banding Soal Kasus Ujian Nasional. http://www.antara.co.id/arc/ 2007/5/22/. 22/05/07.

[30] Ibid.

[31] Ujian Nasional: Kembalikan Kelulusan Siswa pada Sekolah. http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita-1601.html. 15/04/2008.

[32] Siswa SMP Meninggal Usai Ujian Nasional. http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id= view&aid=4600&lang=. 26/04/2007.

[33] Dina Sasti, dkk. Menabur UN Menuai Gugatan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/ 03/nas06.html. 03/07/2006.

[34] Sri Lestari. Ujian Nasional Dan Ujian Moral. http://jawabali.com/ pendidikan/ujian-nasional-dan-ujian-moral-793/. 27/04/2008.

[35] PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP pasal 25 ayat 4.

[36] Moh. Yamin. UN-UASBN, Makhluk Menakutkan. http://jawabali.com/pendidikan/un-uasbn-makhluk-menakutkan/ 22/04/2008.

[37] HAR Tilaar. 2005. Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

[38] Siti Murtiningsih. 2006 . Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

[39] Mansour Fakih. 2006. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

[40] Agus Nuryatno. Education and Ideology of Competitions. Kompas. 13/02/2007.

[41] Mansour Fakih. 2006. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

[42] Daniel Goleman. 2007. Social Intelligence: Ilmu Baru Tentang Hubungan Antar Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

[43] Istilah bystander apathy dikemukakan oleh Jerome Kagan dan Julius Segal, merupakan perilaku sosial negatif seperti sikap masa bodoh, cuek, dan tidak peduli terhadap orang lain yang membutuhkan pertolongan.

[44] Pengamat Pendidikan: Ujian Nasional Langgar HAM. http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita-1655.html. 25/04/2008.

[45] UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1.

[46] Pemerintah Tak Akui Gugatan Citizen Lawsuit. http://www.hukumonline.com/detail.asp? id=15461&cl=Berita.12/09/2006.

[47] Budi Suwarna. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12/11/2007.

[48] Perubahan Ujian Nasional 2008. http://www.kaltengpos.com. 25/10/2007.

[49] Jadi-Tidak Jadi Ujian Nasional.http://www.korantempo.com/news/2005/2/3/nasional/7.html. 03/02/2005.

[50] Kak Seto Memprotes Pernyataan Jusuf Kalla. http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id =124804. 24/06/2006.

[51] Elin Driana. UN, Putusan Pengadilan Tinggi. http://relung.blog.com/Pendidikan/. 25/04/2008.

[52] Daniel Mohammad Rosyi. Keaduhan Nasional. http://jawabali.com/blog/keaduhan-nasional-790/trackback. 25/04/2008.

[53] Andri Aji Saputro. Finlandia : Kualitas Pendidikan Terbaik di Dunia. Kompas. 14/05/2007.

[54] Doni Koesoema A. Pengangguran Intelektual. Kompas. 15/02/2008.

[55] Ibid.

[56] Kak Seto Memprotes Pernyataan Jusuf Kalla. http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id =124804. 24/06/2006.

[57] Ujian Nasional dan Eksistensi Bangsa. http://mainview.org/artikel_lengkap.php? id=11&artikel=mainview. 06/05/2008.

[58] Ade Irawan. Petaka Pendidikan Nasional. http://www.antikorupsi.org/ 06/07/2006.

[59] UN Jangan Untuk Tentukan Kelulusan. Suara Pembaruan. 15/05/06.

[60] Dina Sasti, dkk. Menabur UN Menuai Gugatan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/ 03/nas06.html. 03/07/2006.

[61] Ditemukan 55 Item Pungli pada Ujian Nasional. http://www.vhrmedia.net/home/ index.php?id= view&aid=4446&lang=. 12/04/2007.

[62] Maria FK Namang. Neokolonisasi Pendidikan. http://jawabali.com/pendidikan/neokolonisasi-pendidikan-48/trackback. 06/12/2007.

[63] Ibid.

[64] A. Pozzolini. 2006. Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci. Yogyakarta: Resist Book.

[65] Ong Hok Ham. 2004. Refleksi Historis Nusantara: Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong. Cetakan Ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

[66] Siti Murtiningsih. 2006 . Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

[67] Wardiman Djojonegoro. 1996 . Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

[68] M.Sirozi.2007.Politik Pendidikan:Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan&Praktik Penyelenggaraan Pendidikan.Jakarta:Grafindo.

[69] Tinjau Ulang Ujian Nasional. http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=246271&kat_id=23. Republika. 02/05/2006.

[70] AW. Astin. 1993. Assessment for Exellence: The Philosophy and Practice of Assessment and Evaluation in Higher Education. USA: Oryx Press.

[71] Ujian Nasional dan Eksistensi Bangsa. http://mainview.org/ 06/05/2008.

[72] Budi Suwarna. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12/11/2007.

[73] R. Kaufman dan FW. English. 1979. Needs Assessment: Concept and Aplication. New Jersey: Educational Technology Publications.

[74] Doni Koesoema A. Penilaian Pendidikan. Kompas. 08/06/2006.

[75] Darmaningtyas. 2007. Pendidikan Rusak-Rusakan. Cetakan Kedua. Yogyakarta: LKis.

[76] Siti Murtiningsih. 2006 . Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

[77] Stern memadukan pendapat Locke dan Schopenhauer dengan teori konvergensinya, berabad-abad setelah dikemukakan oleh Al-Ghazali.

[78] Ahmad Bahruddin. 2007. Pendidikan Alternatif Qaryah Tayyibah. Yogyakarta: LKis.

[79] Di beberapa negara Eropa seperti Swedia dan Denmark, pasangan yang belum menikah dan suami yang memiliki istri dengan usia kandungan mencapai 3-5 bulan memiliki kewajiban untuk mengikuti training prenatal education yang telah diatur dalam kebijakan pemerintah.

[80] Ki Supriyoko. Ki Hajar Dewantara dan Konsepnya. http://www.pmptk.net/index.php?option=com_content&task=view&id=374&Itemid=310.

[81] UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 62.

No comments:

Post a Comment