Saturday, February 21, 2009

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

2. Filsafat telah melahirkan ilmu, sehingga wajar bila filsafat disebut sebagai induknya ilmu. Ilmu sendiri telah melahirkan yang dinamakan teknologi. Perkembangan teknologi telah mengalahkan ilmu, terlebih filsafat. Ramifikasi teknologi jauh lebih luas dibanding ramifikasi filsafat. Analisa posisi filsafat berada serta fungsinya dan kemana arah perkembangan teknologi harus dikawal, termasuk perkembangan teknologi yang digunakan para pendidik di lingkungan sekolah

Dalam mengkaji Filsafat Ilmu, dapat dipastikan akan terhubung dengan teknologi, maknanya ketika seorang-orang melakukan perenungan lebih mendalam, maka akan menemukan bahwa teknologi adalah anak kandung dari filsafat ilmu. Dengan ini merasa perlu mengangkat hakikat teknologi, karena masih banyak ditemui pemahaman yang masih karut marut. Terkait dengan hakikat teknologi, Urgensinya, karena keinginan mendekatkan teknologi dengan value-valuenya. Tetapi jika dicermati lebih mendalam maka dapat juga diketegorikan sebagai filsafat ilmu, karena dalam kaidah filsafat ilmu itu, pilar ketiganya adalah pencermatan terhadap nilai-nilai [value]—”Axiologi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika etika difungsikan untuk meneropong sebuah teknologi, mulai dari aplikasi dan dampak yang ditimbulkannya, maka kita telah masuk kubangan filsafat ilmu. Di sinilah teknologi sebagai anak kandung disentuhnya dengan ibunya, yakni filsafat ilmu, termasuk apa yang telah digunakan para pendidik disekolah yang menggunakan media teknologi.
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Teknologi bukanlah sekedar produk ilmu pengetahuan beserta temuan-temuannya yang berupa mesin, pesawat, reaktor, ataupun fasilitas fisik lainnya yang serba canggih, melainkan juga termasuk sistem organisasi, struktur sosial beserta kekuasaan yang terlintas padanya.Menurut Kunto Wibisono:
” Merupakan hasil penerapan secara sistematik ilmu pengetahuan, sebagai suatu himpunan rasionalistik empirik dari berbagai komponen pendukungnya, dengan maksud hendak mengusai atau mengendalikan gejala-gejala yang dihadapinya melalui proses produktif secara ekonomis ”. Karakter Teknologi:Ada beberapa karakter teknologi Pertama: teknologi pada hakikatnya adalah ”tangan” untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki ilmu, hal ini harus disadari oleh manusia. Teknologi dihasilkan dari penerapan ilmu yang sudah mengalami penelitian dan pengembangan lebih lanjut hingga manfaatnya menjadi jelas bagi kehidupan manusia.Kedua: teknologi bersifat dialektik, artinya teknologi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, akan tetapi pemecahan masalah tersebut menimbulkan permasalahan yang baru , dan permasalah yang baru ini harus dipecahkan dengan teknologi yang baru pula.
Ketiga, teknologi memerlukan energi yang sangat besar. Pada umumnya, di negara-negara industri maju, konsumsi energi perkapita sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang laju konsumsinya rendah.
Sejak abad Renaissance di Eropa bermula dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, maka sebenarnya disitulah babak baru pengetahuan dimulai. Babak baru pengetahuan itu ditandai dengan perkembangan pesat dunia teknologi yang diperoleh dari hasil riset para ilmuan-ilmuan barat dibidang teknologi. Pada kondisi demikian ini, teknologi berbalik mempengaruhi perubahan pula pada desain pengetahuan. Hal ini dikarenakan adanya satu teknologi menuntut adanya teknologi penyerta lain yang harus dijawab oleh ilmuwan-ilmuwan sciense. Sejak saat itu pulalah pola pikir manusia telah terkondisikan bak sebuah mesin (mekanik).
Jikalau ditelisik lebih jauh sebearnya kemapanan teknologi sebagai hal utama dalam kehidupan ini telah mempengruhi konsep pola pikir manusia dalam dimensi sosialnya, bahkan kini manusi tidak lagi bisa dilepaskan dengan teknologi. Hal ini dapat kita lihat pada konsep pengetahuan yang tercermin dalam paradigma Positivistik, adalah pengetahuan dikembangkan melalui mekanisme mesin yang direduksi dalam bagian-bagian ( komponen-komponennya) yang tersusun secara mekanik.
Dari uraian ini kita kita dapat melihat, bahwa betapa besarnya pengaruh teknologi dalam kehidupan social dan perkembangan pengetahuan, bahkan telah mengalihkan manusia dari paradigma holistika world view menjadi mekanika world view. Oleh karena itu diskusi tentang pengetahuan dalam arus teknologi ini tentu akan sangat menarik. Dalam pada itu makalah ini akan berupaya menyajikan pesinggungan pengetahuan dan teknologi, bahkan peralihannya dalam aras kekuasaan, namun sebelumnya akan kita lihat bagaimana pengetahuan bermula hingga hadirnya sebuah teknologi.
Filsafat teknologi adalah salah satu cabang filsafat khusus yang melakukan analisis filsafat tentang teknologi dan berbagai unsur serta seginya.
Menurut salah seorag tokoh pelopor filsafat teknologi Carl Mitcham [1980:305], persoalan-persoalan filsafat tentang teknologi ada dua jenis, sebagai berikut:
1. ”menyangkut soal-soal teoritis tentang sifat dasar teknologi, hubungannya dengan ilmu, struktur tindakan teknologi, intisari mesin, dan perbedaan mesin dengan manusia
2. ”bersifat praktis, menyangkut persolan-persoalan etis mengenai keterasingan dalam masyarakat industri, senjata nuklir, pencemaran dam parktik keinsinyuran yang profesional
Filsafat teknologi Menurut Mario Bunge
Filsafat teknologi dapat dipandang sebagai gabungan dari lima cabang filsafat yang masih merupakan kuncup bunga yang hampir mekr,--Mario Bunge [1979:72] menjelaskan:
1. technoepistemology
2. technometaphysic
3. technoaxiology
4. technoethics
5. technopraaxiology

Technoepistemology:
Adalah telaah filsafat tentang pengetahuan teknis. Persoalan yang dibebaskan, antara lain adalah membedakan pengetahuan teknologi dan pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah, atau metode teknologi yang sejajar dengan metode ilmiah serta aturan-aturannya

Technometaphysic:
Adalah telaah filsafat tentang sifat dasar sistem-sistem buatan dari mesin-mesin sederhana sampai sistem-sistem barnag manusiawiyang rumit. Persoalan yang dibahasnya antara lain adalah prasyarat-prasyarat ontologis dari teknologi atau kekhasan dari semua barang teknologi yang membedakannya dari benda-benda alamiah

Technoaxiologi:
Adalah telaah filsafat tentang penilaian yang dilakukan oleh para ahli teknologi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan teknologi mereka. Persoalan yang dibahasnya, antara lain adalah, nilai-nilai yang dipegang oleh para ahli teknologi kognitif, moral, ekonomi, sosial atau politis dan petunjuk-petunjuk niali nilai teknologi yang paling dapat dipercaya; Perbandingan kemanfaatan atau biaya, pemasaran kebutuhan sosial atau lainnya

Tecnoethics
Adalah cabang etika yang menyelidiki pokok-pokok pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dalam hubungannya dengan dampak sosial dari proyek-proyek teknologi yang berskala besar

Technopraxiologi
Adalah telaah filsafat tentang tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Persoalan yang dibahasnya, antara lain mengenai konsep tindakan rasional yang dapat diwujudkan secara pasti ata bagaimana seorang dapat ,erumuskan dalam istilah istilah umum, derajat efisiensi dari suatu sasaran terhadap suatu tujuan.

Filsafat menjadi landasan semua ilmu pegetahuan. Hal yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu. Berfilsafat adalah berfikir kritis dan mendasar. Filsafat mengkaji segala Sesuatu dari awal, bukan dari tengah. Sebagaimana kita belajar sebuah ilmu, tentunya ada pengantarnya.
Filsafat menegaskan otak adalah mahakarya Tuhan yang telah diberikan kepada setiap makhluknya. Nah, di Indonesia otak inilah yang jarang dilatih untuk berfikir secara teratur. Orang Indonesia, lebih suka berfikir yang sederhana saja. Sehingga jutaan otak menjadi raksasa tidur di negeri ini.
Filsafat jika diartikan secara sederhana adalah Rasa Ingin Tahu Yang Mendalam. Contohnya ketika melihat radio, maka di otak kita tidak hanya sekedar ingin tahu apa merek dan berapa harganya?, tapi pertanyaan yang muncul dari filsafat adalah, kenapa harus ada radio (Ontology), apa radio itu (Epistemology) dan Bagaimana cara kerjanya?, lalu bagaimana cara membuatnya? (Aksiology). Pertanyaan ini harus dijawab secara mendalam, bukan sekedar jawaban reaktif saja.
Hal diatas sangat bertolak belakang jika lihat realitas masyarakat Indonesia saat ini. Mayoritas kita ketika melihat sebuah barang baru seperti HP, Mobil, dan alat canggih lainnya selalu menanyakan, berapa harganya?. Pertanyaan ini adalah ciri khas Negara jajahan yang mempunyai penyakit akut yakni konsumerisme. Pertanyaan tersebut muncul dari alam bahwa sadar, dengan asumsi tidak memerlukan jawaban yang sulit. Namun jika pertanyaannya bagaimana cara membuatnya?, tentunya akan memerlukan jawaban yang sangat panjang serta memeras otak. Namun itulah yang diajarkan filsafat. Inilah sebab kenapa Ibnu sina , Thomas Alfa Edison, dikenang dunia. Ibnu Sina adalah seorang Filosof, namun ia juga seorang Dokter, Ahli Fiqh, Ahli ilmu perbintangan Semua disiplin ilmu ia pelajari dengan alasan untuk mensyukuri pemberian Tuhan, yaitu Otak. Kemajuan teknologi di Jepang,Inggris,Amerika, dll, pada hakikatnya dimulai dimulai dari kemajuan berfikir. Hal pertama yang diajarkan adala ketrampilan membuat pertanyaan dan keberanian berfikir. Itulah salah satu inti utama dari filsafat.
Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Seseorang yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis. Oleh karena bermain musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni. Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.
Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral (moral philosophy). Durant (1933) mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan infanteri. Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Imulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat
Jagat raya membuka diri untuk diselidiki oleh manusia. Bahkan melaluinya diharapkan manusia juga bisa memahami Sang Pencipta dengan segala kehendakNya secara lebih komprehensif. Kajian filsafat tidak terhingga, Maka menjadi kewajiban bagi kita untuk tidak melewatkan sedetikpun waktu tanpa pencarian akan ilmu pengetahuan. Penekanan-penakan seperti harus dibongkarkembali dalam mainstream berfikir kita semua. Jika Indonesia ingin merdeka seratus persen. Karena kemerdekaan secara ekonomi,politik,budaya, pada awalnya adalah karena kemerdekaan untuk berfikir yang dimulai dari rasa ingin tahu.
Sebagaimana kita ketahui manusia adalah mahluk yang ingin tahu bahkan terhadap hal-hal yang diluar jangkauan akalnya sekalipun. Manusia mahluk transenden yang tak pernah puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Bahkan leluhur manusia, Adam yang telah diberi pengetahuan langsung oleh Allah dan berpengetahuan lebih ketimbang mahluk lain masih saja ingin tahu rahasia buah kuldi. Rasa ingin tahu manusia tak pernah terpuaskan, ia terus bertanya dan bertanya. Pengetahuan itu sendiri adalah kehormatannya.
Ilmu apapun harus dipelajari, Maka Ilmu, menurut An-Nabhani, adalah pengetahuan (knowledge, ma?rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference). Contohnya adalah fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya. Adapun tsaq?fah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (al-ikhb?r), penyampaian transmisional (ar-talaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinb?th). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya (An-Nabhani, 1994: 262-263).
Maka, untuk menuju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, setidaknya bisa dimulai dengan pemberontakan keci-kecilan, dimulai dari cara berfikir kita.. Karena proses penciptaan pada hakikatnya lahir dari proses berfikir kreatif.














3. Perang Dunia I, II, Pemboman Hirosima dan Nagasaki Jepang oleh sekutu, perang Vietnam, Perang Iran-Irak, pemboman WTC, perang Uni Soviet di Afganistan, perang USA dan Irak, termasuk agresi Israel ke Palestina, secara teoritik ilmiah mempengaruhi paradigma keilmuan, dengan tuntutan meletakan nilai etik dalam teknologi.
Persoalan diatas dilihat dari sudut pandang moral-akhlak dan nilai etik serta implikasinya terhadap rumpun keilmuan.


Perang merupakan penggunaan kekerasan untuk memaksa musuh memenuhi kehendak kita. Demikianlah definisi perang Karl von Clausewitz (1780-1831). Teoretisi perang dari Prusia, yang juga dianggap sebagai filosof perang itu, berasumsi, tiap negara memiliki kedaulatan. Tidak ada otoritas apa pun di atas negara. Karena tiap negara menonjolkan kepentingan sendiri, bahkan jika diperlukan negara-negara lain juga boleh saja dikorbankan, maka potensi konflik tidak mampu dielakkan.
Peperangan menjadi keadaan normal dalam relasi di antara negara saat tidak ada otoritas lebih tinggi di atas negara. Perang, tegas Clausewitz, adalah politik dengan sarana lain. Yang dimaksud tak lain adalah penggunaan kekuatan bersenjata, senapan, tank, pesawat tempur, dan persenjataan militer. Kekerasan menjadi bahasa yang diunggulkan, dengan kematian dan korban terluka. Itulah bahasa peperangan yang memprioritaskan kekerasan. Benarkah saat ini tidak ada lagi otoritas lebih tinggi di atas negara? Ada, yaitu PBB. Hanya saja, saat seruan Dewan Keamanan PBB tidak lagi digubris oleh pihak-pihak yang bertikai, kekerasan berlanjut. Gejala itulah yang terjadi saat Israel tidak mau menarik pasukannya dari Jalur Gaza. Gencatan senjata permanen menjadi kesia-siaan. Terlebih lagi Israel dan Palestina menganggap tidak meraih keuntungan dengan resolusi yang dikeluarkan PBB itu.
Logika spesifik Perang memiliki aturan-aturan, seperti hanya boleh melumpuhkan tentara lawan dan tidak dibenarkan melukai dan membunuh penduduk sipil. Namun, saat perang mengandalkan kekerasan, korban yang pertama berjatuhan adalah perempuan, orang berusia lanjut, dan anak-anak. Banyak jiwa tak berdosa harus meringkuk dalam kekerasan yang disemburkan oleh peperangan. Ini karena kekerasan sulit dikendalikan. Kekerasan memiliki logika spesifik, hanya ingin melukai dan membunuh. Selebihnya, kekerasan hanya menjanjikan kerusakan masif. Dalam peperangan, kekerasan akan dibalas dengan kekerasan. Mengikuti pemikiran Helder Camara (1971), kekerasan melahirkan kekerasan berikut. Bagaimana kekerasan bermula? Ada sekelompok orang yang memiliki hak-hak istimewa yang dengan sikap egoistik menjadikan kelompok lain dalam keadaan tidak manusiawi. Kelompok yang diobyektivikasikan ini terkulai dalam penderitaan karena dikekang, dihina, dan diperlakukan tidak adil. Kelompok ini seolah menjalani kehidupan tanpa masa depan, tanpa harapan, dan situasi mereka seperti budak. Itulah kekerasan nomor satu yang memancing kekerasan nomor dua. Mereka yang merasa tertindas dan dilecehkan, terutama kaum muda, tergugah untuk berperang.
Mata hati dan kesadaran mereka terbuka bahwa situasi yang mereka jalani benar-benar tidak berperikemanusiaan. Kekerasan itu bertujuan menggapai keadilan dan mewujudkan dunia yang lebih manusiawi. Tetapi, pihak yang merasa lebih berdaulat dan memiliki hak-hak istimewa itu melihat kekerasan sebagai elemen subversif, agitator, dan teroris. Cara-cara yang ditempuh pihak yang merasa lebih berdaulat dan mempunyai keistimewaan untuk memberangus mereka adalah dengan penggunaan kekuatan militeristik. Itulah yang dinamakan kekerasan nomor tiga yang dikehendaki untuk menjaga dan menanamkan ketertiban umum atau keamanan nasional. Kekerasan nomor tiga akan dibalas kekerasan berikut. Kekerasan yang berbalas kekerasan niscaya mengalami eskalasi sehingga dunia terjatuh dalam spiral kekerasan. Keadaan struktural Mengapa spiral kekerasan sulit dilenyapkan? Kekerasan, ungkap Johan Galtung, adalah kebutuhan-kebutuhan fundamental manusia. Akan tetapi, kebutuhan yang merusak ini sebenarnya dapat dihindarkan. Jebakan paling utama dari hadirnya kekerasan yang memicu kekerasan berikut adalah kekerasan langsung.
Realitas ini mudah diidentifikasi dengan jatuhnya korban-korban yang terluka atau meninggal. Kekerasan tampak nyata. Sanak kerabat yang teraniaya tanpa daya dan terenggut jiwanya di bawah mesin perang yang membunuh merupakan bukti nyata. Kondisi seperti itu tidak menimbulkan rasa takut, tetapi upaya untuk menjalankan kekerasan balasan pasti digulirkan. Itulah yang disebut kekerasan akibat keadaan struktural. Kehidupan yang diwarnai struktur sosial tidak adil dan serba menindas merupakan lahan paling baik tumbuhnya kekerasan. Hal itu diperluas dengan keberadaan kekerasan yang bersifat kultural, yakni nilai budaya yang digunakan untuk membenarkan dan mengesahkan penggunaan kekerasan langsung atau struktural. Wujud kekerasan kultural ini adalah bendera kebangsaan, pidato pemimpin, beragam poster yang membangkitkan dorongan menjalankan kekerasan.
Perang Israel-Palestina adalah wujud nyata perpaduan kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Selama peperangan di wilayah itu tidak segera dihentikan, perwujudan kedamaian dan keadilan masih sebatas angan- angan, maka niscaya spiral kekerasan akan terus memanjang.
Kubangan bencana meluas, seperti berita kita sedih di hari silam. Jauh di sana, begitu banyak manusia kawan mengabarkan keresahan. Sekitar kita dikelilingi takut, mungkin salah satunya adalah ketakutan yang tak beralasan sebab ketidaktahuan, karena amanat untuk membaca tanda zaman belumlah kita kerjakan. Kita hanya menera waspada, kata yang hilang arti dari kita memang yang sengaja membuat keadaan jadi tidak siap dan datang tiba-tiba, lalu memangsa hidup. Kata berita yang dikirim seorang kawan, tentang perseteruan.
Dendam perang yang belum mau berhenti. “Damai belum tercipta di Gaza, meskipun korban sudah jamak bergelimpangan. Hingga beberapa ketika berselang, konflik Israel-Hamas telah menewaskan banyak manusia”. Kisah di ranah yang sama “Saat Palestina digempur siang malam tentara Israel, para anggota parlemen Liga Arab yang tengah berdiskusi di Kairo untuk membahas serangan Israel ke Gaza malah saling tuding dan memojokan. Walau sudah ada juga usulan gencatan senjata.
Jangan lagi tersesat arah. Karena pertikaian yang jauh di sana rupanya punya pengaruh di tanah kita. Di tengah merebaknya konservatisme agama saat ini, banyak orang lupa bahwa Indonesia bukan milik golongan tertentu, bukan pula monopoli sekte agama tertentu. Ruzbihan Hamazani, seorang penulis, tentang soal yang menderas dewasa ini, ia menuliskan “Kebebasan Keyakinan”. Dengan prihatin ia menyeru, “Indonesia adalah milik semua golongan dan kelompok yang hidup di negeri ini. Negara Indonesia tidak memihak salah satu keyakinan, mazhab, atau tafsir tertentu terhadap suatu agama. Dengan kata lain, menghadapi keragaman keyakinan dalam masyarakat, negara harus netral. Perbedaan penafsiran dalam agama adalah hal biasa.” Ini boleh jadi “kompas” bagi kita untuk menentukan arah pemikiran dan pandangan terhadap apa yang sementara bergejolak di bumi kita ini. Tahulah kita bahwa perang dan bencana hanya menambah kesengsaraan umat manusia.
Kehendak untuk berbalik pada hari yang sudah lalu. Damai yang didamba banyak penghuni bumi. Kembali pada peristiwa lampau, menarik garis penghubung di titik-titik pergulatan hari. Di sini kita akan bicara lebih banyak tentang diri kita sendiri. Tentang bangsa kita yang juga punya begitu banyak persoalan. Cuma sebentuk tanda yang merekam keberingasan. Dendam, pertikaian, merah marah meradang, asap pembakaran, segumpal pesan terceraiberai, urai kisah di sisa perang terkatup palang-palang menumpuk masa lalu sejarah pembungkaman. Sejarah ngeri negeri sedih yang compang-camping kini dan terus mengembara mengumumkan mimpi-mimpi kayanya, dihasut sejuta kata sosialisasi integrasi yang sudah basi. Mungkin ada catatan lain yang berbeda, saat kita berada langsung di arena itu. Sehingga kita tidak hanya bersandar di angan-angan. Kondisi yang sudah menguatkan berbagai ramalan itu menjadi kegelisahan yang tak berkesudahan. Seperti ketika yang berlalu dalam masa yang menderas mengiring kepergian sang waktu, ketika, atau kesempatan dan mereka yang tertinggal di batas. Kita masih menggulirkan ramalan untuk esok yang misteri. Apalagi hutang yang belum lunas dalam kekecewaan, arah yang berganti tanpa mampu kita intervensi. Sadarlah situasi, yang mana kejadian selalu diawali gejala. Yang ini sudah pasti mampu kita jelaskan secara lebih spesifik dalam data dan fakta. Inilah yang harus disadari kini. Belum ada jawaban dari liputan yang teramat singkat dan hanya mengusung beberapa asumsi dari desas-desus. Suara rakyat seakan terpalang banyak kepentingan, dan kondisi real yang berlaku di tataran rakyat hanya semata batas pandang mata telanjang. Kita punya banyak alasan untuk menambah kata bagi batas waktu yang kasib, supaya halaman berita jadi lebih banyak huruf yang bercerita tentang penatnya mata membaca yang itu-itu saja.
Kabar kemarin pagi tentang peran dan mereka yang terekam segumpal pesan yang sudah menyebar sebagai keranda mati demokrasi. Sebab kata masih mendesakkan banyak keberingasan dan takut yang sudah didahului fakta-fakta usang dan kadaluarsa, bahwa pembiaran negara semakin menyengsarakan unsur-unsur yang membikin negara itu dapat disebut sebagai negara. Di sana rakyat berdiri sebagai saksi dan korban yang terus bergelimpang didera ketidakadilan. Mereka dibikin resah sistem, issue yang terus menderas dan mengerat tiang-tiang penyangga negara. Menggejala sebuah permainan lama, asumsi yang dikira investigasi, reportase batas pernyataan dan menjadi mewah bagai cerita bersambung yang tak kunjung usai. Di depan layar kaca banyak yang jadi lupa, bahwa realita kita sementara digeser ilusi untuk menjadi pemenang dan unggul dalam segala hal. Bahwa banyak yang bernostalgia dengan kenangan menang tanpa usaha keras dan strategi yang mantap. Ada gambaran saat tatap menghalusinasi, mencipta tujuan tanpa jalan. Ada juga halusinasi yang menggerayangi, lalu terinspirasi untuk membuktikan dalam kerja keras dan terus berusaha tanpa henti. Tak semata lupa rupanya, ada manfaat di sana bila diramu dengan benar. Kita telah memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang apa yang telah dicapai sebelumnya dengan jalan damai. Perang dan bencana belum usai, namun damai harus terus kita teriakkan dan harus kita implementasikan. Inilah supaya kita semua boleh memutuskan rantai kesengsaraan yang sudah berkarat di hati kita.
Tentunya, bangsa-bangsa yang mempunyai komitmen terhadap moralitas dan kemanusiaan, keamanan, ketertiban, dan perdamaian dunia tidak menghendaki kekerasan dan peperangan. Hal demikian hanya dilakukan teroris. Negara-negara itu harus membangun aliansi internasional untuk memerangi kekerasan, yang bukan hanya slogan semata, sebagaimana topeng serangan globalnya AS.
Melalui aliansi internasional, negara-negara pencinta damai harus membangun beberapa prinsip hubungan antarnegara. Pertama, semua negara yang menjunjung tinggi moralitas dan kemanusiaan harus berani menyeru, bahwa segala bentuk kekerasan, siapapun pelakunya tidak dapat dibenarkan. Pelaku kekerasan hanya teroris, yang harus dilenyapkan. Segala bentuk ajakan kekerasan dengan ancaman dan propagandanya harus ditentang.
Negara-negara juga harus membangun visi bersama, bahwa setiap masalah antarnegara hendaknya dibahas dan diselesaikan melalui jalur diplomatik. Kekerasan perang harus dihindarkan. Dunia internasional harus berani memberikan sanksi kepada siapa pun yang bersalah, bukan yang lemah yang selalu kalah. Termasuk pelaku kekerasan, dan pelaku intervensi, yang selalu ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Dunia harus berani menyeru tindakan intervensi adalah kebijakan berbau kejahatan moral yang tidak berperikemanusiaan.
Perang apapaun namanya pastilah akan membawa korban baik bagi pelaku utamanya yaitu serdadu atau tentara dan juga warga sipil. Warga sipil ini bisa keluarga dari sedadu atau tentara itu sendiri juga bisa masyarakat yang berada di area konflik Sedangkan mereka yang berada diluar konflik hanya bisa menyaksikan kelu pilu para korban dan keluarganya melalui pemberitaan.
Itulah perang, bencana yang dibuat oleh ulah manusia terhadap manusia seterunya untuk mengapai cita-cita atau rencana yang ada di otak dari para pimpinanya. Perang memang kejam apalagi bila dibumbui dengan sentimen atas nama iman atau keperca yaan. Apapun dihalakan termasuk mengkorbankan warga sipil yang tidak tahu mena hu ambisi dari para pimpinanya kecuali sebagai objek penderita.
Sebagai warga haruslah tidak membiarkan kehidupannya dipertaruhkan demi ambisi dari para pimpinanya. Jika ambisi itu untuk mensejahterakan dan membuat hidup lebih baik dari sebelumnya haruslah didukung. Tetapi jika sebaliknya maka pimpinan tersebut harus disingkirkan dan bila perlu dalam situasi chaos hanya ada satu cara yaitu dikirim ke liang lahat secepatnya. Hal ini lebih baik dibandingkan akan terjadinya korban lebih banyak di belakang hari. Relasi pemimpin dan yang dipimpin di zaman sekarang bukanlah seperti zaman dulu. Dengan dikait-kaitkan seperti mendapat wahyu dari langit ataupun manusia pilihan dan semacamnya.
Sebagaimana yang telah kita saksikan, perang adalah perantara kekejaman yang besar yang tidak bermanfaat bagi pribadi atau pun masyarakat.Perang adalah malapetaka sosial yang menimbulkan kepedihan besar dan menorehkan luka yang dalam kepada manusia, yang akan perlu waktu lama, jika dapat disembuhkan. Allah, di lain pihak, telah memerintahkan manusia untuk menghindari perang dan mengutamakan perdamaian. Allah memberi kabar gembira untuk orang yang melakukan amal saleh:
Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash: 83)
Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS Shaad: 28)
Konflik antar sesama warga bangsa yang disebabkan oleh kepentingan pribadi semakin mengedepan, daripada kesadaran sebagai satu bangsa. Bahkan di kalangan elit sendiri, rasa kebangsaan tersebut sudah semakin luntur. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan bangsa secara bersama. Untuk membangun kesadaran berbangsa dalam era global ini tidak cukup hanya dengan kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, tetapi dibutuhkan suatu prestasi yang membanggakan seluruh warga bangsa, serta kepribadian yang menjujung nilai-nilai universal.
Persaingan dan perseteruan kekuasan (power) telah kehilangan dasar-dasar moral dan akhlak, sehingga dalam kehidupan politik muncul etika materialisme dan vulger yaitu menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (kemenangan)
Yang menjadi akar permasalahan paling mendasar adalah, komunitas yang selama ini dinilai memiliki potensi untuk menjadi solusi tersebut, justru mendapat porsi paling besar terjangkit krisis. Alih-alih untuk menjadi solver, permasalah yang ada ditubuh kamunitas inipun begitu akut, karena cukup menyita perhatian publik; degradasi moral, budaya, akhlak, dan krisis keprecayaan adalah beberapa persoalan yang melilit intelektual saat ini, tentu saja hal tersebut memerlukan perhatian intens yang cukup serius dari berbagai eleman yang ada.
Realitas yang tampak seperti sekarang ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang melatar belakangi hilangnya karakteristik murni, hal ini merupakan antitesa perjalanan sejarah panjang peradaban manusia yang berangkat dari renaisance, sekulerisasi, globalisasi dan kapitalisme global yang tentu saja tidak nihil dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Dekadensi moral, budaya dan ideologi yang terjadi dibelantika dunia saat ini pun tidak terlepas dari proses sekulerisasi yang merambah ke penjuru negeri. Sekulerisasi dengan berbagai pilar yang diperdagangkan mampuh merubah dunia menjadi nihil dan absurd dari nilai-nilai luhur yang menajdi identitas suatu bangsa khususnya Islam dan dunia ketimuran.
J ika sekulerisasi ini dipaksakan menjadi pandangan hidup, rusaknya tatanan kehidupan, keberagamaan, etika, moral dan budaya menjadi menjadi sebuah kemungkinan yang sulit dihindarkan. Perubahan inilah yang disebut oleh Marx sebagai prose “evolusioner”, imbasnya segala sesuatu dapat berubah dan tidak ada nilai yang mapan karena, terus mengupayakan penyelarasan dan konseptualisasi dengan kebutuhan yang berkembang.
Sebagai salah satu instrumen sekulerisasi, globalisasi ternyata cukup laris diberbagai belahan dunia, karena ada semacam ketakutan, ketinggalan, terbelakang dan tidak berperadaban jika tidak mengikuti budaya yang sedang ngetrend ini. Dengan jargon ICTnya globalisasi telah mampu medobrak bangsa yang ramah, santun dan religius manjadi buas, ganas dan amoral. Bukan hanya segelintir orang saja yang terjangkit krisis ini, anak-anak, pemuada, orang tua, laki-laki, perempuan, dari tingkat paling bawah hingga para elitis. Yang lebih ironis adalah kaum terpelajar sebagai komunitas intelegensia justru mendapat porsi paling besar dalam perubahan yang dinilai negatif ini.
Bukan hanya ekonomi, informasi, komunikasi dan teknologi yang menjadi sasaran empuk globalisasi namun, etika regional serta idiologi yang selama ini dinilai memiliki ruang privasi menjadi bidikan yang urgen untuk dipertaruhkan. Hal ini dinilai cukup membawa perubahan yang sangat signipikan terhadap pola pikir juga pandangan hidup (world view) yang tadinya tertutup menjadi terbuka yang statis menjadi dinamis. Pergeseran nilai norma budaya sangat terasa dan tak terelakan lagi, dengan terbukanya cakrawala dunia yang menembus ruang dan waktu, perang budaya dan ideologi (ghazwu al-fikri) yang menyababkan dekadensi moral menjadi keniscayaan tersendiri
Kelahiran filsafat positivisme yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (morality as being in flux) (Lickona, 1994).
Akibatnya, seperti dikutip dari Lickona, bangsa Amerika terutama generasi mudanya mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika individual karena sekolah-sekolah tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang moral. Ia menyatakan sebagai berikut:
“contemporary western society, and especially American society, suffers from inadequate training in individual ethics. Personal honesty and integrity, appreciation of the interest of others, non-violence and abiding by the law are examples of values insufficiently taught at the present time…The schools and churches are well situated to teach individual ethical responsibility, but do not do so”
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia untuk mempertanyakan tentang kehidupan termasuk nilai dan moral. Dampaknya adalah manusia mulai merasionalisasikan segala sesuatu termasuk nilai dan moral, sehingga sistem pendidikan Amerika yang semula memperhatikan nilai-nilai tradisional pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam setiap permasalahan kehidupan. Kilpatrick (1992) menyebutkan bahwa pendekatan moral reasoning telah mengakibatkan ketidakmampuan manusia untuk membedakan baik dan benar karena setiap orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang baik dan benar.
Pendidikan moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Untuk mencapai masyarakat yang harmoni, teratur, tertib dan aman, sebagai suatu masyarakat yang diidam-idamkan setiap bangsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian sejak jaman sebelum masehi para filosof dan pemikir telah membuat suatu tanda dan prasyarat tentang bagaimana suatu bangsa selayaknya diatur oleh negara guna mencapai masyarakat dan bangsa yang kuat, secara fisik dan moralnya demi mencapai kesejahteraan bangsa.
Demoralisasi berkaitan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan ego dan kontrol diri. Kebebasan ekspresi, kemerdekaan individu dan kelahiran paham possitivism menyebabkan manusia senantiasa mempertanyakan kebenaran dari perbuatan baik (the virtues, the goodness and the golden rule). Padahal para filsuf pendidikan seperti Horace Mann dan John Dewey telah meyakini perlunya kebajikan (virtues) dalam mendidik manusia selain pengetahuan (knowledge). Kehancuran dunia dan lemahnya standar moral dalam masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab utama kejadian demoralisasi. Oleh karena itu dalam pembentukan manusia berkualitas pendidikan karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good), menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan (acting the good) kebajikan. Metode pendidikan melalui otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Islam dalam hal ini banyak mengajarkan etika, moral dan perilaku serta, sebagai agama yang menjungjung tinggi nilai egaliterian diantara manusia, tidak ada hegemoni maupun monopoli dalam hak dan kewajiaban. Semua manusia sama dihadapan sang pencipta hanya nilai takwa saja yang menjadi pembeda. Sebagai agama universal, tidak ada cacat dalam syari’at, anjuran hidup seimbang (balance) antara pemenuhan kebutuhan rohani dan jasadi telah dicontohkan oleh figur sempurna (Rasulullah). Tidak melulu ibadah dengan mengesampingkan dunia, apalagi sebaliknya, sibuk mengurusi dunia dengan melupakan akhirat yang prioritas.
Wallahu ‘Alam bissawab

Asep Rachmat Effendi

1 comment: