Saturday, February 21, 2009

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

2. Filsafat telah melahirkan ilmu, sehingga wajar bila filsafat disebut sebagai induknya ilmu. Ilmu sendiri telah melahirkan yang dinamakan teknologi. Perkembangan teknologi telah mengalahkan ilmu, terlebih filsafat. Ramifikasi teknologi jauh lebih luas dibanding ramifikasi filsafat. Analisa posisi filsafat berada serta fungsinya dan kemana arah perkembangan teknologi harus dikawal, termasuk perkembangan teknologi yang digunakan para pendidik di lingkungan sekolah

Dalam mengkaji Filsafat Ilmu, dapat dipastikan akan terhubung dengan teknologi, maknanya ketika seorang-orang melakukan perenungan lebih mendalam, maka akan menemukan bahwa teknologi adalah anak kandung dari filsafat ilmu. Dengan ini merasa perlu mengangkat hakikat teknologi, karena masih banyak ditemui pemahaman yang masih karut marut. Terkait dengan hakikat teknologi, Urgensinya, karena keinginan mendekatkan teknologi dengan value-valuenya. Tetapi jika dicermati lebih mendalam maka dapat juga diketegorikan sebagai filsafat ilmu, karena dalam kaidah filsafat ilmu itu, pilar ketiganya adalah pencermatan terhadap nilai-nilai [value]—”Axiologi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika etika difungsikan untuk meneropong sebuah teknologi, mulai dari aplikasi dan dampak yang ditimbulkannya, maka kita telah masuk kubangan filsafat ilmu. Di sinilah teknologi sebagai anak kandung disentuhnya dengan ibunya, yakni filsafat ilmu, termasuk apa yang telah digunakan para pendidik disekolah yang menggunakan media teknologi.
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Teknologi bukanlah sekedar produk ilmu pengetahuan beserta temuan-temuannya yang berupa mesin, pesawat, reaktor, ataupun fasilitas fisik lainnya yang serba canggih, melainkan juga termasuk sistem organisasi, struktur sosial beserta kekuasaan yang terlintas padanya.Menurut Kunto Wibisono:
” Merupakan hasil penerapan secara sistematik ilmu pengetahuan, sebagai suatu himpunan rasionalistik empirik dari berbagai komponen pendukungnya, dengan maksud hendak mengusai atau mengendalikan gejala-gejala yang dihadapinya melalui proses produktif secara ekonomis ”. Karakter Teknologi:Ada beberapa karakter teknologi Pertama: teknologi pada hakikatnya adalah ”tangan” untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki ilmu, hal ini harus disadari oleh manusia. Teknologi dihasilkan dari penerapan ilmu yang sudah mengalami penelitian dan pengembangan lebih lanjut hingga manfaatnya menjadi jelas bagi kehidupan manusia.Kedua: teknologi bersifat dialektik, artinya teknologi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, akan tetapi pemecahan masalah tersebut menimbulkan permasalahan yang baru , dan permasalah yang baru ini harus dipecahkan dengan teknologi yang baru pula.
Ketiga, teknologi memerlukan energi yang sangat besar. Pada umumnya, di negara-negara industri maju, konsumsi energi perkapita sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang laju konsumsinya rendah.
Sejak abad Renaissance di Eropa bermula dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, maka sebenarnya disitulah babak baru pengetahuan dimulai. Babak baru pengetahuan itu ditandai dengan perkembangan pesat dunia teknologi yang diperoleh dari hasil riset para ilmuan-ilmuan barat dibidang teknologi. Pada kondisi demikian ini, teknologi berbalik mempengaruhi perubahan pula pada desain pengetahuan. Hal ini dikarenakan adanya satu teknologi menuntut adanya teknologi penyerta lain yang harus dijawab oleh ilmuwan-ilmuwan sciense. Sejak saat itu pulalah pola pikir manusia telah terkondisikan bak sebuah mesin (mekanik).
Jikalau ditelisik lebih jauh sebearnya kemapanan teknologi sebagai hal utama dalam kehidupan ini telah mempengruhi konsep pola pikir manusia dalam dimensi sosialnya, bahkan kini manusi tidak lagi bisa dilepaskan dengan teknologi. Hal ini dapat kita lihat pada konsep pengetahuan yang tercermin dalam paradigma Positivistik, adalah pengetahuan dikembangkan melalui mekanisme mesin yang direduksi dalam bagian-bagian ( komponen-komponennya) yang tersusun secara mekanik.
Dari uraian ini kita kita dapat melihat, bahwa betapa besarnya pengaruh teknologi dalam kehidupan social dan perkembangan pengetahuan, bahkan telah mengalihkan manusia dari paradigma holistika world view menjadi mekanika world view. Oleh karena itu diskusi tentang pengetahuan dalam arus teknologi ini tentu akan sangat menarik. Dalam pada itu makalah ini akan berupaya menyajikan pesinggungan pengetahuan dan teknologi, bahkan peralihannya dalam aras kekuasaan, namun sebelumnya akan kita lihat bagaimana pengetahuan bermula hingga hadirnya sebuah teknologi.
Filsafat teknologi adalah salah satu cabang filsafat khusus yang melakukan analisis filsafat tentang teknologi dan berbagai unsur serta seginya.
Menurut salah seorag tokoh pelopor filsafat teknologi Carl Mitcham [1980:305], persoalan-persoalan filsafat tentang teknologi ada dua jenis, sebagai berikut:
1. ”menyangkut soal-soal teoritis tentang sifat dasar teknologi, hubungannya dengan ilmu, struktur tindakan teknologi, intisari mesin, dan perbedaan mesin dengan manusia
2. ”bersifat praktis, menyangkut persolan-persoalan etis mengenai keterasingan dalam masyarakat industri, senjata nuklir, pencemaran dam parktik keinsinyuran yang profesional
Filsafat teknologi Menurut Mario Bunge
Filsafat teknologi dapat dipandang sebagai gabungan dari lima cabang filsafat yang masih merupakan kuncup bunga yang hampir mekr,--Mario Bunge [1979:72] menjelaskan:
1. technoepistemology
2. technometaphysic
3. technoaxiology
4. technoethics
5. technopraaxiology

Technoepistemology:
Adalah telaah filsafat tentang pengetahuan teknis. Persoalan yang dibebaskan, antara lain adalah membedakan pengetahuan teknologi dan pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah, atau metode teknologi yang sejajar dengan metode ilmiah serta aturan-aturannya

Technometaphysic:
Adalah telaah filsafat tentang sifat dasar sistem-sistem buatan dari mesin-mesin sederhana sampai sistem-sistem barnag manusiawiyang rumit. Persoalan yang dibahasnya antara lain adalah prasyarat-prasyarat ontologis dari teknologi atau kekhasan dari semua barang teknologi yang membedakannya dari benda-benda alamiah

Technoaxiologi:
Adalah telaah filsafat tentang penilaian yang dilakukan oleh para ahli teknologi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan teknologi mereka. Persoalan yang dibahasnya, antara lain adalah, nilai-nilai yang dipegang oleh para ahli teknologi kognitif, moral, ekonomi, sosial atau politis dan petunjuk-petunjuk niali nilai teknologi yang paling dapat dipercaya; Perbandingan kemanfaatan atau biaya, pemasaran kebutuhan sosial atau lainnya

Tecnoethics
Adalah cabang etika yang menyelidiki pokok-pokok pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dalam hubungannya dengan dampak sosial dari proyek-proyek teknologi yang berskala besar

Technopraxiologi
Adalah telaah filsafat tentang tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Persoalan yang dibahasnya, antara lain mengenai konsep tindakan rasional yang dapat diwujudkan secara pasti ata bagaimana seorang dapat ,erumuskan dalam istilah istilah umum, derajat efisiensi dari suatu sasaran terhadap suatu tujuan.

Filsafat menjadi landasan semua ilmu pegetahuan. Hal yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu. Berfilsafat adalah berfikir kritis dan mendasar. Filsafat mengkaji segala Sesuatu dari awal, bukan dari tengah. Sebagaimana kita belajar sebuah ilmu, tentunya ada pengantarnya.
Filsafat menegaskan otak adalah mahakarya Tuhan yang telah diberikan kepada setiap makhluknya. Nah, di Indonesia otak inilah yang jarang dilatih untuk berfikir secara teratur. Orang Indonesia, lebih suka berfikir yang sederhana saja. Sehingga jutaan otak menjadi raksasa tidur di negeri ini.
Filsafat jika diartikan secara sederhana adalah Rasa Ingin Tahu Yang Mendalam. Contohnya ketika melihat radio, maka di otak kita tidak hanya sekedar ingin tahu apa merek dan berapa harganya?, tapi pertanyaan yang muncul dari filsafat adalah, kenapa harus ada radio (Ontology), apa radio itu (Epistemology) dan Bagaimana cara kerjanya?, lalu bagaimana cara membuatnya? (Aksiology). Pertanyaan ini harus dijawab secara mendalam, bukan sekedar jawaban reaktif saja.
Hal diatas sangat bertolak belakang jika lihat realitas masyarakat Indonesia saat ini. Mayoritas kita ketika melihat sebuah barang baru seperti HP, Mobil, dan alat canggih lainnya selalu menanyakan, berapa harganya?. Pertanyaan ini adalah ciri khas Negara jajahan yang mempunyai penyakit akut yakni konsumerisme. Pertanyaan tersebut muncul dari alam bahwa sadar, dengan asumsi tidak memerlukan jawaban yang sulit. Namun jika pertanyaannya bagaimana cara membuatnya?, tentunya akan memerlukan jawaban yang sangat panjang serta memeras otak. Namun itulah yang diajarkan filsafat. Inilah sebab kenapa Ibnu sina , Thomas Alfa Edison, dikenang dunia. Ibnu Sina adalah seorang Filosof, namun ia juga seorang Dokter, Ahli Fiqh, Ahli ilmu perbintangan Semua disiplin ilmu ia pelajari dengan alasan untuk mensyukuri pemberian Tuhan, yaitu Otak. Kemajuan teknologi di Jepang,Inggris,Amerika, dll, pada hakikatnya dimulai dimulai dari kemajuan berfikir. Hal pertama yang diajarkan adala ketrampilan membuat pertanyaan dan keberanian berfikir. Itulah salah satu inti utama dari filsafat.
Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Seseorang yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis. Oleh karena bermain musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni. Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.
Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral (moral philosophy). Durant (1933) mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan infanteri. Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Imulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat
Jagat raya membuka diri untuk diselidiki oleh manusia. Bahkan melaluinya diharapkan manusia juga bisa memahami Sang Pencipta dengan segala kehendakNya secara lebih komprehensif. Kajian filsafat tidak terhingga, Maka menjadi kewajiban bagi kita untuk tidak melewatkan sedetikpun waktu tanpa pencarian akan ilmu pengetahuan. Penekanan-penakan seperti harus dibongkarkembali dalam mainstream berfikir kita semua. Jika Indonesia ingin merdeka seratus persen. Karena kemerdekaan secara ekonomi,politik,budaya, pada awalnya adalah karena kemerdekaan untuk berfikir yang dimulai dari rasa ingin tahu.
Sebagaimana kita ketahui manusia adalah mahluk yang ingin tahu bahkan terhadap hal-hal yang diluar jangkauan akalnya sekalipun. Manusia mahluk transenden yang tak pernah puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Bahkan leluhur manusia, Adam yang telah diberi pengetahuan langsung oleh Allah dan berpengetahuan lebih ketimbang mahluk lain masih saja ingin tahu rahasia buah kuldi. Rasa ingin tahu manusia tak pernah terpuaskan, ia terus bertanya dan bertanya. Pengetahuan itu sendiri adalah kehormatannya.
Ilmu apapun harus dipelajari, Maka Ilmu, menurut An-Nabhani, adalah pengetahuan (knowledge, ma?rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference). Contohnya adalah fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya. Adapun tsaq?fah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (al-ikhb?r), penyampaian transmisional (ar-talaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinb?th). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya (An-Nabhani, 1994: 262-263).
Maka, untuk menuju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, setidaknya bisa dimulai dengan pemberontakan keci-kecilan, dimulai dari cara berfikir kita.. Karena proses penciptaan pada hakikatnya lahir dari proses berfikir kreatif.














3. Perang Dunia I, II, Pemboman Hirosima dan Nagasaki Jepang oleh sekutu, perang Vietnam, Perang Iran-Irak, pemboman WTC, perang Uni Soviet di Afganistan, perang USA dan Irak, termasuk agresi Israel ke Palestina, secara teoritik ilmiah mempengaruhi paradigma keilmuan, dengan tuntutan meletakan nilai etik dalam teknologi.
Persoalan diatas dilihat dari sudut pandang moral-akhlak dan nilai etik serta implikasinya terhadap rumpun keilmuan.


Perang merupakan penggunaan kekerasan untuk memaksa musuh memenuhi kehendak kita. Demikianlah definisi perang Karl von Clausewitz (1780-1831). Teoretisi perang dari Prusia, yang juga dianggap sebagai filosof perang itu, berasumsi, tiap negara memiliki kedaulatan. Tidak ada otoritas apa pun di atas negara. Karena tiap negara menonjolkan kepentingan sendiri, bahkan jika diperlukan negara-negara lain juga boleh saja dikorbankan, maka potensi konflik tidak mampu dielakkan.
Peperangan menjadi keadaan normal dalam relasi di antara negara saat tidak ada otoritas lebih tinggi di atas negara. Perang, tegas Clausewitz, adalah politik dengan sarana lain. Yang dimaksud tak lain adalah penggunaan kekuatan bersenjata, senapan, tank, pesawat tempur, dan persenjataan militer. Kekerasan menjadi bahasa yang diunggulkan, dengan kematian dan korban terluka. Itulah bahasa peperangan yang memprioritaskan kekerasan. Benarkah saat ini tidak ada lagi otoritas lebih tinggi di atas negara? Ada, yaitu PBB. Hanya saja, saat seruan Dewan Keamanan PBB tidak lagi digubris oleh pihak-pihak yang bertikai, kekerasan berlanjut. Gejala itulah yang terjadi saat Israel tidak mau menarik pasukannya dari Jalur Gaza. Gencatan senjata permanen menjadi kesia-siaan. Terlebih lagi Israel dan Palestina menganggap tidak meraih keuntungan dengan resolusi yang dikeluarkan PBB itu.
Logika spesifik Perang memiliki aturan-aturan, seperti hanya boleh melumpuhkan tentara lawan dan tidak dibenarkan melukai dan membunuh penduduk sipil. Namun, saat perang mengandalkan kekerasan, korban yang pertama berjatuhan adalah perempuan, orang berusia lanjut, dan anak-anak. Banyak jiwa tak berdosa harus meringkuk dalam kekerasan yang disemburkan oleh peperangan. Ini karena kekerasan sulit dikendalikan. Kekerasan memiliki logika spesifik, hanya ingin melukai dan membunuh. Selebihnya, kekerasan hanya menjanjikan kerusakan masif. Dalam peperangan, kekerasan akan dibalas dengan kekerasan. Mengikuti pemikiran Helder Camara (1971), kekerasan melahirkan kekerasan berikut. Bagaimana kekerasan bermula? Ada sekelompok orang yang memiliki hak-hak istimewa yang dengan sikap egoistik menjadikan kelompok lain dalam keadaan tidak manusiawi. Kelompok yang diobyektivikasikan ini terkulai dalam penderitaan karena dikekang, dihina, dan diperlakukan tidak adil. Kelompok ini seolah menjalani kehidupan tanpa masa depan, tanpa harapan, dan situasi mereka seperti budak. Itulah kekerasan nomor satu yang memancing kekerasan nomor dua. Mereka yang merasa tertindas dan dilecehkan, terutama kaum muda, tergugah untuk berperang.
Mata hati dan kesadaran mereka terbuka bahwa situasi yang mereka jalani benar-benar tidak berperikemanusiaan. Kekerasan itu bertujuan menggapai keadilan dan mewujudkan dunia yang lebih manusiawi. Tetapi, pihak yang merasa lebih berdaulat dan memiliki hak-hak istimewa itu melihat kekerasan sebagai elemen subversif, agitator, dan teroris. Cara-cara yang ditempuh pihak yang merasa lebih berdaulat dan mempunyai keistimewaan untuk memberangus mereka adalah dengan penggunaan kekuatan militeristik. Itulah yang dinamakan kekerasan nomor tiga yang dikehendaki untuk menjaga dan menanamkan ketertiban umum atau keamanan nasional. Kekerasan nomor tiga akan dibalas kekerasan berikut. Kekerasan yang berbalas kekerasan niscaya mengalami eskalasi sehingga dunia terjatuh dalam spiral kekerasan. Keadaan struktural Mengapa spiral kekerasan sulit dilenyapkan? Kekerasan, ungkap Johan Galtung, adalah kebutuhan-kebutuhan fundamental manusia. Akan tetapi, kebutuhan yang merusak ini sebenarnya dapat dihindarkan. Jebakan paling utama dari hadirnya kekerasan yang memicu kekerasan berikut adalah kekerasan langsung.
Realitas ini mudah diidentifikasi dengan jatuhnya korban-korban yang terluka atau meninggal. Kekerasan tampak nyata. Sanak kerabat yang teraniaya tanpa daya dan terenggut jiwanya di bawah mesin perang yang membunuh merupakan bukti nyata. Kondisi seperti itu tidak menimbulkan rasa takut, tetapi upaya untuk menjalankan kekerasan balasan pasti digulirkan. Itulah yang disebut kekerasan akibat keadaan struktural. Kehidupan yang diwarnai struktur sosial tidak adil dan serba menindas merupakan lahan paling baik tumbuhnya kekerasan. Hal itu diperluas dengan keberadaan kekerasan yang bersifat kultural, yakni nilai budaya yang digunakan untuk membenarkan dan mengesahkan penggunaan kekerasan langsung atau struktural. Wujud kekerasan kultural ini adalah bendera kebangsaan, pidato pemimpin, beragam poster yang membangkitkan dorongan menjalankan kekerasan.
Perang Israel-Palestina adalah wujud nyata perpaduan kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Selama peperangan di wilayah itu tidak segera dihentikan, perwujudan kedamaian dan keadilan masih sebatas angan- angan, maka niscaya spiral kekerasan akan terus memanjang.
Kubangan bencana meluas, seperti berita kita sedih di hari silam. Jauh di sana, begitu banyak manusia kawan mengabarkan keresahan. Sekitar kita dikelilingi takut, mungkin salah satunya adalah ketakutan yang tak beralasan sebab ketidaktahuan, karena amanat untuk membaca tanda zaman belumlah kita kerjakan. Kita hanya menera waspada, kata yang hilang arti dari kita memang yang sengaja membuat keadaan jadi tidak siap dan datang tiba-tiba, lalu memangsa hidup. Kata berita yang dikirim seorang kawan, tentang perseteruan.
Dendam perang yang belum mau berhenti. “Damai belum tercipta di Gaza, meskipun korban sudah jamak bergelimpangan. Hingga beberapa ketika berselang, konflik Israel-Hamas telah menewaskan banyak manusia”. Kisah di ranah yang sama “Saat Palestina digempur siang malam tentara Israel, para anggota parlemen Liga Arab yang tengah berdiskusi di Kairo untuk membahas serangan Israel ke Gaza malah saling tuding dan memojokan. Walau sudah ada juga usulan gencatan senjata.
Jangan lagi tersesat arah. Karena pertikaian yang jauh di sana rupanya punya pengaruh di tanah kita. Di tengah merebaknya konservatisme agama saat ini, banyak orang lupa bahwa Indonesia bukan milik golongan tertentu, bukan pula monopoli sekte agama tertentu. Ruzbihan Hamazani, seorang penulis, tentang soal yang menderas dewasa ini, ia menuliskan “Kebebasan Keyakinan”. Dengan prihatin ia menyeru, “Indonesia adalah milik semua golongan dan kelompok yang hidup di negeri ini. Negara Indonesia tidak memihak salah satu keyakinan, mazhab, atau tafsir tertentu terhadap suatu agama. Dengan kata lain, menghadapi keragaman keyakinan dalam masyarakat, negara harus netral. Perbedaan penafsiran dalam agama adalah hal biasa.” Ini boleh jadi “kompas” bagi kita untuk menentukan arah pemikiran dan pandangan terhadap apa yang sementara bergejolak di bumi kita ini. Tahulah kita bahwa perang dan bencana hanya menambah kesengsaraan umat manusia.
Kehendak untuk berbalik pada hari yang sudah lalu. Damai yang didamba banyak penghuni bumi. Kembali pada peristiwa lampau, menarik garis penghubung di titik-titik pergulatan hari. Di sini kita akan bicara lebih banyak tentang diri kita sendiri. Tentang bangsa kita yang juga punya begitu banyak persoalan. Cuma sebentuk tanda yang merekam keberingasan. Dendam, pertikaian, merah marah meradang, asap pembakaran, segumpal pesan terceraiberai, urai kisah di sisa perang terkatup palang-palang menumpuk masa lalu sejarah pembungkaman. Sejarah ngeri negeri sedih yang compang-camping kini dan terus mengembara mengumumkan mimpi-mimpi kayanya, dihasut sejuta kata sosialisasi integrasi yang sudah basi. Mungkin ada catatan lain yang berbeda, saat kita berada langsung di arena itu. Sehingga kita tidak hanya bersandar di angan-angan. Kondisi yang sudah menguatkan berbagai ramalan itu menjadi kegelisahan yang tak berkesudahan. Seperti ketika yang berlalu dalam masa yang menderas mengiring kepergian sang waktu, ketika, atau kesempatan dan mereka yang tertinggal di batas. Kita masih menggulirkan ramalan untuk esok yang misteri. Apalagi hutang yang belum lunas dalam kekecewaan, arah yang berganti tanpa mampu kita intervensi. Sadarlah situasi, yang mana kejadian selalu diawali gejala. Yang ini sudah pasti mampu kita jelaskan secara lebih spesifik dalam data dan fakta. Inilah yang harus disadari kini. Belum ada jawaban dari liputan yang teramat singkat dan hanya mengusung beberapa asumsi dari desas-desus. Suara rakyat seakan terpalang banyak kepentingan, dan kondisi real yang berlaku di tataran rakyat hanya semata batas pandang mata telanjang. Kita punya banyak alasan untuk menambah kata bagi batas waktu yang kasib, supaya halaman berita jadi lebih banyak huruf yang bercerita tentang penatnya mata membaca yang itu-itu saja.
Kabar kemarin pagi tentang peran dan mereka yang terekam segumpal pesan yang sudah menyebar sebagai keranda mati demokrasi. Sebab kata masih mendesakkan banyak keberingasan dan takut yang sudah didahului fakta-fakta usang dan kadaluarsa, bahwa pembiaran negara semakin menyengsarakan unsur-unsur yang membikin negara itu dapat disebut sebagai negara. Di sana rakyat berdiri sebagai saksi dan korban yang terus bergelimpang didera ketidakadilan. Mereka dibikin resah sistem, issue yang terus menderas dan mengerat tiang-tiang penyangga negara. Menggejala sebuah permainan lama, asumsi yang dikira investigasi, reportase batas pernyataan dan menjadi mewah bagai cerita bersambung yang tak kunjung usai. Di depan layar kaca banyak yang jadi lupa, bahwa realita kita sementara digeser ilusi untuk menjadi pemenang dan unggul dalam segala hal. Bahwa banyak yang bernostalgia dengan kenangan menang tanpa usaha keras dan strategi yang mantap. Ada gambaran saat tatap menghalusinasi, mencipta tujuan tanpa jalan. Ada juga halusinasi yang menggerayangi, lalu terinspirasi untuk membuktikan dalam kerja keras dan terus berusaha tanpa henti. Tak semata lupa rupanya, ada manfaat di sana bila diramu dengan benar. Kita telah memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang apa yang telah dicapai sebelumnya dengan jalan damai. Perang dan bencana belum usai, namun damai harus terus kita teriakkan dan harus kita implementasikan. Inilah supaya kita semua boleh memutuskan rantai kesengsaraan yang sudah berkarat di hati kita.
Tentunya, bangsa-bangsa yang mempunyai komitmen terhadap moralitas dan kemanusiaan, keamanan, ketertiban, dan perdamaian dunia tidak menghendaki kekerasan dan peperangan. Hal demikian hanya dilakukan teroris. Negara-negara itu harus membangun aliansi internasional untuk memerangi kekerasan, yang bukan hanya slogan semata, sebagaimana topeng serangan globalnya AS.
Melalui aliansi internasional, negara-negara pencinta damai harus membangun beberapa prinsip hubungan antarnegara. Pertama, semua negara yang menjunjung tinggi moralitas dan kemanusiaan harus berani menyeru, bahwa segala bentuk kekerasan, siapapun pelakunya tidak dapat dibenarkan. Pelaku kekerasan hanya teroris, yang harus dilenyapkan. Segala bentuk ajakan kekerasan dengan ancaman dan propagandanya harus ditentang.
Negara-negara juga harus membangun visi bersama, bahwa setiap masalah antarnegara hendaknya dibahas dan diselesaikan melalui jalur diplomatik. Kekerasan perang harus dihindarkan. Dunia internasional harus berani memberikan sanksi kepada siapa pun yang bersalah, bukan yang lemah yang selalu kalah. Termasuk pelaku kekerasan, dan pelaku intervensi, yang selalu ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Dunia harus berani menyeru tindakan intervensi adalah kebijakan berbau kejahatan moral yang tidak berperikemanusiaan.
Perang apapaun namanya pastilah akan membawa korban baik bagi pelaku utamanya yaitu serdadu atau tentara dan juga warga sipil. Warga sipil ini bisa keluarga dari sedadu atau tentara itu sendiri juga bisa masyarakat yang berada di area konflik Sedangkan mereka yang berada diluar konflik hanya bisa menyaksikan kelu pilu para korban dan keluarganya melalui pemberitaan.
Itulah perang, bencana yang dibuat oleh ulah manusia terhadap manusia seterunya untuk mengapai cita-cita atau rencana yang ada di otak dari para pimpinanya. Perang memang kejam apalagi bila dibumbui dengan sentimen atas nama iman atau keperca yaan. Apapun dihalakan termasuk mengkorbankan warga sipil yang tidak tahu mena hu ambisi dari para pimpinanya kecuali sebagai objek penderita.
Sebagai warga haruslah tidak membiarkan kehidupannya dipertaruhkan demi ambisi dari para pimpinanya. Jika ambisi itu untuk mensejahterakan dan membuat hidup lebih baik dari sebelumnya haruslah didukung. Tetapi jika sebaliknya maka pimpinan tersebut harus disingkirkan dan bila perlu dalam situasi chaos hanya ada satu cara yaitu dikirim ke liang lahat secepatnya. Hal ini lebih baik dibandingkan akan terjadinya korban lebih banyak di belakang hari. Relasi pemimpin dan yang dipimpin di zaman sekarang bukanlah seperti zaman dulu. Dengan dikait-kaitkan seperti mendapat wahyu dari langit ataupun manusia pilihan dan semacamnya.
Sebagaimana yang telah kita saksikan, perang adalah perantara kekejaman yang besar yang tidak bermanfaat bagi pribadi atau pun masyarakat.Perang adalah malapetaka sosial yang menimbulkan kepedihan besar dan menorehkan luka yang dalam kepada manusia, yang akan perlu waktu lama, jika dapat disembuhkan. Allah, di lain pihak, telah memerintahkan manusia untuk menghindari perang dan mengutamakan perdamaian. Allah memberi kabar gembira untuk orang yang melakukan amal saleh:
Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash: 83)
Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS Shaad: 28)
Konflik antar sesama warga bangsa yang disebabkan oleh kepentingan pribadi semakin mengedepan, daripada kesadaran sebagai satu bangsa. Bahkan di kalangan elit sendiri, rasa kebangsaan tersebut sudah semakin luntur. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan bangsa secara bersama. Untuk membangun kesadaran berbangsa dalam era global ini tidak cukup hanya dengan kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, tetapi dibutuhkan suatu prestasi yang membanggakan seluruh warga bangsa, serta kepribadian yang menjujung nilai-nilai universal.
Persaingan dan perseteruan kekuasan (power) telah kehilangan dasar-dasar moral dan akhlak, sehingga dalam kehidupan politik muncul etika materialisme dan vulger yaitu menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (kemenangan)
Yang menjadi akar permasalahan paling mendasar adalah, komunitas yang selama ini dinilai memiliki potensi untuk menjadi solusi tersebut, justru mendapat porsi paling besar terjangkit krisis. Alih-alih untuk menjadi solver, permasalah yang ada ditubuh kamunitas inipun begitu akut, karena cukup menyita perhatian publik; degradasi moral, budaya, akhlak, dan krisis keprecayaan adalah beberapa persoalan yang melilit intelektual saat ini, tentu saja hal tersebut memerlukan perhatian intens yang cukup serius dari berbagai eleman yang ada.
Realitas yang tampak seperti sekarang ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang melatar belakangi hilangnya karakteristik murni, hal ini merupakan antitesa perjalanan sejarah panjang peradaban manusia yang berangkat dari renaisance, sekulerisasi, globalisasi dan kapitalisme global yang tentu saja tidak nihil dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Dekadensi moral, budaya dan ideologi yang terjadi dibelantika dunia saat ini pun tidak terlepas dari proses sekulerisasi yang merambah ke penjuru negeri. Sekulerisasi dengan berbagai pilar yang diperdagangkan mampuh merubah dunia menjadi nihil dan absurd dari nilai-nilai luhur yang menajdi identitas suatu bangsa khususnya Islam dan dunia ketimuran.
J ika sekulerisasi ini dipaksakan menjadi pandangan hidup, rusaknya tatanan kehidupan, keberagamaan, etika, moral dan budaya menjadi menjadi sebuah kemungkinan yang sulit dihindarkan. Perubahan inilah yang disebut oleh Marx sebagai prose “evolusioner”, imbasnya segala sesuatu dapat berubah dan tidak ada nilai yang mapan karena, terus mengupayakan penyelarasan dan konseptualisasi dengan kebutuhan yang berkembang.
Sebagai salah satu instrumen sekulerisasi, globalisasi ternyata cukup laris diberbagai belahan dunia, karena ada semacam ketakutan, ketinggalan, terbelakang dan tidak berperadaban jika tidak mengikuti budaya yang sedang ngetrend ini. Dengan jargon ICTnya globalisasi telah mampu medobrak bangsa yang ramah, santun dan religius manjadi buas, ganas dan amoral. Bukan hanya segelintir orang saja yang terjangkit krisis ini, anak-anak, pemuada, orang tua, laki-laki, perempuan, dari tingkat paling bawah hingga para elitis. Yang lebih ironis adalah kaum terpelajar sebagai komunitas intelegensia justru mendapat porsi paling besar dalam perubahan yang dinilai negatif ini.
Bukan hanya ekonomi, informasi, komunikasi dan teknologi yang menjadi sasaran empuk globalisasi namun, etika regional serta idiologi yang selama ini dinilai memiliki ruang privasi menjadi bidikan yang urgen untuk dipertaruhkan. Hal ini dinilai cukup membawa perubahan yang sangat signipikan terhadap pola pikir juga pandangan hidup (world view) yang tadinya tertutup menjadi terbuka yang statis menjadi dinamis. Pergeseran nilai norma budaya sangat terasa dan tak terelakan lagi, dengan terbukanya cakrawala dunia yang menembus ruang dan waktu, perang budaya dan ideologi (ghazwu al-fikri) yang menyababkan dekadensi moral menjadi keniscayaan tersendiri
Kelahiran filsafat positivisme yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (morality as being in flux) (Lickona, 1994).
Akibatnya, seperti dikutip dari Lickona, bangsa Amerika terutama generasi mudanya mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika individual karena sekolah-sekolah tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang moral. Ia menyatakan sebagai berikut:
“contemporary western society, and especially American society, suffers from inadequate training in individual ethics. Personal honesty and integrity, appreciation of the interest of others, non-violence and abiding by the law are examples of values insufficiently taught at the present time…The schools and churches are well situated to teach individual ethical responsibility, but do not do so”
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia untuk mempertanyakan tentang kehidupan termasuk nilai dan moral. Dampaknya adalah manusia mulai merasionalisasikan segala sesuatu termasuk nilai dan moral, sehingga sistem pendidikan Amerika yang semula memperhatikan nilai-nilai tradisional pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar dan salah dalam setiap permasalahan kehidupan. Kilpatrick (1992) menyebutkan bahwa pendekatan moral reasoning telah mengakibatkan ketidakmampuan manusia untuk membedakan baik dan benar karena setiap orang mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang baik dan benar.
Pendidikan moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Untuk mencapai masyarakat yang harmoni, teratur, tertib dan aman, sebagai suatu masyarakat yang diidam-idamkan setiap bangsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian sejak jaman sebelum masehi para filosof dan pemikir telah membuat suatu tanda dan prasyarat tentang bagaimana suatu bangsa selayaknya diatur oleh negara guna mencapai masyarakat dan bangsa yang kuat, secara fisik dan moralnya demi mencapai kesejahteraan bangsa.
Demoralisasi berkaitan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan ego dan kontrol diri. Kebebasan ekspresi, kemerdekaan individu dan kelahiran paham possitivism menyebabkan manusia senantiasa mempertanyakan kebenaran dari perbuatan baik (the virtues, the goodness and the golden rule). Padahal para filsuf pendidikan seperti Horace Mann dan John Dewey telah meyakini perlunya kebajikan (virtues) dalam mendidik manusia selain pengetahuan (knowledge). Kehancuran dunia dan lemahnya standar moral dalam masyarakat dianggap sebagai salah satu penyebab utama kejadian demoralisasi. Oleh karena itu dalam pembentukan manusia berkualitas pendidikan karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving the good), menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan (acting the good) kebajikan. Metode pendidikan melalui otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan perasaan, cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Islam dalam hal ini banyak mengajarkan etika, moral dan perilaku serta, sebagai agama yang menjungjung tinggi nilai egaliterian diantara manusia, tidak ada hegemoni maupun monopoli dalam hak dan kewajiaban. Semua manusia sama dihadapan sang pencipta hanya nilai takwa saja yang menjadi pembeda. Sebagai agama universal, tidak ada cacat dalam syari’at, anjuran hidup seimbang (balance) antara pemenuhan kebutuhan rohani dan jasadi telah dicontohkan oleh figur sempurna (Rasulullah). Tidak melulu ibadah dengan mengesampingkan dunia, apalagi sebaliknya, sibuk mengurusi dunia dengan melupakan akhirat yang prioritas.
Wallahu ‘Alam bissawab

Asep Rachmat Effendi

MELACAK PEMIKIRAN KEFILSAFATAN

1. Melacak pemikiran kefilsafatan, setidaknya ditemukan tiga aliran ( matrealisme, idealisme, dan dualisme ). Penjelasan dari ketiga aliran tersebut serta pengaruh pemikiran dimaksud terhadap basis keilmuan modern ditinjau dari sudut pandang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia.Aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat sangat banyak dan kompleks. Di bawah ini akan kita bicarakan aliran metafisika, setidaknya ditemukan tiga (3) aliran yang meliputi :

A. Aliran Materialisme
Matrealisme adalah sebuah faham yang menganggap bahwa materi merupakan wujud segala eksistensinya. Aliran ini menganggap bahwa sejatinya realitas adalah aspek materi. Bagi aliran ini, apa yang dimaksud dengan ide, justru akan mucul dari realitas materi atau realitas benda. Materialisme merupakan suatu bentuk realisme, karena paham ini menumbuhkan yang-nyata dengan materi. Tanpa pengecualian sesuatu , seseorang penganut materialisme menganggap bahwa materi ialah satu-satunya hal yang nyata. Materi ialah hal yang terdalam dan bereksistensi atas kekuatan sendiri, dan tidak memerlukan suatu prinsip yang lain untuk menerangkan eksistensinya sendiri. Materi itu sendiri merupakan sumber serta keterangan terdalam bagi berekstensinya segala sesuatu yang ada, bahkan juga bagi adanya.
Materi itu sendiri merupakan sumber serta keterangan terdalam bagi berekstensinya segala sesuatu yang ada, bahkan juga bagi adanya. Materialisme mempunyai peranan penting pada pertengahan abad 19. Ia menjadi aliran filsafat yang cukup besar dan populer pada saat itu. Tapi materialisme yang berkembang bukanlah materilisme metafisik dari tradisi Aufklarung , tapi lebih cenderung marxisme. Materialisme yang meneruskan tradisi Aufklarung, biasa disebut "materialisme mekanis" Materialisme ini memandang manusia seperti sebuah mesin, atau mereduksi seluruh tingkah laku manusia menurut hukum fisika dan kimia.
Pelopor yang menghasilkan faham ini sebagai cermin filosof awal yang membangun teori matrealisme yaitu Leukippos Democritos ( 460-370 M ). Dan berpendapaat bahwa : ” Reliatas yang sesungguhnya bukan cuma satu, melainkan terdiri dari banyak unsur. Unsur-unsur itu sendiri tidak terbagi yang kemudian disebutnya sebagai ’atom’ yang berarti tidak dapat dibagi.tokoh selanjutnya secara berturut-turut ada Thomas Hubbes ( 1588-1679 ), Ludwig Andreas Feurbach ( 1804-1872) juga ada Karl Marx (1818-1883 ). Karl Marx ini adalah tokoh yang mematangkan teori materalisme pada teori-teori sosial yang lebih fulgar. Ia mengatakan bahwa ada satu realitas akhir yang tunggal, yaitu materi dengan hukum-hukum instrinsik yang selalu sama. Tokoh materialisme penting yang lain: Jacob Molenschott, Vogt, dan Oswald Materialisme mempunyai peranan penting pada pertengahan abad 19. Ia menjadi aliran filsafat yang cukup besar dan populer pada saat itu. Tapi materialisme yen berkembang bukanlah materilisme metafisik dari tradisi Aufklarung , tapi lebih cenderung marxisme. Materialisme yang meneruskan tradisi Aufklarung, biasa disebut "materialisme mekanis" Materialisme ini memandang manusia seperti sebuah mesin, atau mereduksi seluruh tingkah laku manusia menurut hukum fisika dan kimia.Tokoh materialisme ini adalah Ludwig Bouenchner (1824-1899) dengan sukses besar dengan karyanya Kraft und Stoff (Daya dan Materi) dan Ernst Haeckel (1834-1919) yang mempopulerkan teori evolusi dengan menggunakan prinsip-prinsi materialisme.
Marx menyebut sismtem filsafatnya "sosialisme ilmiah" (Socialism scientific) yang berarti perlawanan terhadap segala bentuk utopia yang idealistik, sebagaimana eksperimen Owen dan Kingsley yaitu membangun komunitas ideal atas dasar prinsip-prinsip Kritiani, yang dianggap hanya sebagai katalistik Sosialisme ilmiah juga perupakan perlawanan terhadap bentuk idealisme dan positivisme, menurut Marx siapa saja yang menganggap alam sebagai simbol keilahian dan berbicara secara teologis termasuk dalam katagori prailmiah. Positivisme ditentang karena berakhir pada "skeptisisme ilmiah" dan gagal mempengaruhi masyarakat. Marx lebih menaruh perhatian pada perubahan dan reinterpretasi proses alam dibanding menjelaskan hukum-hukum alam seperti yang dilakukan positivisme.
Histors materialisme dapat disimpulakan mempunyai dua ciri dasar yaitu (1) historis materialisme mempelajari hukum objektif umum yang mengatur perkembangan masyarakat manusia, yaitu menyelidiki fase -fase sejarah dunia, formasi-formasi sosial-ekonomi dan sebab-sebab objektif kemunculan dan kemusnahan dan (2) histories materialisme selalu mempertmbangkan tata-hubungan keberadaan sosial dengan kesdaran sosial.
Beberapa tesis dasar historis materialisme (Lenina Ilitskaya, 1978):
1. Produksi benda-benda dan sarana-sarana produksi materil atau sistem produksi adalah basis sejarah. Ideologi tidak lebih daripada terjemahan barang-barang material yangmengendap dalam kepala manusia.
2. Sejarah buakan aktifitas individu tapi aktifitas massa, group, kerja semua orang. Masyarakat merupakan kompleks fenomena tertinggi yang terjadi karena berbagai relasi dan koneksi.
3. Sejarah merupakan sebuah proses yang objektif. Sejarah berkembang seperti halnya proses berkembangnya alam, bebas dari intensi manusia.
4. Sejarah berkembang dari tahap paling rendah kepada tahap yang paling tinggi melalui pertentangan dan perjuangan kelas menuju masyarakat komunis, yaitu masyarakat tanpa kelas.

B. Aliran Idealisme
Aliran ini menganggap bahwa di balik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu yang justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide. Yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang dan sifatnya sementara dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati. Pemikiran ini diawali dari pemikiran Socrates, Plato, Stoa dan Neo-Platonisme, al-Ghazali ( dunia Islam ).

C. Aliran Dualisme
Aliran ini tampaknya hendak menggabungkan (sintesis) antara aksistensi yang fisik dengan eksistensi yang metafisik. Bagi aliran ini, eksistensi sesuatu itu, bisa berupa yang fisik, bisa juga bersifat metafisik. Antar yang fisik dan metafisik, satu sama lain selalu seiring sejalan. Satu sama lain tidak bisa saling mengalahkan.

Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya.
Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan mempelajari sejarah perkembangan sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Seperti juga pembicaraan tentang zaman purba dilakukan secara berurutan (kronologis) menurut waktu masing masing. Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan manakah yang baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak dibicarakan persoalan-persoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat pendapat filsuf zaman klasik (Plato dan Aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan (Al-Farabi atau Thimas Aquinas), dan pendapat filsuf zaman 'aufklarung' (Kant dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (Jaspers dan Marcel) dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodasi masing-masing. Begitu juga dalam soal-soal logika, metafisika, dan lain-lain.
Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mulamatematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain.
Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru sebagai 'ilmu istimewa' yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Yang menjadi pertanyaan ialah : apa sajakah yang masih merupakan bagian dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat.
Menurut Aristoteles, murid Plato, mengadakan pembagian secara kongkret dan sistematis menjadi empat cabang, yaitu:
a) Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
b) Filsafat teoretis. Cabang ini mencangkup:
" ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini, " ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu dalam kuantitasnya, " ilmu metafisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu. Inilah yang paling utama dari filsafat.
c) Filsafat praktis. Cabang ini mencakup:
" ilmu etika. yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorang " ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara.
d) Filsafat poetika (Kesenian).
Pembagian Aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari secara teratur. Ajaran Aristoteles sendiri, terutama ilmu logika, hingga sekarang masih menjadi contoh-contoh filsafat klasik yang dikagumi dan, dipergunakan.
Walaupun pembagian ahli yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa cabang, yaitu metafisika,logika, etika, estetika, epistemologi, dan filsafat-filsafat khusus lainnya.
1. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
2. Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.
3. Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.
4. Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek.
5. Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.
6. Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.

Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau palsu (maya). Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-tiap pembagian sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika.

Menurut Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).
Dr Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengatahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran. S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya. Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran.
Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan: Tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan. Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia.
Filsafat merupakan induk segala sumber pengetahuan atau peneratas pengetahuan. Dalam tahap awal, secara konsepsional, ilmu masih berdasar pada norma-norma filsafat (azas-azas moral falsafati). Pada tahap selanjutnya, ilmu menyatakan dirinya otonom dan berdasar sepenuhnya pada hakikat alam sebagaimana adanya namun masih tetap pada norma yang seharusnya. Pada tahap terakhir, ilmu mendasarkan diri pada penemuan-penemuan alamiahnya sebagaimana adanya.
Sekalipun demikian, filsafat juga berkembang melalui cabang-cabangnya, faktor yang menyebabkannya tidak lagi menyeluruh tetapi sektoral (Jujun S. Suriasumantri, 1984: 24). Salah satu cabang filsafat yang tetap berkaitan dengan perkembanan ilmu pengetahuan adalah filsafat ilmu yang terdiri dari tiga komponen: ontologi, epistemologi, dan axiologi. Ilmu komunikasi berasal dari cabang filsafat ini dan karena itu pula, filsafat (ilmu) disebut juga sebagai akar ilmu komunikasi.
Dari segi aspek kajian, filsafat dibahas dari tiga komponen: ontologis yang berbicara tentang hakikat dan asal-usul ilmu, epistemologis yang menyangkut prosedur ilmiah ilmu dengan sejumlah model, pendekatan dan metode; dan axiologi yang menyangkut persoalan nilai dan kegunaan komunikasi sebagai suatu disiplin ilmu.
Dalam konteks komponen fikir filsafat tinjauan difokuskan pada tiga komponen filsafat: etika, logika, dan estetika. Etika mendasarkan komunikasi pada azas norma-norma falsafati, logika pada sikap-sikap rasional dan ilmiah, dan estetika menyangkut azas keindahan.
Perkembangan filsafat tidak dipisahkan dari komponen ontologis dan epistemologis filsafat ilmu. Kedua komponen ini kemudian menyumbangkan teori-teori dan metodologi untuk mencapai pengetahuan sebagai suatu ilmu (ilmiah/ilmu pengetahuan).
Sosiologi mempelajari struktur dan fungsi kelompok dan pola-pola interaksi sistem-sistem dalam masyarakat sosial. Fokusnya adalah tindakan-tindakan sosial, namun tidak mencakup tindakan-tindakan terisolir oleh individu yang sifatnya personal dalam lingkungan sosial. Dalam masyarakat, terdapat sistem, sub-sistem, meta-sistem yang saling berinteraksi, di mana individu-individu diarahkan oleh sistem-sistem tersebut untuk bertindak menurut norma-norma sosial (cenderung menjadi seragam).
Norma-norma merupakan pusat makna sosial yang hadir dalam memori individu dalam masyarkat secara kolektif. Perubahan sosial yang terjadi setiap saat menyebabkan proses pembagian gagasan untuk kembali mencapai kesamaan makna. Dapat dikatakan bahwa di sini telah terjadi proses pertukaran makna untuk mencapai pengertian makna yang sama. Pertukaran makna inilah yang merupakan esensi proses komunikasi. Masyarakat melalui struktur dan fungsi-fungsi yang ada mengembangkan norma-norma.
Pada tahap perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai dengan tabiat alam apa adanya. Pada tahap ini perkembangan ilmu tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif, tetapi menggunakan kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang dihubungkan oleh pengujian hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.Auguste Comte (1798 – 1857) membagi perkembangan pengetahuan ke dalam 3 tahap, yaitu : tahap religius, metafisik dan positif. Pada tahap pertama postulat ilmiah menggunakan azas religi, sehingga ilmu merupakan penjabaran (deduksi) dari ajaran agama. Pada tahap kedua postulat ilmiah didasarkan pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai eksistenis obyek yang ditelaah. Pada tahap ketiga perkembangan ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang digunakan dalam proses verifikasi yang obyektif.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal. Dalam perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja dan imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di mana dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa ketika itu. Filsafat Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam dinasti Abbasiyah sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia filsafat Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para kaum filsuf yang diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali yang menganggap filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme bergolak. Hal ini setelah Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli atau mistikus agama.
Setelah abad ke-13, peradaban filsafat islam benar-benar mengalami kejumudan setelah kaum ulama berhasil memenangkan perdebatan panjang dengan kaum filosof. Kajian filsafat dilarang masuk kurikulum pendidikan. Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir kepada para ulama dan ahli tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam filsafat sedang menjamur. Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah pihak gereja berkuasa pada masanya dan sebelum peradaban Islam mulai menerjemahkan teks-teks aristoteles dan lain sebagainya oleh Al Kindhi, di Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi buku-buku filsafat hasil peradaban Yunani. Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia islam bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke eropa, peradaban islam pun mengalami kemunduran sementara di eropa sendiri mengalami masa yang disebut sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M. Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas gereja. Periode ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi terbelah. Doktrin para pendeta katolik terus mendapatkan protes dari kaum Protestan.
Adapun para filsuf zaman modern setelah masa aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
Kembali sebuah penegas differensiasi yang melepasnya dari ikatan imajinasi manusia. Keseimbangan ini menempatkan akal di posisi yang tepat, antara fisik dan metafisik, antara sesuatu yang dapat dibawa ke tataran imajinasi dengan sesuatu yang tak tergambarkan. Sebuah kalimat yang bagus dituliskan pula oleh Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Menyingkap Tabir Ilahi” “bukan berarti bahwa Al Quran memperkenalkan Tuhan sebagai sesutau yang bersifat idea atau immaterial, yang tidak dapat diberi sifat atau digambarkan dalam kenyataan, atau dalam keadaan yang dapat dijangkau akal manusia. Karena jika demikian, bukan saja hati manusia tidak akan tenteram terhadap-Nya, akalnya pun tidak dapat memahamiNya, sehingga keyakinan tentang wujud dan sifat-sifatNya tidak akan berpengaruh pada sikap dan tingkah laku manusia.” “Karena itu Al Quran menempuh cara pertengahan dalam memperkenalkan Tuhan ..” Allah juga memperkenalkan dirinya dengan nama-nama yang baik (Asmaul Husna), Ar Rahman, Ar Rahiim, Al Malik, Al Qudus dan seterusnya [bahkan pendapat dari beberapa Ulama, termasuk juga dalam Asmaul Husna ini adalah nama Tuhan yang paling populer, yakni Allah]. Sifat-sifat itu sangat mudah kita bayangkan, Pengasih, Penyayang, Penguasa, Suci dan seterusnya dan seterusnya. Tapi tentu tidaklah sama sifat Pengasih Allah dengan sifat Pengasih manusia, sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi Muhammad saw :
Allah itu memiliki 100 bagian kasih sayang, satu bagiannya ia bagikan merata kepada seluruh penduduk bumi, sehingga seekor induk kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).

Asep Rachmat effendi

APLIKASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

Banyak orang berfikir bahwa total quality management (TQM) hanya menjadi urusan dunia bisnis, padahal TQM bisa diterapkan dalam dunia penidikan yang berkecimpung dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat dan mutakhir, konsep dan strategi baru sangat dimungkinkan terus bermunculan. Akan tetapi, hanya sedikit konsep yang mampu mendapat perhaitan dan terbukti merupakan pendekatan yang ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan manajerial. Satu diantara sedikit konsep yang berhasil menyita banyak perhatian akademisi dan praktisi, yaitu TQM (total quality management)

A. FILOSOFI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
Istilah kualitas mengandung berbagai macam makna yang berlainan, Gotech dan Davis (1994) merumuskan konsep holistic mengenai kualitas sebagai kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pengguna produk / jasa.
Menurut (Tjiptono & Diana, 1996) secara garis besar ada tiga tahap perkembangan konsep kualitas. Pertama era Craftmanship, dimana individu sangat terampil mengerjakan semua tugas yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas. Dengan demikian, peranan pimpinan, petugas operasional, dan pengendali kualitas ditumpuk pada satu orang. Pendekatan ini ditinggalkan seiring dengan berkembangnya studi waktu dan gerak yang dikembangkan oleh bapak manajemen ilmiah adalah perlunya pemisahan antara perencanaan dan implementasi. Pendekatan Taylor mengganti Craftmanship dengan pembagian tugas (division of labor). Manajemen diberi tanggung jawab perencanaan sedangkan bagian operasi ditangani oleh tenaga kerja atau buruh. Untuk menjaga kualitas dibentuk departeman kulaitas yang terpisah.
Sejalan dengan meningkatnya volume dan kompelksitas operasi, kualitas juga berkembang menjadi isu yang semakin rumit. Pendekatan tradisional ofter-the-fact yang sarat diwarnai inspeksi tidak lagi memadai. Hasil inspeksi tidak lebih dari sekadar menyisihkan komponen produk cacat. Cara-cara seperti ini tidak menyelesaikan masalah karena tanggung jawab kualitas dibebankan semata-mata pada departemen kualitas. Penyebab produk cacat tetap ada dan biaya akibat produk cacat tetap tinggi. Dipihak lain, muncul masalah besar mengenai 3K (Komunikasi, koordinasi, dan kerjasama) akibat pemisahan think (yang dilakukan oleh pihak manajemen) dan act (yang dilaksanakan oleh pihak pegawai lapangan). Kenyataan ini mendorong munculnya pendekatan kualitas total (total quality approach) yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah total quality management.
Konsep total quality management pertama kali dikemukakan oleh Nancy Warren, seorang behavioral scientist di United States Navy (Walton dalam Bounds, et. al., 1994). Istilah ini mengandung makna every process, every job, dan every aspek (Goetsch & Davis, 1994). Aspek Pertama menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam menjalankan usaha yang berupaya memaksimumkan daya saing melalui penyempurnaan secara terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan organisasi. Aspek kedua menyangkut cara mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM yang terdiri atas: (a) focus pada pelanggan (internal & eksternal, (b) berorientasi pada kualitas, (c) menggunakan pendekatan ilmiah, (d) memiliki komitmen jangka panjang, (e) kerja sama tim, (f) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan, (g) pendidikan dan pelatihan, (h) menerapkan kebebasan yang terkendali, (i) memiliki kesatuan tujuan, (j) melibatakan dan memberdayakan karyawan.

B. PILAR TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
Bill Creech, seorang mantan jendral berbintang empat berhasil menerapkan berbagai prinsip TQM pada United States Air Force semasa perang teluk. Prinsip yang digunakannya dikenal dengan istilah Lima Pilar TQM yang terdiri atas produk, pross, organisasi, pemimpin, dan komitmen (Creech, 1996), hal ini digambarkan dalam diagram.
Menurut Creech, produk atau jasa merupakan titik pusat bagi tujuan dan prestasi senuah organisasi yang tepat. Organisasi akan menentukan kesehatan dan vitalitas adanya organisasi yang tepat. Organisasi akan menentukan kesehatan dan vitalitas keseluruhan system manajemn karena itu ditempatkan di tengah-tengah kelima pilar TQM. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa kepemimpinan yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupkan pilar pendukung memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi pilar-pilar lain. Setiap pilar tersebut tersebut tergantung pada empat pilar yang lain dan apabila ada salah satu pilar yang lemah, semuanya akan turut lemah.
Lebih lanjut Creech menegaskan bahwa program TQM harus memenuhi empat criteria agar dapat mencapai kesuksesan dalam implementasinya. Pertama program tersebut harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada kualitas dalam aktivitasnya, termasuk dalam setiap proses dan produk / jasa. Kedua, program tersebut harus memiliki sifat kemanusiaan yang kuat untuk menerjemahkan kualitas dalam cara memeperlakukan karyawan, selalu diikutsertakan dan diberi inspirasi. Ketiga, program TQM harus didasarkan pada pendekatan desentralisasi yang memeberikan wewenang disemua tingkatan terutama pada lini depan sehingga antusias keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan dan bukan sekadar slogan. Keempat, TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijakan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah-celah organisasi.

C. PENERAPAN TQM DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN
1. Pengertian Jasa Pendidikan
Dewasa ini jasa pendidikan memegang peranan vital dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Akan tetapi, minat dan perhatian pada aspek kualitas jasa pendidikan bisa dikatakan baru berkembang dalam satu dekase terakhir. Keberhasilan jasa pendidikan ditentukan dalam memeberikan pelayanan yang berkualitas kepada para pengguna jasa pendidikan tersebut (siswa dan mahasiswanya/ peserta didik). Sebelum lebih jauh membahas mengenai kualitas jasa pendidikan, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian jasa termasuk jasa pendidikan dari beberapa ahli sehingga kualitas jasa pendidikan yang dimaksud dalam pembahsan ini dapat dipahami secara komperhensif.
Jasa merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual (Fandy Tjiptono, 1996: 6). Dalam hal ini jasa berupa suatu kegiatan yang bermanfaat bagi pihak lain dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya.
Kotler mengemukakan pengertian jas adalah a service is any act of performance that one party can offer to another that essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to physical product (Kotler, 2003: 444). Jasa merupakan sesuatu yang tidak berwujud, yang melibatkan hubungan antara penyaji jasa dengan konsumen pemakai dan tidak ada perpindahan kepemilikan antara penyaji jasa dengan konsumen pemakai dan tidak ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership) antara keduanya. Dalam menghasilkan jasa tersebut digunakan produk fisik untuk mendukung aktivitasnya.
Sedangkan Berry seperti dikutip Zeithaml dan Berry (1996 : 5). Service are deeds, process and performance (Zeithhaml and Berry (1996:5). Jasa dapat diartikan sebagai unjuk kerja (performance) ataupun prosedur kerja, tindakan dan aktivitas (deeds), maupun proses yang dilakukan oleh seseorang atau institusi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumennya. Selanjutnya dari beberapa definisi jasa yang telah dikemukakan sebelunya dan dirangkum, Zeithaml dan Berry mengemukakan bahwa jasa adalah include all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at a time it is produced and provides added value is forms (such ans convenience, amusement, timeliness, comfort, and health) that are essentially intangibles, concern of it first purchaser (adaptes from Zeithaml dan Berry, 1996:5).
Jasa adalah meliputi segenap kegiatan ekonomi yang menghasilkan output (keluaran) berupa produk atau konstruksi (hasil karya) nonfisik, yang lazimnya dikonsumsi pada saat diproduksi dan memberi nilai tambah pada bentuk (form) seperti kepraktisan, kecocokan/kepantasn, kenyamanan dan kesehatan yang pada intinya menarik cita rasa pada pembeli pertama. Sementara itu, jasa pendidikan merupakan jasa yang bersifat kompleks karena bersifat padat karya dan padat modal. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki kill khusus dalam bidang pendidikan dan padat modal karena membutuhkan infrastruktur (peralatan)yang lengkap dan harganya cukup mahal.

2. Karakteristik Jasa Pendidikan
Pada dasarnya jasa adalah sesuatu yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain yang sifatnya tidak berwujud dan tidak memiliki dampak perpindahan hak milik. Hal ini sangat erat kaitannya dengan karakteristik jasa yang perlu dipertimbangkan dalam merancang program pemasarannya. Jasa secara memiliki karakteristik utama sebagai berikut.
a. Tidak Berwujud (Intangibility)
jasa tidak berwujud seperti produk fisik yang menyebabkan pengguna jasa pendidikan tidak dapat melihat, mencium, mendengar, dan merasakan hasilnya sebelum mereka mengonsumsinya (menjadi subsistem lembaga pendidikan). Untuk menekan ketidakpastian, pengguna jasa pendidikan akan mencari tanda atau informasi tentang kualitas jasa tersebut. Tanda maupun informasi dapat diperoleh atas dasar letak lokasi lembaga pendidikan, lembaga pendidikan penyelenggara, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan, serta besarnya biaya yang ditetapkan. Beberapa hal yang akan dilakukan lembaga pendidikan untuk meningkatkan calon pengguna jasa pendidikan adalah
1) Meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud menjadi berwujud;
2) Menekankan pada manfaat yang akan diperoleh (lulusan lembaga pendidikan);
3) Menciptakan atau membangun suatu nama merek lembaga pendidikan (education brand name);
4) Memakai nama seseorang yang sudah dikenal untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.
b. Tidak Terpisahkan (Inseparability)
jasa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu lembaga pendidikan yang menyediakan jasa tersebut. Artinya, jasa pendidikan dihasilkan dan dikonsumsi secara serempak (simultan) pada waktu yang sama. Jika peserta memebeli jasa maka akan berhadapan langsung dengan penyedia jasa pendidikan. Dengan demikian, jasa lebih diutamakan penjualannya secara langsung dengan skala operasi yang terbatas. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dapat menggunakan strategi bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, atau melatih para penyaji jasa agar mereka mampu membina kepercayaan pelanggannya (peserta didik).

c. Bervariasi (Variability)
Jasa pendidikan yang diberikan seringkali berubah-ubah. Hal ini akan sangat tergantung kepada siapa yang menjadikannya, kapan, serta dimana disajikan jasa pendidikan tersebut. Oleh karena itu, jasa pendidikan sulit untuk mencapai kualitas yang sesuai dengan standar. Untuk mengantisipasi hal tersebut, lembaga pendidikan dapat melakukan beberapa strategi dalam mengendalikan kualitas jasa yang dihasilkan dengan cara berikut. Pertama, melakukan seleksi dan mengadakan pelatihan untuk mendapatkan SDM jasa pendidikan yang lebih baik. Kedua, membuat standardisasi proses kerja dalam menghasilkan jasa pendidikan dengan baik. Ketiga, selalu memonitor kepuasan peserta didik melalui system kotak saran, keluhan, maupun survei pasar.

d. Mudah Musnah (Perishability)
Jasa pendidikan tidak dapat disismpan dalam jangka waktu tertentu atau jasa pendidikan tersebut mudah musnah sehingga tidak dapat dijual pada waktu mendatang. Karakteristik jasa yang cepat musnah bukanlah suatu masalah jika permintaan akan jasa tersebut stabil karena jasa pendidikan mudah dalam persiapan pelanannya. Jika permintaanya berfluktuasi, lembaga pendidikan akan menghadapi masalah dalam mempersiapkan pelayanannya. Untuk itu, diperlukan program pemasaran jasa yang sangat cermat agar permintaan terhadap jasa pendidikan selalu stabil.
Lebih spesifik lagi menurut Kotler dan Fox dalam Rambat (2001:126) bahwa karakteristik jasa lembaga pendidikan antara lain sebagai berikut.
1) Lembaga pendidikan termasuk jasa murni (pure services), dimana pemberian jasa yang dilakukan didukung alat kerja atau sarana pendukung semata, seperti ruangan kelas, kursi, meja, dan buku-buku.
2) Jasa yang diberikan lembaga pendidikan membutuhkan kehadiran pengguna jasa (siswa.). jadi, dalam hal ini pelanggan yang mendatangi lembaga pendidikan untuk mendapatkan jasa yang diinginkan (meskipun dalam perkembangannya ada yang menawarkan program distance learning atau belajar jarak jauh).
3) Penerima jasa pendidikan adalah orang (people), jadi merupakan pemberian jasa yang berbasis orang. Dengan demikian, berdasarkan hubungan dengan pengguna jasa (siswa adalah high contact system yaitu hubungan pemberi jasa dengan pelanggan tinggi). Pelanggan dan penyedia jasa terus berinteraksi selama proses pemberian jasa berlangsung. Untuk menerima jasa pendidikan pelanggan harus menjadi bagian dari system lembaga pendidikan tersebut.
4) Hubungan antara lembaga pendidikan dengan pelanggan adalah berdasarkan member relationship, yaitu pelanggan telah menjadi anggota lembaga pendidikan tersebut, system pemberian jasanya secara terus menerus dan teratur sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan.
Kisah sukses implementasi TQM dalam sunia bisnis mengilhami organisasi-organisasi lainnya termasuk organisasi pendidikan untuk mengadosinya. Penerapan TQM dalam manajemen pendidikan mengundang perdebatan yang sangat serius. Beberapa pengamat mempertanyakan kelayakan dan kesesuaian konsep TQM dengan karakteristik lembaga pendidikan.
Taylor dan Hill (1993), McCulloch (1993), berargumentasi bahwa TQM merupakan konsep yang sulit dievaluasi dalam lembaga pendidikan. Sedangkan Holmes dan Gerarrd (1995) berpendapat bahwa TQM mungkin cocok untuk fungsi pendukung (support function), tetapi tidak cocok untuk fungsi pembelajaran yang merupakan inti dari sebuah lembaga pendidikan. Dilain pihak menurut Herbert Dellana, dan Bass (1995 dalam Sarwono dan Sudarsono, 1997), ada empat bidang utama dalam lembaga pendidikan yang dapat mengadopsi prinsip-prinsip TQM. Pertama adalah penerapan TQM untuk meningkatkan fungsi-fungsi administrasi dan operasi lembaga pendidikan. Kedua, mengintegrasikan TQM dalam kurikulum. Ketiga, penggunaan TQM dalam metode pemebelajaran kelas. Keempat, menggunakan TQM untuk mengelola aktivitas riset lembaga pendidikan. Berdasarkan Quality Progress (QPR) tahun 1992 di Amerika Serikat ada 220 lembaga pendidikan yang menerapkan TQM (Lewis & Smith, 1994). Kehadiran TQM mempunyai dampak pada perubahan manajemen konvensional. Demikian juga dengan manajemen lembaga pendidikan terdapat enam tantangan pokok yang perlu dikaji dan dikelola secarastrategis dalam rangka menerapkan konsep TQM lembaga pendidikan, yakni berkenaan dengan (1) dimensi kualitas jasa, (2) focus kepada pengguna jasa pendidikan, (3) kepemimpinan, (4) perbaikan yang berkesinambungan, (5) manajemen SDM, dan (6) manajemen berdasarkan fakta. Halini sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 4 ayat 6 menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan dengan memeberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Lebih lanjut dikatakan dalam pasal 5 ayat 1 bahwa Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

3. Dimensi Kualitas Pelayanan pada Jasa Pendidikan
Untuk mengkaji apakah sebuah pelayanan jasa termasuk jasa pendidikan berkualitas, diperlukan adanya unsure-unsur pendukung sebagai bahan acuan. Dalam suatu studi empiris yang dilakukan oleh Parasuraman (1988) di Aerika Serikat diketahui bahwa terdapa lima dimensi kualitas pelayanan.
Kualitas jasa pendidikan dapat diketahui dengan cara membandingkan presepsi pelanggan atas pelayanan yang diperoleh atau diterima secara nyata oleh mereka dengan pelayanan sesungguhnya diharapkan (Fitzsimmons & Fitzsimmons, dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan (Fitzsimmons &Fitzsimmons; 2001 : 44; Parasuraman et .al., 1988:16). Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan bermutu. Sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan tidak bermutu. Namun apabila kenyataan ssama dengan harapan, maka kualitas pelayanan tersebut memuaskan (Fitzsimmons & Fitzsimmons, 2001 : 44). Dengan demikian, kualiltas pelayanan dapat didefinisikan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atas layanan yang diterima mereka (Parasuraman, 1988 : 17).
Harapan para pelanggan jasa didasarkan pada informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut, kebutuhan pribadi, pengalaman masa lalu, serta komunikasi eksternal (Fitzsimmons & Fitzsimmons, 2001: 45).
Jasa pendidikan merupakan bentuk jasa yang melibatkan tingkat interaksi yang tinggi antara penyedia jasa pendidikan (lembaga pendidikan) dan pengguna jasa pendidikan, dimensi jasa pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Tangible (bukti fisik)
Yaitu meliputi fisik, perlengkapan, karyawan/staf pengajar, dan sarana komunikasi. Misalnya, fasilitas pembelajaran (gedung), fasilitas laboratorium, fasilitas perpustakaan, media pembelajaran, kantin, tempat parker, sarana ibadah, fasilitas olahraga, serta busana penampilan staf administrasi maupun staf pengajar.
2. Reliability (keandalan)
Yakni kemampuan memeberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera atau cepat, akurat, dan memuaskan. Misalnya, mata ajaran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan, jadwal pembelajaran, proses pembelajaran yang akurat, penilaian yang objektif, bimbingan dan penyuluhan, serta aktivitas lain yang semuanya untuk memperlancar proses pembelajaran peserta didik.
3. Responsiveness (daya tanggap)
Yaitu kemauan/ kesediaan para staf untuk membantu para peserta didik dan memberikan pelayanan cepat tanggap. Misalnya guru pembimbing mudah ditemui konsultasi. Proses pembelajaran interaktif sehingga memungkinkan peserta didik lebih memperluas wawasan berfikir dan kreatifitasnya. Prosedur administrasi lembaga pendidikan menjadi lebih sederhana.
4. Assurance (jaminan)
Yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap peserta didik, serta memiliki sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya dan keragu-raguan. Misalnya, selururh staf administrasi, staf pengajar, maupun pejabat structural harus benar-benar kompeten di bidangnya sehingga reputasi lembaga pendidikan positif di mata masyarakat.
5. Empathy (empati)
Yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi dengan baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan peserta didiknya. Misalnya, staf pengajar mengenal siswanya yang mengikuti proses pembelajran, guru bisa benar-benar berperan sesuai fungsinya, perhatian yang tulus diberikan keoada para siswanya beroa kemudahan mendapatkan pelayanan, keramahan, komunikasi, serta kemampuan memahami kebutuhan siswanya.
Menurut Maxwell ada enam dimensi kualitas jasa pendidkan. Pertama, akses yang berhubungan dengan kemudahan mendapatkan jasa pendidikan yang diperoleh ditempat yang mudah dijangkau pada waktu yang tepat dan nyaman. Kedua, kecocokan dengan tingkat kebutuhan pelanggan, yaitu kecocokan akan profil tingkat pendidikan populasi dan kelompok yang membutuhkannya. Ketiga, afektifitas yang berhubungan dengan adanya kemampuan penyaji jasa pendidikan (staf pengajar) untuk melayani atau menciptakan hasil yang diinginkan. Keempat, ekuitas yang berhubungan dengan distribusi sumber-sumber pelayanan lembaga pendidikan yang adil dalam suatu system yang didukung secara umum. Kelima, diterima secara sosial yang berhubungan dengan kondisi lingkungan, komunikasi dan kebebasan, atau keleluasaan pribadi. Keenam, efisisensi dan ekonomis yang mengacu kepada pengertian layanan terbaik untuk besarnya biaya yang tepat (diadopsi dari Maxwell, 1992: 275)
Beberapa ahli kualitas jasa mengemukakan pendapat mengenai dimensi kualitas. Jika diperhatikan dari semua pendapat para ahli mengenai dimensi kualitas pelayanan hamper semuanya bertitik tolak dari lima dimensi kulaitas jasa yang dikemukakan oleh pendapat Parasuraman. Dengan demikian, dimensi kualitas jasa pada dasarnya mengasu pada bukti fisik, keandalan, daya tangkap, jaminan, dan empati.
Menurut Berry dan Parasuraman (1997) dalam Rambat (2001:182) bahwa salah satu konsep yang memiliki kaitan erat dan memiliki dampak langsung terhadap keberhasilan kualitas jasa (service quality/ SERVQUAL) adalah system informasi. Ada lima petunjuk yang perlu diaksanakan dalam mengembangkan kualitas jasa pendidikan yang efektif melalui system informasi, yaitu sebagai berikut.
1. Mengukur besarnya harapan pengguna jasa pendidikan (siswa/mahasiswa) atas pelayanan yang diberikan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan harus dapat mengukur besarnya harapan yang muncul atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Misalnya, berapa besar tingkat kepuasan siswa/ mahasiswa atas pelayanan administrasi, pelayanan staf pengajar atau pmpinan lembaga pendidikan, pelayanan atas penyediaan fasilitas pembelajaran, dan sebagainya.
2. Menentukan dimana titik berat kualitas informasi. Lembaga pendidikan harus menetapkan titik berat kualitas informasi yang ingin dicapai. Misalnya, titik berat kualitas informasi pada proses keputusan pimpinan lembaga pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan pelayanan yang diharapkan pelanggan.
3. Mengetahui saran pelanggan. Lembaga pendidikan dituntut untuk mendengarkan dan memahami saran pelanggan (siswa/ mahasiswa) mengenai jasa pendidikan yang diberikan. Misalnya, mengenai fasilitas pembelajaran keunggulan staf pengajar, dansarana perpustakaan.
4. Menghubungkan kinerja pelayanan dan output yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan diharapkan mampu mengaitkan kinerja pelayanan dengan tujuan lembaga pendidikan. Apakah akumulasi kinerja pelayanan dapat berakhir pada loyalitas siswa/ mahasiswa dan peningkatan pansa pasar.
5. menjangkau seluruh staf (pegawai). Penerapan system informasi dalam kualitas jasa harus mampu mencakup keseluruhan individu yang terkait dalam hirearki lembaga pendidikan. System tersenut harus masing-masing mendapatkan informasi sesuai dengan porsinya.
Dalam mempertahankan kualitas pelayanan jas pada lembaga pendidikan menurut Gaspertz (2002: 2) yang harus diperhatikan adalah atribut perbaikan kualitas jasa yang berkesinambungan.
1. Ketetapan waktu pelayanan hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan lamanya pendidikan dan waktu proses pendidikan.
2. Akurasi pelayanan berkaitan dengan rehabilitasi pelayanan secara kontinu dan menekan kesalahan yang dilakkan dalam pelayanan.
3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dalam memeberikan pelayanan, terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan masyarakat umum, misalnya petugas operator telepon, public relationship (PR), staf pelayanan administrasi pendaftaran siswa/ mahasiswa baru, petugas keamanan, dan semua yang terlibat pada front office (garis depan).
4. Tanggung jawab berkaitan dengan penerimaan saran, penanganan keluhan dari masyarakat umum sebagai pemerhati.
5. Kelengkapan menyangkut lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana pendukung, serta sarana pelayanan yang saling menunjang dan melengkapi.
6. Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola baru dalam pelayanan lembaga pendidikan, misalnya menawarkan waktu pembelajaran yang fleksibel bagi mahasiswa yang memiliki peran ganda sebagai karyawan di berbagai perusahaan.
7. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya cabang tempat belajar, misalnya untuk perguruan tinggi banyaknya cabang kampus yang berada disuatu area yang legal menurut ketentuan yang ditetapkan, banyak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran, atau banyaknya staf administrasi yang terampil untuk melayani pelanggan.
8. pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas penanganan khusus bagi sekelomok pelanggan yang meminta penanganan khusus.
9. kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi lembaga pendidikan, ruang tempat pelayanan, kemudahan untuk menjangkau tempat pelayanan, tempat parker, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk yang mudah diakses oleh pelanggan.
10. Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti prasarana lingkungan lembaga pemdidikan, kebersihan, fasilitas kantin, dan pelayanan kesehatan.
UPAYA-UPAYA PERBAIKAN LAYANAN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN
Upaya perbaikan layanan pada lembaga pendidikan tidak sesederhana yang dipikirkan karena masalah layanan yang tampak belum tentu merupakan permasalahan yang sebenarnya. Bisa jadi persoalan yang tampak hanya merupakan gejala dari persoalan lain yang tidak tampak.
Berdasarkan konsep tersebut, persoalan mutu layanan eksternal yang sebenarnya secara umum adalah mutu layanan internal. Mutu layanan internal dengan mutu layanan eksternal sangat berbeda, bentuk mutu layanan internal berupa kepuasan bagi para pegawai lembaga pendidikan, budaya kerja lembaga pendidikan, lingkungan kerja yang kondusif, sistem balas jasa yang motivatif, kesempatan karier yang luas, serta program diklat yang menitikberatkan pada aspek mutu layanan. Adapun mutu layanan eksternal akan menumbuhkan kepuasan bagi pelanggan sehingga menjadi pelanggan yang loyal. Selanjutnya di lembaga pendidikan akan menghasilkan lulusan yang berprestasi dan jumlah peserta didik akan bertambah secara berkesinambungan karena mutu layanan yang diberikan kepada mereka (Usahawan, januari 1997 ).
1. Fokus pada pengguna jasa pendidikan ( pelanggan )
Kepuasan pengguna jasa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam TQM. Oleh sebab itu, identifikasi pengguna jasa pendidikan dan kebutuhan mereka merupakan aspek yang krusial ( Ivancevich & Ivancevich (1992) ). Adapun langkah pertama dalam menerapkan TQM adalah memandang siswa / mahasiswa sebagai pelanggan yang harus dilayani dengan baik. Pandangan ini dikenal luas, tetapi tidak diterima secara universal. Pandangan yang komprehensif dikemukakan oleh Lewis dan Simth ( 1994). Mereka mengajukan kerangka identifikasi pelanggan yang ditinjau dari tiga perspektif, yaitupelanggan internal akademik dan administratif,siswa, serta staf pengajar (guru), guru pembimbing, dan karyawan bagian administrasi, pelanggan eksternal langsung yaitu pegawai administrasi dan siswa, serta lembaga pendidikan lain sebagai pesaing. Pelanggan eksternal tidak langsung meliputi masyarakat umum, alumni, dan penyandang dana. Perhatian terhadap pelanggan tersebut harus diprioritaskan berdasarkan urutannya dari mulai pelanggan internal dan eksternal langsung, serta pelanggan eksternal tidak langsung.
2. Kepemimpinan
Kesadaran akan kualitas dalam lembaga pendidikan tergantung kepada faktor intangibles, terutama sikap manajemen tingkat atas (pimpinan lembaga pendidikan daar menengah, kepala sekolah, dan pimpinan perguruan tinggi / rektorat) terhadap kualitas jasa pendidikan. Pencapaian tingkat kualitas bukan hasil penerepan jangka pendek untuk meningkatkan daya saing, melainkan melalui implementasi TQM yang mensyaratkan kepemimpinan yang kontinu. Puffer dan McCarthy, 1996 telah mengembangkan kerangka kepemimpinan transformasional atau visionary, stakeholder eksternal pada penentuan persyaratan kepemimpinan.
Dalam konteks TQM, pemimpin perlu memiliki karakteristik pribadi yang mencakup dorongan, motivasi untuk memimpin, kejujuran dan integritas,kepercayaan diri, inisiatif, kreatifitas/ originalitas, kemampuan kognetif, serta pengetahuan dan charisma. Kualitas manajerial pimpinan harus dapat memberikan inspirasi pada semua jajaran manajemen agar mampu memperagakan kualitas kepemimpinan yang sama, yang diperlukan untuk mengembangkan budaya TQM. Oleh sebab itu, keterlibatan langsung pimpinan lembaga pendidikan sangat penting.
Dengan fondasi berbagai karakteristik pribadi, pimpinan lembaga pendidikan sangat penting.
Dengan fondasi berbagai karakteristik pribadi, pimpinan lembaga pendidikan perlu menciptakan visi untuk mengarahkan lembaga pendidikan dan karyawannya.
Dalam konteks TQM, penciptaan visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kualitas, memfokuskan semua upaya lembaga pendidikan pada pemuasan kebutuhan pengguna jasa pendidikan, menumbuhkan sense of teamwork dalam pekerjaan, menumbuhkan standart of excellence, dan menjembatani keadaan lembaga pendidikan sekarang dan masa yang akan datang ( Handoko dan Tjipto, 1997 ). Visi dirumuskan, diartikulasikan,dan dikomunikasikan ke seluruh jajaran karyawan pada sebuah lembaga pendidikan untuk mempromosikan perubahan, inovasi, dan pengambilan keputusan. Kemudian pimpinan mengambil berbagai langkah untuk menterjemahkan visi menjadi kegiatan spesifik yang dapat dicapai dengan dukungan dan bantuan para pegawai pendidikan. Dukungan secara kesinambungan menuntut pimpinan lembaga pendidikan menerapkankepemimpinan trasformasional melalui tiga hal berikut. Pertama, menyampaikan inspirasidalam mengomunikasikan harapan yang tinggi,memfokuskan upaya dan mengekspresikan tujuan dengan cara simple. Kedua, menstimulasi intelektual untuk mempromosikan intelegensia, rasionalitas dan pemecahan masalah secara ilmiah. Ketiga, pemberian konsiderasi yang bersifat individual untuk memberikan perhatian secara pribadi dan memberdayakan petugas lembaga pendidikan ( Handoko dan Tjiptono, 1996 ).
Kepemimpinan transformasional yang dikembangkan pada tingkat pimpinan selanjutnya disebarluaskan ke seluruh jajaran petugas lembaga pendidika. Hanya melalui difusi ini lembaga pendidikan dapat menanamkan nilai - nilai TQM yang merembes melewati batas-batas tradisional dengan stakeholder eksternal. Kepemimpinan TQM perlu menyadari bahwa srakeholder eksternal merupakam elemen integral lembaga pendidikan. Empat komponen perilaku kepemimpinan yang dapat diaplikasikan dalam konteks TQM mencakup sharing information, yaitu pengembangan hubungan, pemberdayaan petugas lembaga pendidikan serta pengambilan keputusan (Handoko dan Tjiptono, 1997). Gaya kepemimpinan parsipatif dan memberdayakan seluruh jajaran petugas lembaga pendidikan merupakan infrastuktur organisasional vital bagi perkembangan budaya TQM.

3. Perbaikan yang berkesinambungan
Perbaikan yang berkesinambungan berkaitan dengan komitmen (continous quality improvement atau CQI) dan proses (continous quality improvement). Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyataan dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua partisipan untuk secara incremental mewujudkan visi tersebut (Lewis dan Smith, 1994). Perbaikan yang berkesinambungan tergantung kepada dua unsure. Pertama, mempelajari proses alat, dan keterampilan yang tepat. Kedua, menerapkan keterampilan baru pada small acheiveable project. Proses perbaikan berkesinambungan yang dapat dilakukan berdasarkan siklus PDCA (plan, Do, Check, Action). Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang never ending dan berlaku pada semua fase organisasi/ lembaga, misalnya administrasi, registrasi, student affairs, pemograman, pemeliharaaan, dan lain-lain. Upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan dalam lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan system terbuka atas fungsi inti lembaga pendidikan student learning. Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menjamin kualitas lembaga pendidikan, yaitu (1) pendekatan akreditasi, (2) pendidikan outcome, dan (3) Pendekatan system terbuka (Lewis & Smith, 1994). Pendekatan akreditasi berpokus pada input lembaga pendidikan, seperti prestasi siswa, jumlah kelas, dan sumber daya fisik. Asumsi dasar pendekatan ini apabila tersedia input berkualitas tinggi, akan diperoleh hasil output berkualitas tinggi pula. Pendekatan ini memberikan data mengenai apa yang terjadi dalam sistem dan apa yang dihasilkan dari sistem tersebut. Penyempurnaan kualitas berkesinambungan dalam lembaga pendidikan dapat diilustrasikan dalam gambar.
Sementara itu, pendekatan outcome assessment menekankan pentingnya evaluasi lulusan lembaga pendidikan, seperti prestasi siswa, graduation, dan pekerjaan/ jabatan. Sekalipun pendekatan ini memberikan kontribusi berharga bagi lembaga pendidikan, siswa, dan masyarakat, pemahaman atas output pendidikan hanya semata- mata proses pembelajaran. Baik pendekatan akreditasi maupun pendekatan outcome assessment, keduanya lebih merupakan pendekatan terpotong – potong dalam upaya menjamin kualitas lembaga pendidikan. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan system terbuka yang merupakan system jaminan kualitas terintegrasi bagi lembaga pendidikan. Pendekatan ini menekankan kebutuhan akan kualitas pada tiga tahap utama, yaitu input, proses transformasi, dan output. Upaya penyempurnaan kualitas harus difokuskan pada ketiga tahap tersebut dengan mempetimbangkan tantangan atas perlunya pemenuhan standar kualitas lembaga pendidikan baik secara nasional maupun internasional.

4. Manajemen SDM
Selain merupakan asset organisasi yang paling vital, sumber daya manusia merupakan pelanggan internal yang menentukan kualitas akhir sebuah jasa dan lembaganya. Oleh sebab itu, sukses tidaknya implementasi TQM sangat ditentukan oleh kesiapan, kesediaan dan kompetensi sumber daya manusia dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan untuk merealisasikannya secara sungguh-sungguh. Peralihan dari manajemen tradisional menuntut pergeseran paradigma dalam praktik MSDM. Kebijakan MSDM tradisional yang menganut budaya 2C (command and control) wajib digantikan dengan kebijakan baru berdasarkan budaya 3C (employee, commitment, cooperation, dan communication).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap para professional, SDM pemenang penghargaan kualitas Baldrige Awar, Blackburn & Rosen (1993) mengajukan 14 jam komponen strategi sumber daya manusia yang dapat memfasilitasi penerapan TQM, yaitu sebagai berikut.
1. Manajemen puncak bertwnggungjawab untuk memprakarsai dan mendukung visi budaya TQM.
2. Visi tersebut dklarifikasikan dan dikomunikasikan kepada semua insane organisasi.
3. Berbagai system yang memungkinkan terjalinnya komunikasi ke atas dan dikembangkan, dilaksanakan serta diperkokoh.
4. Pelatihan TQM disediakan bagi semua karyawan dan manajemn puncak mendukung secara aktif pelatihan tersebut.
5. Tersedia program keterlibatan atau partisipasi karyawan.
6. Organisasi wajib mengembangkan proses yang melibatkan berbagai maam perspektif untuk menangani isu-isu kualitas.
7. Para karyawan diberdayakan guna mengambil keputusan yang berkualitas menurut kebijakan mereka dan desain pekerjaan harus menyatakan hal ini dengan jelas.
8. Penilaian kinerja difokuskan ulang dari sekadar evaluasi kinerja masa lalau, menjadi tekanan yang dapat dilakukan manajemen untuk membantu para karyawan melakukan usaha berkualitas yang berkaitan dengan pekerjaan di masa mendatang.
9. Sistem pengakuan nonfinansial (bagi perorangan atau kelompok kerja) agar mendukung upaya pancarian kualitas total.
10. Sistem kompensasi mencerminkan kontribusi kualitas yang berkaitan dengan tim, termasuk penguasaan keterampilan tambahan.
11. Berbagai system yang ada memungkinkan para karyawan di semua jenjang organisasi untuk menyampaikan perhatian, gagasan, dan reaksi mereka terhadap inisiatif kualitas.
12. Isu-isu keamanan dan kesehatan dikembangkan secara produktif, bukan secara reaktif.
13. Berbagai program rekrutmen, seleksi, promosi, dan pengembangan karier karyawan mencerminkan realitas baru dalam mengelola dan bekerja dalam lingkungan TQM.
14. Meskipun membantu pihak lain untuk menimplementasikan proses yang mendukung TQM, professional sumber daya manusia dengan pedoman yang sama.

5. Manajemen Berdasarkan Fakta
Pengambilan keputusan harus didsarkan pada fakta yang nyata tentang kualitas yang didapatkan dari berbagai sumber di seluruh jajaran rganisasi. Jadi, tidak semata-mata atas dasar intuisi, praduga, atau organizational politics. Berbagai alat telah dirancang dan dikembangkan untuk mendukung pengumpulan dan analisis data, serta pengambilan keputusan berdasarkan fakta.
Penciptaan kualitas total kualitas total lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Implementasi TQM memikat sekaligus mengikat karena menuntut perubahan dan perombakan fundamental atas budaya organisasi tradisional. Disamping itu, komitmen dan totalitas yang dituntut dalam implementasi TQM harus benar-benar direalisasikan.
Selama 50 tahun birokrasi sepertinya tidak menyadari kenyataan bahwa kurikulum yang baik, dana yang cukup besar, program yang relevan, toknologi yang mutkhir tanpa didukung guru yang berkualitas semuanya tidak terapai. Yang terjadi saat ini permasalahan kualitas pembelajaran menurun sehingga hamper dapat dipastikan guru disalahkan. Alasannya sederhana, apabila guru berkualitas, pendidikan akan beres. Andaikata pernyataan itu betul, bagaimana cara menjadikan guru yang berkualitas. Selama ini dalam kultur pendidikan kita, guru sering diikutkan penataran. Akantetapi, hasil pengamatan menunjukan, yang tertinggal pada guru adalh sertifikat, bukan materi penataran. Kalaupun ada umumnya materi tidak digunakan karena system tidak bersahabat terhadapnya. Ujian Akhir Nasional (UAN) saat ini dijadikan sebuah rujukan kualitas. Ketika strategi itu ditantang dan ditentang, guru juga yang akhirnya harus menjawab meskipun tidak memiliki saham. Beberapa kali kurikulum diganti sebagai buku, pintar penjamin kualitas. Akan tetapi ketika kurikulum itu salah lagi, apakah guru yang harus menanggung bebannya, strategi buku pintar tidak menghasilkan guru yang pintar.
Apabila dalam konteks total quality menghendaki semua unsure agar berkualitas, tidak salah apabila mensyaratkan murid juga harus berkualitas, sekolah berkualitas, lingkungan berkualitas, program berkualits, proses berkualitas bahkan dampaknya pun berkualitas. Untuk mewujudkan itu diperlukan system yang berkualitas, birokrasi berkualitas, kebijakan berkualitas, dewan pendidikan berkualitas, dinas pendidikan berkualitas, dan dukungan masyarakat berkualitas. Yang diperlukan adalah pemerintah dan masyarakat yang ikhlas menghormati guru sebagai orang yang dipercaya mendidik anak bangsa dan peduli pada leperluan hidup wajar sebagai manusia biasa. Guru yang amanah pada tugasnya datang dan guru yang memiliki citra diri yang positif (Kompas, 1 Mei 2004)

UNTUK KEMAJUAN PENDIDIKAN

MENGGUGAH PERSEPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP PARADIGMA BARU SISTEM PENDIDIKAN

Pendahuluan
Berbicara mengenai sistem pendidikan dinegara kita tercinta ini, seolah tidak ada habis-habisnya memicu kontroversi dan polemik berkepanjangan yang terus bergulir ditingkahi dengan komentar yang memunculkan pemeo seperti “ganti pimpinan (menteri) berarti ganti kebijakan (sistem)” atau “tahun ajaran baru, ganti buku baru”, apakah ini sudah menjadi “suratan takdir“ bagi anak bangsa ini yang harus dijalani dalam proses menuju perbaikannya ? Dipersilahkan anda untuk mencari jawaban yang paling pas menurut kaidah dan persepsi masing-masing, dengan tanpa meninggalkan pengertian bahwa segala sesuatu itu pasti akan mengalami perubahan dan hanya satu yang tidak dapat berubah yaitu perubahan itu sendiri.
Dunia pendidikan (nasional) dirasakan selalu tertinggal dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi maupun dunia bisnis yang seharusnya seiring sejalan dalam perkembangannya mengikuti tuntutan dan zamannya, apakah karena dunia pendidikan lebih banyak dan harus berorientasi kepada human investment katimbang memikirkan profit and lost yang bernaung dalam suatu wadah/lembaga dengan embel-embel nirlaba ? Mungkin ini suatu fenomena yang sering terjadi dalam dunia pendidikan (nasional) manakala kita ingin maju dan dihadapkan pada tantangan globalisasi disemua sektor.
Dan sebagai konsekuensinya yang muncul ketika kita ingin mewujudkan harapan cita-cita mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terwujud adalah bagaimana agar masyarakat mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perkembangan dunia pendidikan ini mengingat dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak cukup hanya dengan memiliki spirit semata yang lebih konkrit lagi adalah terbentuknya suatu keinginan atau political will dan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat.
Paradigma Baru Sitem Pendidikan
Dalam upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada dua aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita gali untuk dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku.
Aspek pertama adalah dalam hal metode pembelajaran, sejak dahulu metode pembelajaran kita selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa GURU itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiRu. Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini diharapkan akan menstimulir para siwa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya, proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.
Aspek kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan itu sendiri, seperti kita alami selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri-sendiri secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa kini dan kedepan setiap sekolah harus mempunyai dan membangun networking antar lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar informasi, pengetahuan dan sumber daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi dipandang sebagai rival atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).
Memang jika kita pikirkan kembali kedua aspek paradigma baru ini dalam implementasinya tidak akan semudah seperti membalik telapak tangan, akan banyak ekses maupun aspek lainnya yang harus dipikirkan seperti misalnya berakibat akan adanya perubahan dan peran sebuah lembaga pendidikan yang selama ini kita pahami. Namun melalui konteks perubahan ini kelak akan jelas terlihat bagaimana sektor pendidikan akan dapat bersinergi dan seiring sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan dan bisnis sekalipun, karena ouput dari suatu pendidikan menjadi lebih berkualitas.
Implementasi Paradigma Baru Sisdiknas
Output yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam menuju kearah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana kita mengimplemantisakan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut ini : (R.Eko Inrajit, 2006, Halaman 379)
1) 1.Sistem Pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip “muatan lokal, orientasi global”
2) 2.Konten dan kurikulum yang dibuat harus berbasis pada penciptaan kompetensi siswa (kognitif, afektif dan psikomotorik)
3) 3.Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam kehidupan, tidak sekedar mengawang-awang (problem base learning)
4) 4.Fasilitas sarana dan prasarana harus berbasis teknologi informasi agar dapat tercipta jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya
5) 5.Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidkan harus mempunyai kemampuan multi dimensi yang dapat merangsang multi intelejensia peserta didik
6) 6.Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah ? Sistem informasi terpadu untuk menunjang proses administrasi dan strategis
7) 7.Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur dan suprastruktur pendidikan ? Sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan secara nasional.

Penutup
Kita sepaham dan sepakat pada akhirnya bahwa “nasib” keberhasilan anak bangsa ini untuk dapat berkompetisi dan berhasil memenangkan persaingan di segala sektor di era global ini berada pada institusi pendidikan
Dalam upaya menciptakan keunggulan kompetitif ini, masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif untuk dapat menumbuhkan dan menciptakan inovasi yang berharga bagi perkembangan dunia pendidikan, karena tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan nasional hanya akan menghasilkan output yang tidak mandiri, kurang percaya diri dan selalu akan tergantung pada pihak lain.
Dalam perspektif masyarakat terhadap pendidikan harus mampu menjembatani dan mengatasi kesenjangan antara proses, hasil dan pengalaman selama dibangku sekolah dengan kenyataan tuntutan hidup yang riil.
Dalam era globalisasi ini tantangan pendidikan menjadi tidak terbatas (waktu, lokasi dll), jika kita (masyarakat) berdiam diri dan tidak mempunyai keinginan untuk melakukan suatu perubahan kearah perbaikan, maka bersiap-siaplah kita sebagai bangsa akan termajinalisasikan secara alami.
Semoga hal ini tidak akan terjadi, bagaimana menurut anda ……………….?


Kepustakaan :
David McNally & Karl D.Speak (2004), Be Your Own Brand, Penerbit Gramedia Jakarta
Jansen H. Sinamo & Agus Santosa (2002), Pemimpin Kredibel, Pemimpin Visioner, Penerbit Institut Darma Mahardika, Jakarta
R.Eko Indrajit & R.Djokopranoto (2006), Manajemen Perguruan Tinggi, Penerbit Andi Yogjakarta
Suyanto, Prof, Ph.D (2006), Dinamika Pendidikan Nasional, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Jakarta








PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

Salah satu isu penting dalam penyelenggaraaan pendidikan di negara kita saat ini adalah peningkatan mutu pendidikan, namun yang terjadi justru kemerosotan mutu pendidikan dasar, menengah, maupun tingkat pendidikan tinggi. Hal ini berlangsung akibat penyelenggaraan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas dan kurang dibarengi dengan aspek kualitasnya. Peningkaran kualitas pendidikan ditentukan oleh peningkatan proses belajar mengajar. Dengan adanya peningkatan proses belajar mengajar dapat meningkat pula kualitas lulusannya. Peningkatan kualitas proses pembelajaran ini akan sangat tergantung pada pengelolaan sekolah dan pengajaran/pendekatan yang diterapkan guru.
Berdasarkan kajian teori, kepemimpinan kepala sekolah terbukti mempengaruhi implementasi dan pemeliharaan perubahan dan berkolerasi dengan hasil belajar murid. Kualitas lulusan pendidikan dipengeruhi oleh kualitas manajemen sekolah atau manajemen pengelolaan pendidikan. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh fasilitas pendukung, proses belajar mengajar, dan pengajaran. Kemampuan sosial ekonomi orang tua siswa yang tinggi akan berkorelasi dengan penyediaan fasilitas belajarnya, yang akhirnya dapat meningkatkan motivasi belajar. Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar.
Mutu pendidikan tidak dipengaruhi oleh faktor tunggal, ada sejumlah variabel yang dianggap saling berhubungan/ mempengaruhi. Hal ini perlu sebuah kajian yang akan mengidentifikasi secara empirik hubungan langsung atau tidak langsung dalam suatu rangkaian dari sistem pendidikan.




WAJAH PENDIDIKAN KITA

Dewasa ini banyak sekali keluhan-keluhan yang muncul didunia pendidikan kita, dimana tidak bisa terakomodirnya aspirasi intelektual masyarakat yag sudah kian semakin kritis, dimulai dari akan dibawa kemanakah wajah pendidikan kita? Sebuah pertanyaan yang sangat mendesak untuk dijawab, belum lagi ditambah dengan masalah yang ada pada SDM kita, perlukah adanya up-grading?? fenomena yang sama skali tidak bisa kita remehkan, karena nasib bangsa ini menjadi taruhannya. samapai kapan kita akan diam saja dengan situasi yang akan membawa kita kepada keterpurukan?
Pendidikan kita sedang gencar-gencarnya membicarakan tentang pembentukan karakter (character building)dimana banyak alasan yang mengatakan bahwa metode ini sangat cocok untuk wajah pendidikan kita, tapi pertanyaan yang muncul setelah itu adalah….bagaimana dengan indikator dan tata nilai penerapannya????
ternyata tidak hanya sampai disitu permasalahannya, siswa kita sekarang ini butuh role model atau panutan yang bisa dikatakan sebagai pijakan awal siswa untuk menggapai imaginasinya dalam perkembangan intelektualnya.
Apakah kurikulum kita sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul??? jawabnya adalah “BELUM”, kemudian apa langkah kita selanjutnya untuk menyikapi ini, dimana pada jaman sekarang ini dibutuhkan pribadi-pribadi yang inovatif, kompetitif, dan juga mandiri, sehingga menurut saya ada baiknya kurikulum di indonesia dirubah total yang bisa memberikan kebebasan bagi para praktisi pendidikan (guru dan dosen) untuk bisa mengembangkan intelektualitasnya dan bisa memacu daya kritis siswa sehingga dengan demikian bisa tercipta kondisi intelektulitas yang kondusif, transparan, bisa dipertanggung jawabkan dan juga bisa bershabat dengan teknologi-teknologi mutakhir yang sangat sarat sekali dalam berkembangnya suatu bangsa